Wregas Bhanuteja, Contoh Generasi Inspirasi Di Dunia Perfilman!
TS
indahaira
Wregas Bhanuteja, Contoh Generasi Inspirasi Di Dunia Perfilman!
Katanya Millenials anak yang dimanjakan teknologi. Inginnya serba praktis, bahkan terkesan malas. Ah kata siapa?
Kenalin nih, Generasi Millenials yang Menginsipirasi:
Sutradara muda berprestasi bernama Wregas Bhanuteja.
Wregas Bhanuteja, di usianya yang ke-25 ini, pria lulusan S1 jurusan Film di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini sudah sukses melahirkan film yang diakui pada taraf internasional. Ia sudah mendapatkan penghargaan fiilm pendek terbaik di Semaine de la Critique, Festival Film Cannes 2016 dengan film pendeknya "Prenjak/In The Year of Monkey".
Anak muda yang akrab dipanggil Tejo ini sudah berkali-kali terlibat dalam pembuatan film produksi Miles Films, bersama Riri Riza dan Mira Lesmana. Sebut saja Ada Apa dengan Cinta 2 dan Athirah, dimana Tejo menjadi Behind The Scene Director di kedua film tersebut.
Yuk kita kenalan dengan Tejo lebih dalam!
Punya keinginan gak untuk membuat film dari cerita karya penulis buku bestseller Indonesia?
Spoiler for 1:
"Ada tentunya. Suatu saat pasti pingin banget bisa ngangkat karya-karya novel gitu dan ada beberapa yang memang saya suka."
Siapa penulis yang Mas Wregas ingin ajak kerjasama?
Spoiler for 2:
(tertawa) "kalo misalnya..mungkin ini disebut impian dulu kali ya..suatu saat boleh. Saya pingin sekali memfilmkan 'Saman' Ayu Utami, saya pingin banget, yang kedua kalo ada satu kesempatan bikin dari novelnya Eka Kurniawan, saya bersyukur sekali. Mulai dari (buku) 'Cantik Itu Luka', atau 'Lelaki Harimau', tapi saya juga belum menentukan, cuman saya suka karya-karya beliau dan suatu saat kalau saya bisa memfilmkan, akan sangat bersyukur."
Sebagai sutradara, pencapaian apa yang kamu banggakan selama ini?
Spoiler for 3:
"Tentunya paling jauh ya adalah ketika Prenjak menang di Cannes, itu sesuatu yang kita tidak pernah menduga anugerah itu, dan karena selain ada pencapaian di situ, sebenarnya yang lebih penting adalah untuk momentum setelahnya gitu kan, jadi banyak peluang yang kemudian akan saya dapatkan gitu di industri film, maksudnya industri ini ekosistem film ya, peluang dan tawaran-tawaran juga semakin banyak, kesempatan-kesempatan juga semakin terbuka."
Foto: Wregas Bhanuteja, pemain, dan kru film Prenjak sebagai pemenang film pendek terbaik di Festival Film Cannes 2016, Perancis.
Saat berada di tengah-tengah atmosfir Cannes 2016, apa sih yang Mas Wregas rasakan disana? Apakah ada cerita menarik yang Mas Wregas alami disana?
Spoiler for 4:
"Pertama kali saya menginjakkan kaki di Cannes itu saya merasa bahagia gitu, selama ini saya melihat Cannes itu dari kuliah dan banyak sekali sutradara yang saya kagumi itu menampilkan karyanya disana dan saya hanya bisa melihat dari internet atau pun dari ulasan-ulasan yang misalnya filmnya katakanlah Jim Jarmusch dengan premier di Cannes atau filmnya Jean Luc Dardenne sedang premier di Cannes gitu. Dan ketika sampai sana saya merasakan nuansa film yang kuat sekali. Ibaratnya satu kota merayakan festival dan yang paling penting saya merasakan apresiasi terhadap cinema itu sangatlah besar di sana. Ketika pemutaran ada sambutan yang sangat baik sebelum film dimulai gitu ya dan setiap penonton memberikan sambutan yang luar biasa seusai film ditonton, film apapun.
Dan itulah yang saya kagumi dari mereka gitu, bahwa kultur atau budaya dalam mengapresiasi sinema sebagai sebuah karya seni itu sudah terbangun sejak lama gitu, sudah terbangun sangat kuat, literasi sinema itu juga terbangun sangat kuat, sehingga sinema bisa hidup di sana. Energi itu yang paling saya rasakan dari Cannes tentunya. Selebihnya tentunya adalah pengalaman melihat karya-karya yang saya sebut sebagai sutradara yang saya kagumi untuk pertama kalinya di sana. Karena kan konsepnya adalah tempat untuk world premiere kan jadi banyak sutradara yang seperti kalo dari Korea ada Park Chan Wook atau dari Austria ada Michael Haneke itu mereka membuat premiere pertamanya di sana dan saya mendapatkan kesempatan untuk pertama kali menonton film itu premiere itu adalah sebuah kesempatan yang berharga sih, dan melihat para sutradara maupun para pemain-pemain dan krunya datang juga di premiere itu sebuah kesempatan yang berharga.
Terlebih lagi saya mendapat kesempatan untuk melihat film-film pendek yang satu kompetisi dengan saya gitu. Yang mereka ada yang dari Brazil, dari Kanada, dari Jerman, dari Taiwan yang memiliki ragam sinemanya masing-masing memiliki stylenya masing-masing, memiliki gagasannya masing-masing, sehingga saya bisa menjadi mendapatkan banyak referensi dan pandangan saya menjadi semakin luas bahwa semakin banyak orang di dunia ini bereksperimentasi terus gitu terhadap sinema dan ini energi yang sangat besar buat bikin film lagi."
Ada gak idola Mas Wregas yang ditemui di sana?
Spoiler for 5:
"Kalo misalnya secara lihat dari jauh banyak sekali. Ada sutradara namanya Michael Haneke, kalau pemain ada Nicole Kidman, saya melihat Nicole Kidman. Ada sutrada Yunani Yorgos Lanthimos, terus kemudian ada sutradara dari Inggris filmnya judulnya American Honey namanya Andrea Arnold, tapi kalo yang sampe bisa ketemu langsung dan jabat tangan dan foto tuh waktu itu kesempatannya hanya satu.
Ada satu sinematografer dari Iran tapi dia tinggal di Perancis namanya Darius Khondji. Darius Khonji ini adalah sinematografer, kameraman yang sangat terkenal, dia beberapa karyanya Amour atau Seven itu saya sangat mengagumi sinematografi beliau dan saya ada kesempatan untuk ketemu berjabat tangan. Karena kalau bertemu sutradara dan aktor aktris yang lain itu sangat susah ya, karena ketika red carpet dimulai, semua penonton yang ingin menonton itu harus sudah masuk semua, sehingga red carpet itu clear hanya untuk wartawan. Jadi gak mungkin kita untuk selfie gitu."
Darimana ide-ide cerita film Mas Wregas selama ini?
Spoiler for 6:
"Paling dekat adalah dari tetangga saya keluarga saya atau teman-teman. Jadi saya lingkupnya sekecil itu. Kalau gak dari keluarga, dari tetangga-tetangga di Jogja, atau dari teman-teman. Karena apa, karena ketika saya mendengar cerita itu saya merasa sangat dekat, itu yang pertama. Saya memahami betul culture mereka dan dinamika mereka dalam kehidupan, maksudnya dalam berinteraksi dalam ngobrol berdialog itu saya paham betul. Sehingga ketika saya merealisasikannya ke dalam bentuk film, itu menjadi tidak, rasanya tidak terlalu jauh, saya paham bagaimana cara dia minum, saya paham bagaimana cara dia marah, atau saya paham cara dia tidur misalnya, itu semua saya pahami.
Jadi, saya cenderung menghindari membuat film yang idenya berasal dari sangat jauh kemudian saya tidak paham dunia itu gitu ya, saya menghindari karena ketika menjadi film takutnya akan berjarak.
Bagaimana tanggapan mereka saat tahu cerita mereka diangkat ke film?
Spoiler for 7:
Saya selalu bilang bahwa cerita mereka diangkat ke film adalah ketika film itu jadi. Jadi termasuk misalnya seperti Lemantun, film itu adalah berdasarkan cerita keluarga saya. Pada saat lebaran mereka membagikan warisan berupa lemari. Yaudah ketika persiapan bikin skenario saya cuman ngobrol aja sama mereka, tanya kenapa sih kok membagi lemari, saya tanya eyang putri atau saya tanya ke Pakde-pakde saya. Mereka nggak tahu bahwa ini menjadi film bergitu filmnya jadi saya tunjukkan mereka di Lebaran tahun berikutnya terus mereka kaget gitu, 'Lah ini ternyata pertanyaanmu selama ini kamu bikin film,' gitu kan. Lalu mereka kaget. Atau kisah dari teman saya yang kemudian saya angkat terus saya bilang saya filmkan juga mereka kaget gitu ya. Cuman itu sbeenarnya menariknya di situ.
Adakah prinsip utama bagi Mas Wregas dalam berkarya?
Spoiler for 8:
"Prinsip utama sebenarnya adalah memahami. Jadi satu kata itu mungkin yang menjadikan prinsip, memahami. Karena saya merasa film sebagai sebuah media untuk berkomunikasi adalah media juga untuk saya memahami manusia. Saya memahami hidup atau saya memahami dunia ini. saya merasa di umur-umur setelah 20 itu rasanya begitu banyak pertanyaan yang muncul "kenapa kok manusia melakukan hal ini, kenapa manusia melakukan hal itu, kenapa bisa dia bisa berbuat kejahatan, kenapa dia bisa mengatur hidup seseorang, kenapa dia bisa melukai perasaan orang lain, itu begitu banyak pertanyaan dan pertanyaan mengapa manusia itu harus tercipta sedemikian, dan mereka tidak bisa memilih latar belakang dan mereka tidak bisa memilih dimana dia dilahirkan. Itu pertanyaan yang tidak bisa terjawab bagi saya.
Film adalah cara untuk saya bisa memahami hal itu. Dengan saya membuat film perlahan saya bisa memahami alasan-alasan itu. Meskipun itu tidak akan terjawab 100% sih, mungkin saya merasa sampai saya meninggal pun nanti semua misteri pertanyaan tentang hidup itu tidak akan terjawab. Tapi paling enggak ini bisa meredakan sedikit lah dari apa yang saya membuat saya gelisah selama ini gitu, dari film. Lebih kepada membuat diri saya menjadi lega dan membuat saya paham apa maksud semua ini."
Ada stereotipe millenials di luar sana kalau millenials itu banyak menghabiskan waktunya dengan gadget jadi tebuai dengan dunia luar, sehingga terkesan malas karena sudah dimanjakan teknologi. Bagaimana tanggapan Mas Wregas mengenai hal ini?
Spoiler for 9:
"Pendapat saya jangan dibuat kita jadi terbuai ya maksudnya orang-orang yang dibalik pembuat gadget dan beragam social media maupun internet ini memiliki sebuah strategi yaitu tentunya pasar dan ekonomi. Semakin banyak yang melihat, semakin banyak yang me-review, pasti mereka akan menjadi banyak pemasukan, tapi bagaimana caranya supaya kita sebagai konsumen ini juga tidak selalu terbuai oleh segala kenikmatan atau pleasure. Tapi bagaimana ini bisa menjadi modal kita, menjadi pembelajaran untuk kita bikin karya juga, melakukan inovasi, melakukan temuan-temuan baru, misalnya kalau saya dari film dengan beragam social media atau informasi yang masuk dari internet ini bukannya berarti saya hanya baca dan kemudian merasakan kenikmatan dari itu ya, tapi kemudian diendapkan didalami, terus kemudian muncullah karya berikutnya. Seharusnya anak muda bisa seperti itu."
Film-film Mas Wregas ini kan mengangkat potret kehidupan orang asli Jawa, apakah ini memang menjadi ciri khas Mas Wregas atau ada alasan lain?
Spoiler for 10:
"Pertama yang saya merasakan adalah saya ingin memulai segala sesuatu dari yang benar-benar saya paham seperti yang saya bilang tadi. Sejauh ini yang saya paling pahami adalah masyrakat yang paling dekat dengan saya dimana saya tumbuh besar, yakni di Jogja atau di Jawa. Maka saya mengangkat hal-hal tersebut, tetapi tidak menutup kemungkinan seiring saya tumbuh besar, seiring usia saya bertambah, saya semakin belajar misalnya tentang bagaimana dinamika di Jakarta, atau bagaimana di Sumatera, maupun di Kalimantan, tidak menutup kemungkinan saya akan mengangkat tentang mereka. Tapi saya harus memegang satu prinsip dulu yaitu saya harus paham.
Jangan jadi hanya gara-gara saya suka dengan pemandangan alam ataupun kekayaan wisata dari suatu daerah, lalu saya hanya mengambilnya sebagai sebuah setting itu akan menjadi sayang. Tapi bagaimana saya harus memahami budaya maupun dinamika masyarakat dan bagaimana sejarah mereka terbentuk, itu menjadi penting. Karena ketika saya tidak paham dan hanya mengambil iutu sebagai sebuah latar itu akan menjadi sangat sayang dan film ini hanya akan menjadi sebatas permukaan saja."
Bisa diceritakan produksi film apa yang paling rumit yang pernah Mas Wregas alami?
Spoiler for 11:
"Pertama, adalah film praktika terpadu saya di semester 4. Ketika saya harus membuat film dengan celluloid 16 mm. Semuanya serba ribet, ini mengganti celluloidnya harus di dalam sebuah changing bag kita gak bisa melihat, hanya diraba saja, karena kalau kena cahaya akan terbakar. Kita punya batasan 1 kaleng itu hanya merekam 10 menit, dan harganya mahal, jadi kita hanya mendapat dua kaleng, yang masing-masing 10 menit jadi 20 menit. Jadi pemotongan shot harus sangat hati-hati, kita harus latihan berkali-kali sebelum shooting, dan kita tidak bisa memprediksi karena kita juga masih belajar, kita tidak memprediksi hasilnya ini, gambarnya ini akan over, atau under, meskipun bisa diukur dengan sebuah alat yang disebut light meter tapi ada kesalahan sedikit saja bisa barangkali gambar kita jadi gelap atau menjadi over exposure dan itu kita menjalani proses yang sangat panjang, sangat stres, sangat banyak tekanan, apalagi kalau celluloid kita di tengah-tengah pernah rusak dan kita khawatir sekali ini kalau gagal kita harus mengulang shooting dari awal yang biayanya sangat besar.
Saya menjadi angkatan bisa dibilang dua tahun terakhir yang memakai celluloid, setelah itu di kampus saya ini semuanya memakai digital dan tidak ada lagi yang memakai celluloid ini, karena produksi di Indonesia sudah terbatas, laboratorium pencucian juga sudah mulai pada tutup. Jadi saya ada rasa syukur ketika saya berkesempatan untuk produksi dengan celluloid. Saya belajar semua teknis dasar film, saya belajar semua prosedur, saya belajar semua attitude, cara kerja dari paling awal, sehingga ketika saya menerapkan di digital, saya bisa lebih dewasa dan lebih efisien dalam menyikapinya."
Menurut Mas Wregas, apa sih hambatan di jaman sekarang bagi anak muda untuk berkarya?
Spoiler for 12:
"Ada beberapa faktor, internal dan eksternal. Kalo internal tentu saja itu hambatan yang harus kita selesaikan sendiri. Hambatan internal ini lebih kepada perasaan-perasaan yang bersifat overthinking. Saya merasa, saya dan teman-teman saya itu sedang merasakan hal seperti itu. Overthinking ini dalam artian begini, saya misalnya membuat sebuah film pendek tapi karena terlalu berpikir yang sebenarnya tidak perlu, misalnya berpikir nanti akan dikritik, oh nanti tidak akan ada penontonnnya, nanti syutingnya akan ribet, nah kegelisahan overthinking yang banyak ini justru akan menghambat kita, kita sudah takut duluan, kita sudah memberikan banyak barrier dalam berkarya. Padahal mustinya itu jangan-jangan adalah sesuatu yang enggak perlu buat dipikirkan gitu kan.
Overthinking dan juga tentu saja ada problem lain selain overthinking yang itu kita juga banyak insecure. Anak muda sekarang itu saya merasakan ada rasanya insecure dan kegelisahan karena kita terlalu banyak melihat media sosial maupun internet. Informasi-informasi yang masuk dari teman-teman misalnya, teman-teman di Instagram update "oh saya sedang traveling kesini, oh saya sedang ada achievement ini, oh saya ada pencapaian di sini," hal-hal ini, membuat rasa insecure bagi orang yang belum mendapatkan pencapaian misalnya. Dia merasa bahwa "oh kok teman saya sudah traveling kesana ya saya belum, oh kok teman saya mendapatkan prestasi ini ya saya belum," lalu lama-lama dia menjadi kecil hati, padahal kan ini sesuatu yang tidak perlu.
Barangkali juga orang yang sedang melakukan di Instagram itu adalah sebuah pencitraan. Maksudnya timeline yang dia posting itu adalah sebuah yang dia rancang untuk bagaimana Ia mencitrakan dirinya. Kita tidak tahu ada kegelisahan apa, atau masalah hidup apa di balik orang itu. Nah saya rasa, memang social media ini mempermudah kita untuk berinteraksi, tapi kita harus hati-hati untuk kita tidak menjadi insecure gitu, tidak menjadi kecil hati, atau kalah ketika ada ibaratnya seperti cemburu terhadap apa yang udah orang lain capai. Nah itu akan menghambat kita berkarya. Kita malah akan depresi sendiri, kita menjadi susah untuk cuek. Itu yang faktor internal. Faktor eksternal tentu saja ada banyak sekali, kesibukan sekolah, kesibukan kuliah, mungkin biaya produksi, atau perizinan atau tentang sensitivitas isu yang disampaikan di Indonesia tentu saja itu akan menjadi sebuah faktor, tapi saya rasa yang perlu untuk diperbaiki dulu adalah faktor internal dulu dari diri kita."
Apa saja sih enaknya jadi anak muda jaman sekarang untuk berkarya dibanding anak generasi sebelumnya?
Spoiler for 13:
"Tentu yang pertama tekonologi gitu ya, alat gitu, kamera semakin murah semakin kecil, dan juga semakin efisien diangkat, kita syuting sendiri pun udah bisa. Juga yang kedua, ruang putar semakin banyak. Untuk film ruang putarnya tidak hanya di bioskop tapi juga ada di ruang pemutaran kecil sebagai contoh ada Kineforum, Kinosaurus, ada Cine Space, ruang-ruang putar alternatif ini memberikan ruang untuk memutar film pendek dan juga mempertemukan penonton. Jadi komunitas-komunitas film di Indonesia semakin banyak. Kita tidak harus bahwa, kalo film pendek kita tidak diputar di bioskop utama misalnya, ada layar-layar lain yang bisa digunakan untuk kita memutar. Jadi, itu sebuah keuntungan yang besar di era ini.
Yang ketiga adalah tentu saja internet dan social media dimana kalo kita mau mengirim film ke festival film misalnya, ada semacam submission online yang bisa dilakukan. Kalo jaman dulu hanya bisa dikirim lewat pos, yang harganya mahal keluar negeri dengan barang yang cukup besar, dengan kaset atau apa, tapi sekarang udah bisa online. Itu sebenarnya akses yang harus dimanfaatkan sekali."
Lihat wawancaranya lebih lengkap di video ini, GanSist:
Nah GanSist! Gimana, makin kagum ya sama sutradara muda ini lewat pemikiran-pemikirannya.
Bulan Maret ini, Wregas merilis film pendek terbarunya berjudul "Waung" yang ditampilkan di acara Film Musik Makan di Goethe Haus, hari Sabtu lalu. Nantikan ya filmnya di acara atau festival film Indonesia lainnya.
Selain itu, Wregas saat ini sedang menggarap skenario untuk film panjang pertamanya lho! Wregas yang menulis sendiri dan dia yang akan menyutradarai film tersebut. Tapi masih rahasia nih tayangnya kapan. Nantikan aja ya!
Yuk jadi anak muda yang semangat membuat karya dan menjadi Generasi Inpsirasi!
:tepuktangan:tepuktangan
Diubah oleh indahaira 16-03-2018 05:29
0
6.2K
Kutip
42
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.1KThread•83.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru