Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

n4z1Avatar border
TS
n4z1
Sinyal Gatot ke Prabowo Lewat Pembelaan Indonesia Bubar 2030
Sinyal Gatot ke Prabowo Lewat Pembelaan Indonesia Bubar 2030

Sinyal Gatot ke Prabowo Lewat Pembelaan Indonesia Bubar 2030


Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ikut berkomentar tentang pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menyebut Indonesia bubar 2030.

Gatot membela penyataan Prabowo soal prediksi yang diambil dari sebuah novel Ghost Fleet. Bahkan menurutnya, hal itu bisa lebih cepat apabila kondisi Indonesia semakin lemah dalam konteks pertahanan dan keamanan negara.

Dia mengajak semua pihak menanggapi secara positif pidato Prabowo yang menyebut Indonesia bubar 2030. Gatot mengatakan hal itu sebagai peringatan bagi bangsa Indonesia agar memperkuat persatuan.

Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai pembelaan Gatot terhadap Prabowo sebagai sinyal politis. Gatot dianggap sedang berusaha mendekat ke Gerindra guna menjadi kandidat calon presiden maupun calon wakil presiden dari partai itu.

"Saya membaca konteks saat ini dia sedang melamar jadi capres atau cawapres dari Gerindra. Pernyataannya harus sehati dong dengan Pak Prabowo, wajar dia harus mendukung apa yang disampaikan Prabowo 100 persen, bahkan lebih agresif," kata Adi kepada CNNIndonesia.com Jumat (23/3).

Adi menilai Gatot tinggal berharap pada poros Prabowo (Gerindra dan PKS) agar mau menerimanya untuk bergabung ketimbang masuk ke poros Presiden Joko Widodo atau poros ketiga.

Menurutnya ada beberapa faktor mengapa Gatot lebih memiliki kedekatan ke poros Prabowo ketimbang poros lainnya.

Pertama, kata Adi, Gatot dan poros Prabowo sama-sama saling membutuhkan dalam konstelasi politik di tanah air menjelang pilpres 2019.

Sinyal Gatot ke Prabowo Lewat Pembelaan Indonesia Bubar 2030


Adi mengatakan poros Prabowo membutuhkan tambahan 'amunisi' tokoh baru seperti Gatot agar mampu meningkatkan elektabilitas Prabowo yang kemungkinan akan dicalonkan kembali oleh Gerindra sebagai capres.

Sementara di sisi lain, Gatot dapat memanfaatkan poros ini untuk mendaftar dan ikut berpartisipasi sebagai calon wakil presiden jika poros ini akan mengusung Prabowo.

Saat ini poros Prabowo didukung oleh Gerindra dan PKS, sebagai partai yang bisa mengusung capres dan cawapres pada pemilu 2019.

Adi menilai sosok Gatot dianggap mampu mendongkrak elektabilitas Prabowo apabila dirinya dicalonkan sebagai cawapres maupun dapat meningkatkan elektabilitas parpol pengusungnya.

Sebelumnya, Lembaga Media Survei Nasional (Median) merilis hasil survei yang dilakukan pada 1-9 Februari lalu. Hasilnya menunjukan elektabilitas
Gatot Nurmantyo terus merangkak naik di angka 5,5 persen dibandingkan elektabilitas sebelumnya yang berada dikisaran angka 2,8 persen.

"Jadi semacam simbiosis mutualisme lah, Gerindra dan Prabaowo butuh amunisi baru, tokoh baru karena Gatot mulai muncul namanya, dan sebaliknya, Pak Gatot juga bisa ambil kesempatan untuk bisa [jadi] capres atau minimal jadi cawapres di poros ini, jadi gayung bersambut," kata Adi.

Faktor kedua, tambah Adi, pintu poros Jokowi sudah tertutup bagi Gatot jika yang bersangkutan memiliki keinginan untuk maju sebagai cawapres Jokowi.

Menurut Adi, banyak tokoh politik yang juga sudah ancang-ancang mengisi posisi cawapres Jokowi.

Selain itu, tambahnya, PDIP sebagai partai pengusung Jokowi dinilai tak memiliki kesamaan pandangan politik dengan Gatot terutama soal kedekatannya dengan kelompok Alumni 212.

Adi berpendapat, Gatot sering melontarkan pernyataan yang justru memiliki kecenderungan menguntungkan kelompok Alumni 212 ketimbang menguntungkan Jokowi.

"Berkaca pada pilkada DKI Jakarta misalnya, PDIP kan berdiri secara diametral berbeda dengan sikap kelompok Alumni 212. Nah, Pak Gatot sepertinya punya kecenderungan lebih nguntungin dan berpihak pada kelompok Alumni 212, jadi chemistri-nya (Gatot-PDIP) enggak ketemu," kata Adi.

Faktor ketiga, kata Adi, peluang Gatot untuk mendekat ke poros ketiga yang diinisiasi oleh Partai Demokrat masih sangat kecil. Terlebih lagi, poros itu hingga saat ini masih sebatas wacana dan sangat kecil kemungkinan untuk terbentuk.

Dia menilai peluang Gatot untuk mendekat ke poros ketiga bentukan Partai Demokrat pun sulit dilakukan. Pasalnya, poros tersebut masih belum jelas kekuatan politiknya untuk bersaing dengan dua poros lainnya di pilpres 2019.

"Apalagi poros ketiga, di sana nasib keberadaan porosnya saja masih belum jelas, kalaupun jadi ada poros ketiga pasti sudah diblok sama AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) yang kepingin jadi capres, sehingga memang jalan Gatot itu ada di porosnya Prabowo," ujar Adi.

Condong ke Prabowo

Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai pembelaan Gatot terhadap pernyataan Prabowo terkait pidato Indonesia akan bubar pada 2030 mengindikasikan manuver untuk mendekat ke poros Prabowo guna mendapatkan jabatan publik yang lebih tinggi.

"Jadi untuk meraih simpati Gerindra dan Prabowo agar dirinya bisa mendapatkan jabatan publik yang lebih tinggi," kata Wasisto saat dihubungi CNNIndonesia.com kemarin.

Menurut Wasisto, fenomena para purnawirawan TNI yang memiliki ambisi untuk terjun ke dunia politik setelah pensiun, bisa dipastikan akan mencari patron atau seniornya di militer yang sudah terlebih dulu berkecimpung di dunia politik.

Ia menambahkan, mereka juga akan mencari dan memilih seniornya di militer yang mampu mengakomodasi segala kepentingan politik pragmatisnya. Relasi dan komunikasi yang terjalin intens antara Gatot dan Prabowo saat ini menjadi contoh.

"Nah, itu salah satu yang dilakukan oleh Gatot untuk menunjukan sikap respeknya terhadap Prabowo bahwa hal yang dikatakan Prabowo benar agar Prabowo bisa mengakomodasi kepentingan politik Gatot," kata Wasisto.

Wasisto telah memprediksi bahwa gerak gerik Gatot untuk mendekat ke kubu Prabowo sebagai pihak oposisi pemerintahan Jokowi sudah terlihat sebelum dirinya menyatakan pensiun dari dunia militer.

Wasisto lantas mencontohkan hal tersebut ketika Gatot melontarkan pernyataan yang 'menyerang' pemerintahan Jokowi seperti isu pembelian senjata dan isu komunisme yang marak pada September 2017. Selain itu, Gatot juga memberikan pernyataan yang membela aksi kelompok Alumni 212 pada Desember 2016.

"Sejak menjelang akhir jabatannya sebagai panglima, Gatot sudah menunjukan sikap oposisi terhadap pemerintah. Saya melihat dia sudah ada kecenderungan kesamaan pandangan politik dengan Prabowo dengan
melakukan cara-cara yang konfrontatif untuk mengintimidasi lawan politiknya, sudah cocoklah mereka itu," kata Wasisto. (pmg)

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20180324154310-32-285654/sinyal-gatot-ke-prabowo-lewat-pembelaan-indonesia-bubar-2030

==============


Banyak kontroversi memang saat Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi Panglima TNI. Mungkin kalau di era Orde Baru, Jenderal Gatot Nurmantyo ini disebut sebagai Jenderal Hijau. Jenderal Hijau adalah sebutan bagi Jenderal-Jenderal yang dekat dengan Ulama atau condong ke Kanan.

Tak salah memang jika seorang Panglima TNI dekat dengan seniornya. Tapi jadi bermasalah jika Seniornya tersebut adalah seseorang yang menjadi oposisi, yang berseberangan dengan pemerintah. Apalagi seniornya itu adalah sosok yang ditenggarai memelihara kelompok intoleran, kelompok pemaksa, yang selalu menjalankan aksinya dengan simbol-simbol agama. Belum lagi dengan aksi-aksi para kadernya serta pendukungnya yang cenderung ABS serta asal, asal bunyi-asal ngomong-asal beda.

Sebenarnya, mempunyai cita-cita itu tak pernah salah. Seorang tentara pasti punya rasa nasionalisme yang teramat besar. Tetapi rasa nasionalisme itu seharusnya tidak untuk menjual isu provokatif. Isu yang justru membuat keresahan di kalangan rakyat, membuat perpecahan yang tak berkesudahan.

Seorang tentara, apalagi mantan Panglima TNI, punya peluang besar untuk mendharmabhaktikan kecintaannya pada tanah air, dibidang manapun, dibidang apapun. Tak harus menjadi seorang presiden atau wakil presiden. Tak harus menjadi gubernur.

10 Jenderal yang kini mengelilingi Jokowi, bukanlah Jenderal Kancil. Mereka adalah Jenderal-Jenderal besar yang punya nama, punya sejarah sendiri-sendiri pada masanya. Bukan pula Jenderal yang hanya duduk dibelakang meja. Mereka adalah Jenderal lapangan, Jenderal Parakomando. Tentunya mereka mahfum dengan langkah dan sepak terjang Jenderal Gatot Nurmantyo. Mereka menilai, dan pasti memutuskan apa yang terbaik bagi pemerintah selaku pemegang kendali atas bangsa yang besar ini. Diatas mereka ada Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI. Biarpun presidennya sipil, mau tidak mau, suka tidak suka, itu sudah ditetapkan dimanapun di belahan bumi ini. Hierarki komando itu tetap tegak lurus! Tidak boleh menyimpang! Marwah Panglina Tertinggi TNI harus tetap dijaga. Dan seorang prajurit TNI dilarang untuk membangkang.

Jadi, semua berpulang kepada rakyat.
Rakyat yang menilai. Rakyat yang memutuskan. Bicara tentang kepantasan, tiap orang punya pendapat berbeda. Tapi bicara kepatuhan, prajurit harus patuh pada atasan.

Jika Jenderal Gatot Nurmantyo ditakdirkan untuk memimpin bangsa ini, jadi presiden atau wakil presiden kelak, tetaplah berjalan ditengah. Sebab rakyat sudah lelah, diberi pertunjukan badut-badut politik yang sering mengatasnamakan rakyat, tapi merampok uang rakyat, memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya. Badut-badut politik yang sering menjual nasionalisme semu dan menjual agama buat komoditas yang menguntungkan.

Hormat Jenderal!

emoticon-Cool
Diubah oleh n4z1 27-03-2018 23:26
0
7.3K
110
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.6KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.