annisaputrieAvatar border
TS
annisaputrie
Gempa Megathrust 8,7 SR Bayangi Ibu Kota
Gempa Megathrust 8,7 SR Bayangi Ibu Kota
Oleh Ismed Eka Kusuma -
 Maret 12, 2018 18:33



Gempa megathrust 8,7 SR bayangi ibu kota. (ilustrasi/aktual.com)



Jakarta, Aktual.com – Secara geologis dan geografis Indonesia dikelilingi oleh “Cincin Api” atau Ring of Fire dari ujung pulau Sumatra hingga kepulauan Maluku Utara. Tak pelak, masyarakat di sejumlah daerah kerap bersinggungan dan mengalami bencana gempa tektonik, erupsi gunung api, longsor hingga angin puting beliung.

Memasuki tahun politik 2018-2019, Ibu kota dihantui bayang-bayang goncangan gempa bumi berkekuatan 8,7 skala richter (SR). Sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, Gempa yang melanda Jakarta akan berdampak signifikan kepada kebijakan nasional.

Ditinjau dari geologi, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng besar yakni Eurasia, India-Australia, dan lempeng Pasifik. Pergeseran lempeng ini menyebabkan saling bertumbukan (megathrust) hingga material mantel meleleh dan naik ke permukaan menjadi cincin api atau Ring of Fire di sepanjang pulau Sumatra, Jawa dan sebagian Indonesia Tengah.

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam satu tahun terjadi setidaknya 6.000 kali gempa bumi. Namun banyak masyarakat yang tidak merasakan gempa tersebut.

“Ada 6.000 kali gempa dalam setahun tapi kita tidak merasakannya. Karena gempa-gempa tersebut tergolong kecil, kurang dari 5 SR,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati di Jakarta.

Gempa dengan kekuatan sekitar 5 SR terjadi sekitar 350 kali. Namun yang bisa kita rasakan hanya sekitar 3, 4, atau 5 kali. Namun dirinya tidak menampik jika gempa megathrust berpotensi melanda Jakarta dan sekitarnya.

“Potensi gempa yang lebih besar bisa saja terjadi. seperti halnya Tasikmalaya, Lebak, Aceh dan Yogyakarta. Namun pusat tetap di Samudera Hindia, seperti halnya gempa Yogyakarta pusatnya di pantai atau Samudera Hindia,” tegasnya.

Dalam pertemuan tahunan Masyarakat Geologi Amerika Roger Bilham dari University of Colorado, Boulder, dan Rebecca Bendick dari University of Montana, Missoula menyampaikan hasil studi mereka terkait gempa besar yang akan melanda Indonesia.

Bendick bersama Bilham menegaskan bahwa laporannya memberi probabilitas, bukan ramalan, tentang gempa. Hasil statistik mengungkapkan gempa dengan kekuatan skala 7,0 atau lebih akan berulang dalam kurun waktu antara 20 sampai 70 tahun. Kejadian berulang lebih sering terjadi bersamaan daripada acak. Pola ini signifikan secara statistik.

Seperti halnya ahli geofisika dari Rusia, Boris Levin dan Elena Sasorova; Bilham dan Bendick menjelaskan saat rotasi bumi berubah, bentuknya turut bergeser seperti rok penari. Ketika rotasi bumi melambat, yakni setiap 30 tahun sekali, mayoritas massa bergerak ke arah kutub. Sebaliknya, ketika bumi berputar lebih cepat, mayoritas massa bergerak ke khatulistiwa. 

Perubahan ini memang hanya sekitar satu milimeter, tetapi energi potensial yang terkumpul pada patahan bumi dapat menimbulkan gempa bumi dahsyat. Menurutnya, bumi sampai di penghujung periode perlambatannya; dan statistik mereka menunjukkan bahwa hal ini berarti gugusan gempa sedang mendekat.

“Studi ini tentang probabilitas, bukan prediksi, perlambatan rotasi bumi bukan berarti gempa pasti akan terjadi pada tahun depan, tetapi kemungkinan terjadinya gempa akan meningkat,” jelasnya.

Gempa Megathrust Ancam Ibu Kota

Dwikorita mengungkapkan di negara manapun sepakat tidak bisa memprediksi terjadinya gempa. Bahkan, negara maju yang sering dilanda gempa seperti Jepang masih belum bisa memastikan secara akurat kapan dan intensitas terjadinya gempa. Namun, analisa potensi yang diberikan bertujuan agar masyarakat tetap waspada dan tahu bagaimana langkah yang diambil jika terjadi gempa besar seperti Gempa Megathrust.

Gempa megathrust berpotensi terjadi karena dipicu oleh tumbukan lempeng tektonik di Samudra Hindia. Akibatnya ada lempeng yang tertekuk, dan menyundul lempeng di atasnya, hingga berakibat adanya thrust (patahan).

“Saat itulah terjadi release energi, lewat batuan dan tanah yang kemudian dirasakan sebagai gempa. Namun, terkait potensi, hingga kini masih dalam kajian. Memang ada beberapa peneliti yang memperkirakan itu terjadi namun bahan kajian ini belum ada kesimpulannya,” katanya.

Dalam mitigasi bencana ada beberapa tahapan, pertama tahap prabencana, saat bencana dan pascabencana. Prabencana bertanggung jawab melakukan observasi, melalui data-data sensor yang dipasang puluhan ribu di seluruh Indonesia. BMKG dalam tahap ini merekam data cuaca, iklim, Geofisika, khususnya gempa bumi dan tsunami. Setelah merekam data, kemudian memproses dan menganalisis untuk prediksi prakiraan dini.

Potensi dari titik pusat gempa ke Ibu Kota Indonesia diperkirakan berjarak 250 Kilometer (KM). Namun kontruksi lapisan tanah Jakarta yang rapuh (lunak) menjadi semakin sensitif terhadap goncangan gempa. Atau dalam pengertian lain, tanah Jakarta tak mampu menahan atau mengurangi daya goncang gempa.

“Di Jakarta, sedimen tanahnya lunak, yang apabila menghadapi guncangan, maka goncangannya cukup kuat,” jelasnya.

Jakarta berpotensi terdampak megathrust selatan Jawa melihat tanda dari gempa Lebak yang baru 1/10 dari kekuatan gempa yang diperkirakan magnitudonya 8,7 SR. Peneliti gempa BMKG, Daryono, mengatakan jika gempa megathrust selatan Jawa terjadi maka guncangan akibat gempa di Jakarta bisa mencapai 7 MMI. Besarnya guncangan salah satunya dipengaruhi oleh tanah lunak di Jakarta. Di tanah lunak, gelombang gempa teramplifikasi akibatnya guncangan akan terasa lebih tinggi. 

Dwikorita bukan bermaksud menakuti-nakuti melainkan mengimbau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai memikirkan langkah antisipasi dampak bencana gempa kelak. Ia mencontohkan gempa-gempa yang terjadi di kota besar dunia seperti Los Angeles, San Fransisco, dan California.

Sementara itu, pakar gempa dari ITB, Sri Widiyantoro menegaskan jarak Jakarta dari Selat Sunda (sekitar 115 Km) yang berpotensi sebagai salah satu titik pusat gempa, relatif dekat dan sangat memungkinkan terdampak goncangan yang mampu merusak fisik bangunan.

“Tahun 2011, Tokyo yang jarak 400 Km dari titik pusat gempa, mengalami goncangan yang sangat dahsyat. Jarak Selat Sunda ke Jakarta sekitar 115 Km tidak dikatakan terlalu jauh dalam jangkauan gempa,” kata Sri Widiyantoro.

Mengenai ancaman gempa Jakarta ini, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Rudy Suhendar menjelaskan bahwa sesungguhnya acaman gempa bukan hanya dialami Ibu Kota, namun pada umumnya wilayah Indonesia memang memiliki kerentanan terhadap gempa bumi, baik yang berasal dari zona subduksi (tumbukan), intraslab (zona dalam pertemuan kerak samudera dan kerak benua), maupun patahan di darat. Hanya saja kerentanan Jakarta karena faktor struktur tanah lunak (bukan bebatuan).

“Wilayah yang berpotensi mengalami gempa bumi tidak hanya di Jakarta. Dari ujung utara barat pulau Sumatera, Jawa, Bali, Sumbawa, NTT, Sulawesi, Maluku, Papua, memiliki kerentanan terhadap kegempaan, jadi bukan hanya Jakarta,” jelas Rudy.

Sedangkan untuk potensi gempa yang ada di Jakarta, Rudi menjelaskan bahwa secara geologis ada tiga kelompok gempa bumi yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak di wilayah Jakarta, yaitu pertama, sumber gempa bumi dari subduksi (megathrust). Jaraknya zona subduksi lebih dari 200 km terhadap kota Jakarta. Jika terjadi gempa bumi besar (8-9,5 MW) yang bersumber dari zona subduksi dapat merambat hingga wilayah Jakarta, intensitas biasanya menurun karena amplifikasinya tinggi, dan dapat berdampak pada bangunan/infrastruktur tinggi.

Kedua, Sumber gempa bumi dari intraslab (zona dalam pertemuan kerak samudera dan kerak benua, kedalaman umumnya >90 km) dengan posisi pusat gempa terletak di bawah wilayah Jakarta. Maksimum magnitudonya diperkirakan lebih lecil daripada gempa bumi subduksi, namun dapat juga menimbulkan efek kerusakan terutama terhadap bangunan/infrastruktur tinggi.

Ketiga, Sumber gempa yang diakibatkan aktivitas patahan aktif di darat sekitar Jakarta. Magnitudo maksimum pada umumnya lebih kecil daripada gempa bumi dangkal, dampak gempa bumi bisa berpengaruh langsung terhadap bangunan perumahan rakyat dan gedung yang tidak terlalu tinggi.

Lalu sejauh mana kesiapan pemerintah pusat mengahadapi potensi bencana gempa megathrust tersebut? Anggota Komisi V DPR-RI, Sadarestuwati menilai pemerintah masih kurang perhatian terhadap isu bencana, hal ini dapat dilihat dari anggaran untuk BMKG hanya sekitar Rp 1 Triliun untuk menangani seluruh wilayah Indonesia.

“Bagaimana BMKG mampu menyajikan informasi yang cepat dan akurat jika untuk maintenance saja dananya kurang,” ujarnya.
Dirinya meminta kepada Pemerintah DKI Jakarta dan KemenPUPR agar menaruh perhatian lebih pada isu kebencanaan. 

Menanggapi hal tersebut Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga S. Uno menegaskan akan komitmennya untuk mendorong BMKG melakukan mitigasi dan mengantisipasi dampak bencana. Banyaknya bangunan di Jakarta yang rapuh dan rentan terhadap gempa, serta kurangnya kepedulian dan kesadaran masyarakat dalam mengantisipasi dan mengahadapi bencana gempa, menjadi kekhawatiran tersendiri.

“DKI ada budget, kita dukung BMKG dan MoU nya nanti kita lihat. Kita perlu meningkatkan kesiapan kita,” kata Sandi.
Lebih jauh dia mewacanakan pembangunan taman sarana edukasi kebencanaan. Wacana ini terinspirasi dari taman pelatihan kebencanaan di Tokyo Jepang.

“Saya di Tokyo, ada di situ taman, yang mana disimulasikan kalau gempa seperti apa. Di sana setiap hari ribuan pelajar di bawa ke sana (Taman). Saya akan dorong agar DKI Punya taman begitu,” pungkas Sandi.

Staf Ahli bidang Keterpaduan Pembangunan Kementerian PUPR Adang Saf Ahmad mengingatkan agar masyarakat Jakarta lebih waspada terhadap bahaya gempa. Pasalnya, Jepang sebagai negara yang sering dilanda gempa dan super maju, memprediksi akan terjadi gempa besar berskala 8,1 SR, sehingga dibangunlah Pembangkit listrik tenaga nuklir dengan ketahanan 8,4 SR sebagai antisipasi. Namun apa yang terjadi, justru gempa berkekuatan 9 SR meluluhlantakkan sisi utara Jepang pada 11 Maret 2011 lalu.

Gempa 9 SR yang berpusat di lepas pantai Samudera Pasifik tersebut diikuti tsunami setinggi 10 meter sehingga menyapu bersih wilayah utara Jepang. Sebanyak 15.895 orang dari 12 prefektur tewas akibat gempa dan tsunami yang terjadi pukul 14.46 waktu setempat itu. Sebanyak 2.539 orang lainnya dilaporkan hilang.

Selain itu, tsunami juga menyebabkan reaktor nuklir Fukushima Daiichi mengalami kebocoran. Hingga 13 Februari 2018, tercatat sebanyak 73.349 orang masih belum kembali ke tempat tinggalnya.

“Jepang negara super maju dalam teknologi sudah memprediksi akan terjadi gempa. Kemudian bangunan didesain tahan gempa 8.5 SR. Secara perhitungan aman. Namun Gempa yang terjadi justru berkekuatan 9 SR,” jelasnya.

Meskipun prediksi dan kajian belum tentu tepat akan terjadi, lanjutnya, paling tidak badan-badan terkait sudah berusaha. Gempa terjadi atau tidak, Tuhan yang menentukan.

“Lebih baik memprediksi terjadi gempa besar daripada tidak sama sekali. Kalau tidak ada prediksi, maka tidak ada persiapan yang matang,” jelasnya.

Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhamad Sadly mengungkapkan Indonesia memiliki Pusat Studi gempa yang terdapat ahli, pakar dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi, termasuk BMKG.

Terkait Gempa Megathrust sudah dirilis dari peta terkini, menurutnya ada kemungkinan gempa 8,7 itu terjadi namun itu mulai dari Sumatera, Jawa, sampai NTB. Namun untuk gempa yang berada di bawah Jakarta sendiri belum ada.

“Jakarta merupakan pusat ekonomi makanya kita kaji karena belum ada pusat studi yang mengkaji pusat gempa khusus di jakarta,” jelasnya.

Dari segi teknologi, BKMG memantau gempa 24 jam karena belum ada teknologi yang bisa memastikan secara akurat kapan terjadinya gempa. Saat ini hanya sebatas tanda-tanda namun belum akurat karena ilmu pengetahuan masih berkembang.

“Setiap hari potensi gempa ada dan meningkat. Berdasarkan buku yang dikeluarkan kemenPUPR, dari semula 55 sesar, saat ini sudah ditemukan 295. Berarti ada peningkatan,” jelasnya.

Lalu, apakah gempa besar akan terulang? Dirinya bersama pakar kegempaan sedang meningkatkan kajian. Termasuk menambah ketersediaan alat. Namun saat ini, ketersediaan alat seperti Seismometer dan Seismograf masih terbilang kecil. Jepang dengan ukuran negara lebih kecil telah memiliki sekitar 2.000 titik sensor. Sedangkan Indonesia hanya memiliki 175 titik sensor yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Itulah salah satu alasan kajian dan peringatan gempa di Indonesia masih minim.
http://www.aktual.com/gempa-megathru...angi-ibu-kota/

-------------------------

Ilustrasi maut bila Jakarta kelelep akibat tsunami yang dipicu oleh gempa bumi skala 8 keatas atau akibatau kembali meledak seperti kejadian 1883 dulu ...

emoticon-Takut:





Apa jadinya kalau hal seperti itu melanda Jakarta?

Mau dipindah kemana ibukota RI nantinya?

0
8.7K
54
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.6KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.