- Beranda
- The Lounge
Mengapa pasal 156 mengancam demokrasi di negara kita?
...
TS
schacher
Mengapa pasal 156 mengancam demokrasi di negara kita?
Demokrasi artinya kekuasaan ada di tangan rakyat. Mau jadi presiden? Gubernur? Boleh. Orang itu harus dapat vote banyak. Tidak ada yang bisa menyenangkan semua orang. Pajak terlalu tinggi, kapitalis complain. Terlalu rendah, liberal complain. Pajak rendah dan diatur efficient, koruptor komplain. Kalau 10%-20% tidak setuju ya sudah. Dengan otonomy daerah yang kuat yang tidak suka tinggal pindah ke provinsi lain.
Tetapi dengan pasal 156, 1% orang yang tidak setuju bisa amat menentukan hasil pemilu. Satu persen orang itu bisa belagak tersinggung dan demo berjilid jilid. Beberapa hakim bisa memutuskan. Akhirnya kita harus menyenangkan minoritas gila dengan kepentingan aneh dari pada keinginan majoritas yang reasonable.
Masalahnya bukan apakah Ahok salah dimata mereka yang demonstrasi atau hakim. Masalahnya mengapa yang berpengaruh besar itu opini mereka dan bukan opini kita yang memilih di pemilu?
Definisi penistaan agama tidak jelas.
Misal si Ahok bilang, hati hati salah pilih gubernur korupsi bisa naik. Sesuatu yang tentu saja betul.
Hakim bisa saja bilang, Anies dan Agus kan mencoba menang dengan menggunakan agama. Jadi kalau kamu bilang orang bisa korupsi, kamu mengatakan kalau agama bisa dipakai untuk korupsi dan menipu. Ini penghinaan.
Notice. Ahok tidak perlu menuduh kalau ulama berbohong, kalau agamanya salah, ataupun interpretasinya salah. Hakim bisa "menyimpulkan" kalau maksudnya itu. Dan itulah yang sekarang terjadi.
Orang yang pakai agama untuk menganjurkan terrorisme tidak bisa dibilang bohong lagi. Orang yang mencabuli anak pakai ayat tidak bisa dibilang bohong lagi. Orang bisa punya interpretasi yang sedemikian konyol dan orang tidak bisa bilang itu bohong.
Lebih gilanya lagi, ini delik aduan. Artinya? Ketidak jelasan sudah built in di dalam ayat ini.
Kalau Ahok naik mobil. Bisa saja ada orang tersinggung. Wah. Dewa/Nabi saya di jaman dulu naik kura kura/onta. Orang yang naik mobil kalau science lebih canggih dari kitab suci dan agama. Ini penistaan agama.
Tapi kan yang naik mobil banyak?
Oh iya tapi ini delik aduan.
Kalo nggak ada yang protest bukan kriminal.
Hukum di indo itu seperti itu. Siapapun bisa dihukum. Tetapi selalu saja ada "catch" dimana majoritas tidak.
Tuduhan kepada Ahok itu seperti itu. Ahok tidak pernah menuduh ulama bohong. Ahok tidak pernah melarang orang memilih yang seagama. Justru sebaliknya dia bilang itu boleh saja. Banyak yang bilang Ahok sebetulnya juga sudah capet jadi gubernur.
Tapi orang yang benci Ahok bilang kalau yang Ahok katakan berimplikasi kalau ulama bohong. Beberapa bahkan berpendapat kalau Ahok bilang quran bohong.
Kalau pasal 156 bukan delik aduan, yang kena banyak sekali. 85% orang setuju yang dikatakan Ahok. https://www.kaskus.co.id/post/5aba5f...d77008158b456e https://www.kaskus.co.id/thread/593c...nya-nggak-sih/
Tidak ada batasan yang jelas apa yang dianggap penistaan agama atau tidak. Kalau di Amrik ini pasal karet. Akan dianggap konstitutionally vague.
Batasan yang terjelas adalah ada yang complain. Ini memberi kesempatan kepada siapapun yang tidak setuju dengan suatu kandidat untuk belagak tersinggung.
Kalau di Amerika, dari 12 juri, satu saja berpikir orang tidak bersalah, orang itu bebas (atau mistrial, ganti jury). Jadi kalau yang setuju Ahok bersalah 80% saja, kemungkinan terbukti kecil.
Kalau di Indo, kalau dari rakyat Indonesia, 10% saja berpikir Ahok menghina agama mereka, atau belagak tersinggung, 10% orang itu bisa demo, bisa buat laporan, dan hakim bisa setuju kepada 10% itu. Lagi pula, 10% dari 250 juta kan banyak. Yang dihitung bukan persentasinya tapi jumlahnya 25 juta orang.
Kamu tetap bisa bilang kalau orang pakai agama buat nipu. First travel, abu tours itu contohnya. Dan kemungkinan kamu tidak akan kena pasal 156. Siapa sih yang mau cape cape ngaduin kamu.
Tapi itu tetap mengurangi demokrasi.
Karena seorang diktator tidak perlu menjatuhkan semua saingannya. Seorang diktator hanya perlu menjatuhkan saingan yang amat bagus.
Taksi offline tidak perlu melarang becak, riksaw, bajaj, dan lain lain. Mereka cukup melarang taksi online. Pilihan rakyat yang terbaiklah yang mereka jegal.
Demokrasi dimana kita hanya boleh memilih pilihan pilihan tertentu bisa amat tidak demokratis.
Jaman Suharto kita juga punya pemilu kok. Tetapi kita hanya bisa memilih partai politik yang ingin Suharto jadi presiden.
Adanya pasal karet yang bisa dipakai untuk menjegal calon populer dalam pemilu/pilkada merugikan rakyat. Ini amat mengurangi bargaining position kita.
Pilihlah partai yang mau menghapus pasal itu kalau kita masih mau negara kita demokratis.
Ada tidak?
Tetapi dengan pasal 156, 1% orang yang tidak setuju bisa amat menentukan hasil pemilu. Satu persen orang itu bisa belagak tersinggung dan demo berjilid jilid. Beberapa hakim bisa memutuskan. Akhirnya kita harus menyenangkan minoritas gila dengan kepentingan aneh dari pada keinginan majoritas yang reasonable.
Masalahnya bukan apakah Ahok salah dimata mereka yang demonstrasi atau hakim. Masalahnya mengapa yang berpengaruh besar itu opini mereka dan bukan opini kita yang memilih di pemilu?
Definisi penistaan agama tidak jelas.
Misal si Ahok bilang, hati hati salah pilih gubernur korupsi bisa naik. Sesuatu yang tentu saja betul.
Hakim bisa saja bilang, Anies dan Agus kan mencoba menang dengan menggunakan agama. Jadi kalau kamu bilang orang bisa korupsi, kamu mengatakan kalau agama bisa dipakai untuk korupsi dan menipu. Ini penghinaan.
Notice. Ahok tidak perlu menuduh kalau ulama berbohong, kalau agamanya salah, ataupun interpretasinya salah. Hakim bisa "menyimpulkan" kalau maksudnya itu. Dan itulah yang sekarang terjadi.
Orang yang pakai agama untuk menganjurkan terrorisme tidak bisa dibilang bohong lagi. Orang yang mencabuli anak pakai ayat tidak bisa dibilang bohong lagi. Orang bisa punya interpretasi yang sedemikian konyol dan orang tidak bisa bilang itu bohong.
Lebih gilanya lagi, ini delik aduan. Artinya? Ketidak jelasan sudah built in di dalam ayat ini.
Kalau Ahok naik mobil. Bisa saja ada orang tersinggung. Wah. Dewa/Nabi saya di jaman dulu naik kura kura/onta. Orang yang naik mobil kalau science lebih canggih dari kitab suci dan agama. Ini penistaan agama.
Tapi kan yang naik mobil banyak?
Oh iya tapi ini delik aduan.
Kalo nggak ada yang protest bukan kriminal.
Hukum di indo itu seperti itu. Siapapun bisa dihukum. Tetapi selalu saja ada "catch" dimana majoritas tidak.
Tuduhan kepada Ahok itu seperti itu. Ahok tidak pernah menuduh ulama bohong. Ahok tidak pernah melarang orang memilih yang seagama. Justru sebaliknya dia bilang itu boleh saja. Banyak yang bilang Ahok sebetulnya juga sudah capet jadi gubernur.
Tapi orang yang benci Ahok bilang kalau yang Ahok katakan berimplikasi kalau ulama bohong. Beberapa bahkan berpendapat kalau Ahok bilang quran bohong.
Kalau pasal 156 bukan delik aduan, yang kena banyak sekali. 85% orang setuju yang dikatakan Ahok. https://www.kaskus.co.id/post/5aba5f...d77008158b456e https://www.kaskus.co.id/thread/593c...nya-nggak-sih/
Tidak ada batasan yang jelas apa yang dianggap penistaan agama atau tidak. Kalau di Amrik ini pasal karet. Akan dianggap konstitutionally vague.
Batasan yang terjelas adalah ada yang complain. Ini memberi kesempatan kepada siapapun yang tidak setuju dengan suatu kandidat untuk belagak tersinggung.
Kalau di Amerika, dari 12 juri, satu saja berpikir orang tidak bersalah, orang itu bebas (atau mistrial, ganti jury). Jadi kalau yang setuju Ahok bersalah 80% saja, kemungkinan terbukti kecil.
Kalau di Indo, kalau dari rakyat Indonesia, 10% saja berpikir Ahok menghina agama mereka, atau belagak tersinggung, 10% orang itu bisa demo, bisa buat laporan, dan hakim bisa setuju kepada 10% itu. Lagi pula, 10% dari 250 juta kan banyak. Yang dihitung bukan persentasinya tapi jumlahnya 25 juta orang.
Kamu tetap bisa bilang kalau orang pakai agama buat nipu. First travel, abu tours itu contohnya. Dan kemungkinan kamu tidak akan kena pasal 156. Siapa sih yang mau cape cape ngaduin kamu.
Tapi itu tetap mengurangi demokrasi.
Karena seorang diktator tidak perlu menjatuhkan semua saingannya. Seorang diktator hanya perlu menjatuhkan saingan yang amat bagus.
Taksi offline tidak perlu melarang becak, riksaw, bajaj, dan lain lain. Mereka cukup melarang taksi online. Pilihan rakyat yang terbaiklah yang mereka jegal.
Demokrasi dimana kita hanya boleh memilih pilihan pilihan tertentu bisa amat tidak demokratis.
Jaman Suharto kita juga punya pemilu kok. Tetapi kita hanya bisa memilih partai politik yang ingin Suharto jadi presiden.
Adanya pasal karet yang bisa dipakai untuk menjegal calon populer dalam pemilu/pilkada merugikan rakyat. Ini amat mengurangi bargaining position kita.
Pilihlah partai yang mau menghapus pasal itu kalau kita masih mau negara kita demokratis.
Ada tidak?
Diubah oleh schacher 30-03-2018 02:08
0
879
11
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•104.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya