- Beranda
- Berita dan Politik
Misi Rahasia Bawa Pulang ‘Elang’ Israel
...
TS
minesport
Misi Rahasia Bawa Pulang ‘Elang’ Israel
Quote:
Wajah mereka semua tampak tegang. Tak ada yang bicara. Mereka, termasuk Djoko Poerwoko, merupakan sepuluh perwira muda dari Skadron 11 Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh, Malang. Di hadapan mereka, duduk Mayor Jenderal Benny Moerdani, yang lama malang melintang di dunia intelijen. Pertemuan itu bukan di Markas Besar ABRI di Jakarta, tapi dalam jamuan makan malam di sebuah hotel mewah di Singapura.
Tanpa basa-basi dan dengan wajah dingin tanpa senyum, Benny menyampaikan bahwa para pilot tempur itu dilibatkan dalam sebuah misi rahasia. "Yang ragu-ragu, silakan kembali sekarang juga. Kalau misi gagal, negara tidak akan mengakui kalian. Misi dianggap berhasil apabila sang merpati telah hinggap," ujar Benny, yang saat itu menjabat Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA), seperti yang dituliskan Djoko Poerwoko dalam bukunya, Menari di Angkasa. Sebelum pensiun, Djoko menjabat Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia
Setelah makan malam, mereka langsung diperintahkan melanjutkan perjalanan ke Israel, negara yang tak diakui oleh Indonesia. Tugasnya menjalani pelatihan dan membawa pulang sejumlah pesawat tempur A-4 Skyhawk. Tak saling tegur sepanjang perjalanan, mereka akhirnya tiba di Tel Aviv, Israel, setelah menempuh hampir 20 jam perjalanan via Frankfurt, Jerman.
Begitu mendarat, mereka digiring ke sebuah ruangan. Di situ telah menunggu beberapa agen Mossad dan perwira intel BIA. Semua barang berbau Indonesia disita. Identitas pun disamarkan menjadi orang Singapura. "Kami diminta menghafalkan kalimat dalam bahasa Ibrani, Ani tayas mis Singapore, yang artinya aku penerbang dari Singapura," Djoko menulis.
Djoko dan kawan-kawannya kemudian dibawa ke sebuah pangkalan udara rahasia di dekat Kota Eliat. Setelah empat bulan berlatih keras, para pilot itu resmi mendapatkan brevet penerbang tempur A-4 Skyhawkpada 20 Mei 1980. Sebelum kelompok Djoko diberangkatkan ke Israel, sudah ada tujuh grup yang berangkat ke Tel Aviv, dimulai pada akhir 1978. Sebagian besar merupakan teknisi dari Skadron 11. Tiap grup melewati rute penerbangan yang berbeda-beda dan maskapai yang selalu berganti setiap bandara.
Letnan Jenderal (Purnawirawan) Rais Abin, mantan Panglima UNEF II
Rais Abin, yang saat itu menjadi Panglima Pasukan Perdamaian PBB, United Nations Emergency Force II (UNEF II), yang bermarkas di Ismailiyah, Mesir, mendengar pula misi pembelian pesawat tempur secara klandestin itu. Info rahasia itu sampai ke telinganya melalui perwira penghubung Israel, Kolonel Simon Levinson.
"Levinson bilang, 'Jenderal, saya lihat sejumlah orang Indonesia lagi ikut pelatihan di Israel bersama pilot kami,’" Rais menuturkan kepada detikX di Jakarta, Selasa pekan lalu. "Itu si Benny (Moerdani) punya main." Tahu pelatihan tersebut merupakan pekerjaan intelijen, Rais tak berusaha membuka kontak dengan prajurit-prajurit tersebut. "Saya tahu itu misi rahasia. Kalau Mesir tahu, mereka bisa marah kepada saya."
Beberapa minggu sebelum pelatihan Djoko berakhir, paket pertama A-4 Skyhawk tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Empat pesawat dari total 32 pesawat yang dibeli itu dibalut memakai pembungkus khusus berlabel F-5 E/F Tiger. Sementara itu, para calon pilotnya justru diterbangkan ke Amerika untuk menjalani skenario latihan di Pangkalan Udara US Marine Station, Arizona. "Kami menerima ijazah versi US Marine Corps dan wajib berfoto di depan pesawat A-4 milik US Marine sebagai kamuflase," tulis Djoko. "Brevet dari AU Israel dibakar perwira BIA."
Delapan tahun kemudian, Djoko kembali menjalani misi rahasia ke Israel. Kali ini perwira asal Klaten, Jawa Tengah, itu ditugasi belajar Weapon Delivery and Navigation System (WDNS) untuk pesawat A-4. Sama seperti sebelumnya, Djoko harus terbang berputar dan berganti pesawat berkali-kali untuk menuju Tel Aviv. Kali ini rutenya melalui Denmark.
* * *
Sejak awal berkuasa, Presiden Soeharto sudah merasakan perlunya dinas intelijen yang kuat di Indonesia. Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) kembali datang menawarkan bantuan uang dan pelatihan.
Kenneth J Conboy dalam bukunya, Intel, Inside Indonesia's Intelligence Service, menulis perwira intelijen di Polisi Militer, Kolonel Nicklany Soedardjo, berperan besar dalam hal ini. Nicklany, yang menjabat Wakil Asisten Intelijen Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dan pernah menjalani pendidikan di Fort Gordon, Amerika, pada 1961, mengusulkan perlunya dibentuk unit baru untuk menangani kontra-intelijen asing kepada sejumlah petinggi Detasemen Pelaksana Intelijen Polisi Militer (Den Pintel Pom).
Komandan Den Pintel Pom Mayor Nuril Rachman menyiapkan 10 perwira aktif dan 50 sipil. Unit inilah yang menjadi Satuan Khusus Pelaksana Intelijen atau Satsus Pintel dan kemudian dipendekkan menjadi Satuan Khusus Intelijen atau Satsus Intel. Menurut Nuril, unit ini akan membutuhkan anggaran lumayan besar.
Nicklany menenangkannya. "Jangan khawatir, kalian akan mendapatkannya," ujar Kolonel Nicklany. Pada 1966, Kepala Stasiun CIA di Jakarta adalah Clarence ‘Ed’ Barbier, mantan intel Angkatan Laut Amerika. Tak lama setelah Ed Barbier ‘mampir’ ke Markas Besar Polisi Militer, bantuan pun datang.
Rupanya bukan hanya CIA yang bermurah hati kepada Satsus Intel. Dinas Intelijen Luar Negeri Inggris MI-6 juga mengirimkan agennya sebagai instruktur. Dinas intelijen Israel yang kondang, Mossad, beberapa kali ‘menyumbang’ intelnya untuk mendidik para agen Satsus Intel. Pada November 1970, Anthony Tingle tiba di Jakarta dengan paspor Inggris. "Tingle sebenarnya seorang brigadir Israel berusia 50 tahun dan bekerja untuk Mossad," Conboy menulis.
Tingle mengajarkan bagaimana intel menyamarkan identitas selama empat pekan di Cipayung. Intel Mossad itu mengajar dengan sangat serius, dingin, tanpa lelucon sama sekali. “Ia tak pernah tersenyum, tak pernah tertawa, dan tak pernah mau wanita,” salah seorang muridnya, Very Pelenkahu, menuturkan kepada Conboy. “Dan saya belajar lebih banyak darinya dibanding dari instruktur mana pun.”
Tak mudah mendapatkan izin untuk seorang instruktur Israel karena Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik. Namun Nicklany mengabaikan persoalan sensitif itu dan mengambil risiko. "Benny cs, kalau berhubungan dengan Israel, tinggal main telepon-teleponan," ujar Rais. Saat melapor ke Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kurt Waldheim di Amerika Serikat pada 1978, Rais pernah kontak langsung dengan Nicklany, yang saat itu bertugas sebagai Asisten Atase Pertahanan. "Begitu saya mendarat, Nicklany langsung atur pertemuan pertama saya dengan Duta Besar Israel di Amerika Serikat."
Menurut Rais, saat itu intelijen Indonesia sering meminta bantuan informasi dari Mossad terkait data-data Uni Soviet dan negara-negara di kawasan Timur Tengah. "Info Mossad memang lengkap sekali," ujar mantan Dubes Indonesia untuk Singapura itu. Sementara itu, Benny berperan menyiapkan kunjungan rahasia Perdana Menteri Yitzhak Rabin ke Cendana menemui Presiden Soeharto pada Oktober 1993. "Benny tuh yang susah payah atur biar Pak Harto mau terima Yitzhak Rabin," kata Rais. Kunjungan itu berlangsung hanya dua jam. Rabin sendiri baru berbicara kepada pers empat jam seusai pertemuan setelah tiba di Singapura.
Aktifnya Israel membuka komunikasi dengan Indonesia, menurut Rais, lantaran Indonesia merupakan negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Pengakuan Indonesia punya nilai strategis atas kedaulatan Israel. Selain itu, menurut Rais, Israel mengincar pasar Indonesia yang sangat besar. "Israel itu bisa memproduksi apa saja dengan kualitas terbaik. Mereka ingin memasarkan ke Indonesia," ujar Rais. "Tapi saya kira untuk saat ini hubungan tak akan terwujud. Alergi kita pada Israel justru makin besar."
Pasang-surut hubungan Indonesia-Israel dituliskan Colin Rubenstein, Direktur Eksekutif Australia/Israel and Jewish Affairs Council, dalam artikel berjudul ‘Indonesia and Israel: A Relationship in Waiting’, yang dimuat Jewish Political Studies Review, pada Maret 2005. Tak lama setelah pemerintah Belanda menandatangani penyerahan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949, Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben Gurion mengirim telegram kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Mereka menyampaikan ucapan selamat.
Telegram itu kemudian disusul telegram Menteri Luar Negeri Moshe Sharett kepada Hatta pada Januari 1950. Isinya memberitahukan bahwa Israel telah memutuskan memberikan pengakuan penuh kepada Indonesia. Hatta menanggapi apa yang dilakukan Sharett dan Ben-Gurion dengan ucapan terima kasih. Namun tak menawarkan timbal-balik dalam hal pengakuan diplomatik.
Saat Sukarno menggagas konferensi negara-negara Asia dan Afrika, yang akan digelar di Indonesia pada 1953, muncul usulan agar Israel turut dilibatkan. Lagi-lagi pemerintah Indonesia menolak. Tak hanya itu, Sukarno bahkan dengan lantang menentang keikutsertaan Israel serta Taiwan dalam Asian Games pada 1962 di Jakarta. Sukarno dalam pidatonya dengan tegas mendukung kedaulatan Palestina.
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” kata Sukarno. Hubungan ini tak berubah sampai Presiden Sukarno dijatuhkan oleh rezim Soeharto.
Rezim berganti, Rubenstein memaparkan, hubungan Israel-Indonesia membaik di era Presiden Soeharto. Kemenangan gemilang Israel dalam Pertempuran Enam Hari pada 1967 membuat petinggi militer Indonesia terkesima. "Menteri Luar Negeri Adam Malik dalam beberapa pernyataannya meminta negara-negara Arab menghormati aspirasi Israel atas penguasaan sejumlah teritori," Rubenstein menulis.
https://x.detik.com/detail/intermeso/20180402/Misi-Rahasia-Bawa-Pulang-‘Elang’-Israel/index.php
שלום ישראל
0
1.6K
Kutip
13
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
671.2KThread•41.1KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru