Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

fitriwulandari9Avatar border
TS
fitriwulandari9
Jadilah Pelakor Sebentar
Aku Indah. Meskipun namaku Indah, tetapi aku tak begitu percaya diri ketika orang-orang memanggilku Indah. Aku lebih sadar diri ketika orang-orang memanggilku curut, anjing, babi, atau julukan-julukan binatang menjijikan semacamnya. Karena memang aku tak akan cocok seandainya kau panggil Indah. Aku jahat dan tak punya malu! Sebab, begitulah kira-kira orang-orang akan menilaiku, jika tahu, bahwa aku hanya seorang perebut laki-laki orang dengan hidupku yang berantakan.
Tetapi, maukah kau mendengarkanku, untuk memberikanku kesempatan membela diri dengan argumen bahwa aku juga manusia? Simaklah ceritaku dengan menjadi diriku sebentar saja, jika pada akhirnya kau masih tak percaya bahwa aku juga manusia, maka aku tak akan menyumpahimu, apalagi memaksamu untuk mempercayaiku akan hal itu.
Mungkin aku akan memulai ceritaku tentang kehidupan keluargaku. Aku cantik, juga memiliki tubuh yang menarik. Setidaknya pujian itu sering kudengar dari orang-orang yang baru saja berkenalan denganku. Entah itu wanita, ataupun pria. Tak hanya kudengar dari orang-orang yang baru saja berkenalan denganku, orang-orang yang mengenalku dari kecil pun, juga biasa memujiku seperti itu, ya.. Para tetanggaku mengakui akan hal itu. Tetapi sayang, hubunganku dengan keluargaku tak secantik dan semenarik diriku. Aku ditendang dari rumah oleh ayahku. Semua itu bermula dari Dedy, seorang laki-laki yang sempat sangat kucintai, kubela mati-matian untuk kujadikan sebagai suami ditengah keadaan keluargaku yang tidak menyukainya sejak pertama kali aku berpacaran dengannya. Banyak alasan kenapa keluargaku tak menyukainya, tetapi mungkin aku tak akan menceritakan lebih tentang hal ini kepadamu, karena nanti bisa merembet kemana-mana. Sebab memang bukan dia yang ingin aku ceritakan padamu sekarang.
Jika kau bertanya bagaimana hubunganku dengan Dedy sekarang, akan kujawab bahwa aku sekarang adalah seorang janda karenanya. Saat itu, saat aku baru saja berpisah dengannya, keadaanku benar-benar kalut, suram, dan hancur berantakan! Bagaimana tidak? Aku tak punya siapa-siapa, aku pun bingung harus tinggal dimana. Bahkan aku sempat depresi dan berniat untuk bunuh diri, dan dari sinilah, cerita tentang cintaku yang bersemi hingga kini, dimulai...
Jadi, malam itu, sekitar pukul delapan lebih, aku berniat akan membawa diriku ke tengah jalanan beraspal untuk menyiapkan diri dihantam kendaraan apapun yang berlalu lalang. Baiklah, saat itu, aku telah siap! Lalu memulainya dengan menuruni jalan trotoar. Kuseret terus kakiku untuk menghampiri sendiri nyawaku. Malu, mengganggu, merasa tidak enak, atau perasaan apapun itu, terhadap lingkungan disekitarku, tak ada sama sekali dibenakku saat itu. Hanya pedih bercampur pilu, sudah, itu saja yang kurasa! Tetapi, jangan kau anggap remeh perasaan semacam itu, karena rasa itu sudah cukup melukiskan betapa beratnya beban pikiranku ketika itu, hingga energinya seakan mau meledakkan otakku. Pikiranku yang benar-benar kacau, membuatku tak bisa memperdulikan hal-hal lain selain niat bulatku untuk mengakhiri hidupku. Bahkan suara beberapa klakson kendaraan pun, tak mampu mengedipkan mataku yang tetap setia menyala sendu, apalagi sampai mengalihkan pandanganku dari anganku untuk menjemput sendiri mautku. Ya, benar! Tak ada. Saat itu tak ada yang mampu mengalihkan perhatianku, kecuali... Ketika seorang pria tiba-tiba menarik pergelangan tanganku begitu cepat dan keras, membuatku terkejut hingga mengundang mataku untuk meluncur kearahnya. Tanpa ba bi bu atau sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya, kudibawanya pergi dari jalanan dengan langkah yang terkesan terburu-buru. Saat melewati kursi jalan yang sebelumnya kududuki, ia menarik koperku yang berdiri disamping tangan kursi, dan melanjutkan langkah terburu-burunya kembali. Kupukuli punggungnya dengan telapak tanganku. Berkali-kali aku juga bertanya apa maksudnya, tapi tak kudengar satu huruf pun berbalas darinya. Aku terus dibawanya pergi. Kutengok belakang. Jalan itu, tempat dimana saat kumelangkahkan kaki untuk menghampiri malaikat mautku itu, sudah berlalu begitu jauh. Tiba-tiba, aku dibawa masuk ke sebuah kafe yang terlihat ramai. Kemudian mendekati sebuah meja kosong di pojok. Ia melepaskan genggamannya dari tanganku juga koperku,  menyediakanku kursi untuk kududuki. Aku duduk. Nafasku pendek karena terengah-engah. Dia juga duduk. Tepat dihadapanku. Masih sama, diam tanpa bicara. Malah asik memandangiku dengan seringaiannya.
"Haus?" dia bertanya.
Aku diam sejenak untuk mengatur nafasku agar segera berhembus dengan wajar. Setelah kurasa agak normal, aku mengomelinya dengan nada sedikit tinggi mulai dari a sampai z karena telah seenaknya membawaku pergi. Belum selesai aku berbicara, dia menyelaku dengan teriakan yang panjang dan keras.
"Aaaaaaaaa.....!!!"
Membuat para pengunjung kafe beralih perhatian kearahnya. Kulihat sekeliling. Ah! Sepertinya pipiku mulai merona malu saat itu. Tetapi dari situ aku tersadar, bahwa sejak detik itu, masalahku menghilang dari pikiran, karena pikiranku mulai teralihkan ke teriakan pria yang ada dihadapanku. Aku pikir, dia tengah membentakku, karena telah berani marah-marah padanya. Tetapi tunggu... Sepertinya sangkaanku salah, karena tiba-tiba dia mulai tertawa.
"Coba, teriaklah seperti apa yang barusan kulakukan!", dia menantang dengan nada sisa tertawanya.
"Jangan gila, aku tidak mau".
"Haha.. Kau mengataiku gila. Padahal kau sendiri juga gila". Dia mulai membuka bungkus rokok, membakarnya, lalu menghisapnya. Aku tahu apa maksudnya. Bagiku tak hanya dia. Mungkin siapapun yang melihatku melangkah ke tengah jalan tanpa peduli dengan kendaraan yang tengah sibuk berlalu lalang, pasti menganggapku gila.
"Melepaskan masalah dengan berteriak mengganggu 27 orang diruangan malu, tetapi melepaskan masalah dengan berdiri di tengah jalan mengganggu 109 orang tak malu, bagaimana kau ini? gila kok tanggung-tanggung. Malu pun pilih-pilih".
Entah bagaimana pria itu menghitung 27 orang di ruangan kafe, ataupun 109 orang di jalanan, aku tak peduli. Karena yang menarik perhatianku dari pria itu bukanlah hal itu, melainkan, cara ia membuka jalan pikiranku dengan menggunakan sebuah satire sederhana yang mengena. Jleeeebbb! Tepat di hati dan pikiranku. Tentulah kau tau apa rasanya. Ya.. Sedikit tersinggung dengan campuran rasa malu yang dominan. Aku sengaja terus diam sambil memperhatikan ia mengepulkan asap rokok dengan gaya santai yang berkarisma. Sebab aku masih ingin mendengarnya berbicara. Tapi dia belum melanjutkan bicaranya. Malah meraih Samsung Galaxy S6 Activenya yang tergeletak diatas meja. Kulihat ia sedang menutul-nutul HPnya. Kubiarkan ia dan tak mau mengganggunya sampai ia benar-benar siap untuk berbicara kembali. Oh ya, jika kau mau tahu seperti apa orangnya, dia cukup tampan bagiku, kulitnya kuning langsat, dengan penampilannya yang khas dan apa adanya. Ya, penampilan yang berantakan, dengan kaos yang dilapisi hem, bercelana jins sobek-sobek tak beraturan, bersepatu cats kumuh kecoklatan yang berasal dari warna dasar putih, berhiaskan gelang-gelang murah dipergelangan tangan kirinya, serta rambut ikal yang separo ia kuncir keatas dan separo tersisa  berurai dilehernya.
Baiklah, tinggalkan dulu perbincangan kita tentang seperti apa orangnya, Karena kelihatannya ia telah selesai bermain HP, pergi meninggalkanku untuk memesan minuman, dan kembali duduk dihadapanku dengan sambutan senyuman, "Ingin melepaskan masalah dengan bercerita padaku?" Dia menatapku dalam. Entah mengapa, aku merasa dia laki-laki terpeka yang pernah kutemui.
"Em, tidak", aku malu, dan kuurungkan niatku untuk bercerita.
"Baiklah, biar aku yang mewakilimu melepaskan masalahmu. Tapi karena aku tidak tau apa masalahmu, jadi, biarkan aku melepasnya dengan berteriak lagi". Dia mulai mangap. Tetapi aku berhasil menyela sebelum pita suaranya mulai bekerja.
"Jangan lakukan itu, akan aku ceritakan ditempat yang nyaman dan tak banyak orang".
Dia mengangguk sambil memanyunkan bibirnya. Jika kau melihat seperti apa ekspresinya saat itu, sungguh! Wajah itu nampak menggemaskan dan lucu.
Itulah pertemuan pertamaku dengannya, bersama sepasang cangkir coklat panas dan cappucino panas sebagai saksinya. Kau harus tau, dia supel, asik, dan lucu. Hingga obrolan ini itu pun mulai tercipta dengan alami hingga tak terasa mengalirkan tawa yang menghapus ingatan luka. Yap, sejak itu pun aku juga tahu siapa dia, dia adalah Rilo, seorang mahasiswa sastra Indonesia di salah satu perguruan tinggi di Malang, dan dari dirinyalah, aku sekarang sedikit mengenal tentang bahasa-bahasa sastra.
Setelah sekitar satu jam lebih, dan ketika aku sedang bercerita tentang salah satu episode yang lucu dari film larva, Rilo memandang jam di HPnya dan tiba-tiba menyeret koperku, dibawa pergi bersamanya tanpa meminta izin kepadaku ataupun memperdulikanku yang belum selesai bercerita. Tentu kau tau apa yang kulakukan. Aku memotong ceritaku dengan rasa sebal yang bercampur malu. Kukejar dia dari belakang sambil berteriak,
"Rilo! Tunggu..".
Berjalan, jalan, terus berjalan hingga semakin jauh dari kafe, tetapi, semakin dekat dengan tempat dimana saat aku hendak bunuh diri. Tapi arah Rilo bukan ke jalan itu, melainkan berbelok ke lahan parkir dekat jalan itu. Memasukkan koperku ke bagasi mobil dan membukakanku pintu depan agar aku segera masuk ke mobilnya. Aku masuk, pintu tertutup, lalu bertanya hendak kemana.
"Melepaskan masalah, lalu istirahat". Begitulah jawabannya.
Mobil mulai melaju, hingga sampailah didepan sebuah rumah. Ia memerintahkanku untuk tetap di dalam mobil, dan aku pun mengiyakan. Ia keluar dan kulihat mengetuk pintu rumah itu lalu mengambil beberapa kunci dari seorang wanita setengah baya. Pamit undur diri dan kembali masuk kedalam mobil untuk melanjutkan putaran roda.
Tibalah kami disebuah rumah lagi, tetapi tentulah rumah yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini ia mengizinkanku untuk turun. Aku turun dan mengikutinya berjalan dengan koperku yang digeret olehnya. Kemudian duduk berdua di depan bangku teras rumah, dan disodorkannyalah beberapa kunci yang ia keluarkan dari saku celana.
"Tinggalah disini".
"A.. Apa? Ta..pi, ini rumah siapa?".
"Kontrakan tenteku sedang kosong, aku sewakan ini untukmu selama 1 bulan".
"Akan segera kubayar, terimakasih Ril".
"Tentu, kau harus menggantinya. Sekarang".
"A.. Maksud kamu? Aku sedang tak ada uang sebesar sewaan kontrakan, tapi jika kau mau, aku ada.."
"Dengan melepaskan masalahmu untuk menepati janjimu tadi".
Aku tertegun. Entah perasaan apa ini, kupikir, Rilo memang pandai membuatku merasa nyaman jika berada didekatnya. Seakan dia memaksa masuk kedalam kehidupanku untuk menemaniku yang sedang kesepian dan membutuhkan seseorang. Tak terasa air mataku mulai memenangkan egonya untuk bereksistensi. Benarlah, aku tak sanggup untuk membendungnya. Tiba-tiba aku bersandar ke pundaknya. Untuk sekedar meluncurkan air mata agar sesak dada segera sirna. Ia tak menyentuhku atau menanyaiku kenapa untuk beberapa detik. Tapi tak kusangka, tiba-tiba dia menggeser posisinya untuk memelukku dengan posisi yang lebih nyaman. Tangisku semakin tak tertahan, sesenggukan pun mulai datang. Ia mengelus lembut rambutku hingga ke punggungku tanpa melontarkan satu buah pun pertanyaan. Tapi akulah, aku sendiri yang mengalirkan cerita tentang beban pikiranku kepadanya ketika pelukan darinya masih sangat hangat kurasakan. Malam itu cukup menjadi gulanya kopi kehidupan bagiku. Sebab aku merasa membaik dan menikmati hidup semenjak malam itu. Malam itu juga menjadi malam awal dimana perkenalanku dengan Rilo menjadi lebih jauh, yaitu dari pertukaran kontak telepon juga dari media sosial masing-masing.
Keesokan harinya, WA Rilo masuk. Sesegera mungkin aku membukanya. Tertuliskan,
"Sudah makan?"
"Belum Ril. Kamu sendiri? Oh.. Btw, makasih ya buat tadi malem".
Centang biru dua. Sudah, tak ada balasan. Hanya sampai situ saja. Hah, laki-laki itu memang sulit untuk ditebak. Tak lama kemudian, datanglah Bapak-bapak gojek menanyakan apakah saya betul Mbak Indah, kujawab benar dan kudiberi beberapa makanan yang kukira ini lebih dari cukup untuk stok sampai nanti malam. Siapa lagi jika bukan kerjaan Rilo. Benar kan kataku. Dia laki-laki terpeka. Mungkin malah sedunia.
Sehari penuh tak ada chat apapun darinya, selain "sudah makan?" pagi itu. Sumpah! Aku tak mengada-ada. Padahal ia online sebentar-sebentar sampai malam. Tapi tak apalah. Aku sadar diri juga, aku ini siapa, dan aku pun merasa sudah terlalu merepotkannya. Keesokan harinya pun tiba. Rilo kembali chat dengan bahan yang sama,
"Sudah makan?"
"Belum, tak usah mengantariku makanan lagi. Aku tak mau terlalu merepotkanmu".
Sama, centang dua biru yang tak berbalas. Datang Bapak-bapak lagi, membawa makanan dengan menu berbeda yang juga cukup untuk stok sampai nanti malam. Tapi ada tambahan sebuah amplop yang lumayan tebal. Saat kubuka, isinya adalah uang dengan nominal yang tak sedikit menurutku. Ku chat dia.
"Uang apa ini? Aku tak mau menerimanya!"
Centang dua biru yang tak berbalas, aku semakin geregetan. Ku coba boom chat kepadanya. Malah centang biru tak berwarna. Padahal sesekali kontaknya menunjukkan sedang online. Aku mencoba meneleponnya. Hah! Dia mengangkatnya.
"Kenapa chat ku tidak kau balas?".
"Hehehe". Dia hanya tertawa.
"Aku serius, apa maksudmu, aku tak mau kau beri uang!".
"Jangan gila! Siapa juga yang memberimu uang? Anak kos memberi uang cuma-cuma, yang benar saja. Aku meminjamimu untuk modal buat kau bekerja".
"Am... Ta.. pi, tak usah Ril. Aku sudah banyak merepotkanmu".
"Aku lagi ada latihan teater. Sibuk. Jangan lupa makan".
Sudah, ia menutupnya. Oh ya, jika kau tau, aku sebelumnya seorang model, jadi mungkin aku bisa melanjutkan profesi ini dengan uang Rilo, membeli keperluan untuk pemotretan seperti baju, make up, sepatu, asesoris, dan semacamnya. Ya, semenjak dari bantuan Rilo itu, aku dapat melanjutkan profesiku kembali dan mendapatkan uang sendiri tanpa harus merepotkan Rilo lagi.
Pada Jum'at sore, Rilo datang ke kontrakanku, tentulah aku senang, sekaligus...Em, bisa dibilang, rindu.
"Sudah makan?" Pertanyaan pertamanya saat baru datang bertatap muka.
"Belum, tapi bentar lagi mau cari makan kok. Abis pulang kerja soalnya".
"Cuma nanya, nggak nyuruh".
Dasar! Jawabannya meledekku. membuatku terdiam dengan berusaha menyembunyikan rasa maluku. Tapi tiba-tiba dia pergi tanpa pamit. Kutanya kemana, malah direspon dengan lambaian tangan "dada.." dari belakang. Tak lama kemudian ia datang kembali dengan membawa makanan. Pastilah, jika kau berada di posisiku, kau akan merasa tak enak bukan? Yah.. begitulah yang kurasakan, dan dari situlah, agar aku tak selalu merasa merepotkannya, maka aku rajin menyetok bahan-bahan masakan di kulkas untuk kumasak saat ia datang berkunjung untuk main. Tak hanya untuknya sih. Untuk kami berdua. Makan bersama sambil bercanda bersama. Kurasa dia menyukai masakanku, sebab semenjak itu, dia sering main ke kontrakanku, dan seiring bertambahnya hari, tambah pulalah keakrabannya denganku. Hingga suatu ketika, hal indah terjadi padaku dan padanya laiknya sepasang kekasih. Dia memelukku, lalu kulepaskan pelukannya. Kupandangi dekat wajahnya, dan kumulai mengecup lembut bibirnya. Ia membalasnya. membuat ciuman itu semakin panas, hingga membuatku sampai jatuh keranjang. Tiba-tiba bibirnya turun hingga ke leher, mengawalinya dengan menjilati, lalu menyupangku. Tangannya pun mulai meremas dadaku.Tapi sebatas itu, ia tak sampai menyentuh mahkota wanitaku. Sungguh! saat itu aku luluh kepadanya, tak berdaya untuk melawannya. Sebab cinta, aku sudah mencintainya jauh-jauh hari sebelum cumbu itu terjadi.
Sejak kejadian itu pula, mulailah muncul panggilan "Sayang" antara aku dengannya, mulai saling perhatian, dan aku juga sering cemburu padanya ketika dia menurutku terlalu supel terhadap teman wanitanya. Aku pun sering melarangnya ini itu jika menurutku itu tak baik untuknya. Tapi kupikir, dia tak merasa terganggu karenanya.
Dia pun mulai mengenalkanku dengan teman-temannya, sering diajak keluar nongkrong bersama, hingga pada suatu ketika, teman Rilo menanyaiku saat Rilo tak ada disampingku.
"Kalian keliatan deket banget Ndah, temen kan ya?
"Kenapa Bob?"
"Nggak, soalnya dia ada wanita, kuliah di Bandung".
"Serius?" Aku terkejut.
"Lah, belum tahu? Udah lama. Tujuh tahunan".
Semenjak aku tahu tentang itu, sungguh. Hatiku sakit, kecewa bercampur bingung. Sakit karena sudah terlanjur cinta, kecewa karena Rilo sudah ada yang punya, dan bingung, melepasnya tak rela, juga tak mau jika dianggap sebagai orang ketiga. Dari kejadian itu pun, aku sempat bertengkar dengan Rilo. Ditengah keadaan debat, dia menjelaskan padaku mengenai hubungannya yang katanya sedang berada diambang kehancuran, dia bilang, hubungan itu kemungkinan kecil untuk dipertahankan, juga bilang, bahwa ia mulai nyaman kepadaku, dan telah hilang kenyamanannya pada kekasih resminya. Semenjak percecokan itu, Rilo agak susah kuhubungi, juga tak mengabariku selama beberapa hari.
Hari Jum'at pun tiba, sekitar pukul 10 an setelah kelas pagi, ia menemuiku. Marahku kemarin sudah tak ada, mendadak hilang, berganti mengeluh padanya kenapa telah membuatku khawatir karena tak memberiku kabar sama sekali.
"Iya, maaf. Sedang tak ingin mengabarimu memang. Mau pamit, ke Bandung sebentar. Nyelesaiin masalah sama.. Yah, kau tau sendiri?".
"Kalau memang hubunganmu masih dapat dipertahankan, pertahankan saja. Karena hubunganmu dengannya tidak sebentar, aku pun tak mau dianggap sebagai perusak hubungan orang".
"Aku ingin menjelaskan semuanya kepadanya, setelah semua keadaan kembali normal, aku tak mau lama-lama menggantungmu".
Yah... Rilo Ke Bandung sampai hari Minggu setelah berpamitan denganku, dan selama di Bandung, kulihat ia tak aktif WA sama sekali. Tapi sebelum dia offline, dia sempat membuat sebuah story yang bertuliskan,
"Waktu ini, untukmu. Lainnya? hussshhh! Jangan ganggu". Sungguh! Air mataku tak kuasa tertahan saat itu, tiba-tiba mengalir perlahan. Aku cemburu, sangat cemburu! Tapi aku pun tahu, bahwa aku tak punya pilihan selain menunggu keputusannya.
Waktunya Rilo kembali, tetapi justru ia tak nampak batang hidungnya.
Ku telepon dia, dan, fiuhhh... Untunglah, diangkatnya.
"Bagaimana Ril?"
"Seperti yang kuduga sebelumnya".
"Jadi?"
"Aku akan menepati janjimu untuk tidak menggantungmu".
Entah perasaan seperti apa yang kurasa saat itu, aku tidak bisa mendefinisikannya. Antara bahagia, merasa bersalah, tapi juga sedih.
Begitulah, kejadian itu sudah berlalu dua bulan yang lalu, dimana sekarang, Rilo sudah menjadi calon suamiku. Dulu, ia juga sempat menggodaku karena semakin hari perutku semakin gendut. Sepertinya, aku bahagia dengannya, katanya. Tapi dari situ aku jujur padanya. Aku pun siap untuk menanggung resiko jika aku harus kehilangannya. Sebelum semuanya terlalu jauh. Kukatakaan bahwa aku tengah mengandung anak Dedy dua bulan, memang awalnya dia tak menyangka. Bukan karena aku seorang janda, tetapi karena aku tengah berbadan dua. Jika masalah janda, tentulah dia sudah tau, sebab aku pun telah banyak menceritakan kehidupanku padanya. Walaupun awalnya tak percaya, tapi pada akhirnya ia berkata,
"Bulan depan aku sidang, setelah wisuda, kau akan kulamar".
Awalnya, urusan tentang apakah keluarganya setuju denganku, sangat menjadi pertimbangan utama untukku. Akan tetapi, ternyata takdir buktinya bisa memenangkan segalanya. Karena 4 bulan kemudian, buktinya pernikahanku dengannya sudah 70% siap, dan kenapa malam ini aku menceritakan masa lakuku dengan Rilo padamu, karena aku merasa ada hal yang mengganjal menjelang hari pernikahanku. Rasa bersalah yang telah lama hilang hadir kembali malam ini. Setelah aku menemukan sebuah diari dengan foto-foto mesra antara Rilo dengan mantan kekasihnya, masih tersimpan rapi dan bersih di laci lemari kamarnya. Kenapa baru tahu? Ya! Sebab ini kali pertamanku masuk ke kamarnya.
Kurasa cerita ini belum mampu menjawab pertanyaanmu. Mungkin, kau akan tau setelah Nine menceritakan kisah ini dari sudut pandang seorang RILO.

NINE
0
3.1K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to HeartKASKUS Official
21.8KThread27.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.