Jakarta - Utang pemerintah sepanjang 2017 nyaris Rp 4.000 triliun, tepatnya Rp 3.938,7 triliun atau 29,2% terhadap produk domestik bruto (PDB). Masih aman nggak sih?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengukur seberapa aman posisi utang pemerintah.
Pertama, adalah perbandingan antara penerimaan negara dari sektor pajak terhadap besaran utang yang saat ini tercatat.
"Sekarang gini, utang itu kan dibayar dari pendapatan. Dalam konteks negara itu pendapatan itu dari sektor pajak," kata dia saat dihubungi detikFinance, Rabu (14/3/2018).
Menurut data yang dimilikinya, di tahun tahun 2012, rasio pembayaran bunga dan cicilan pokok utang terhadap penerimaan pajak adalah sebesar 26%. Sementara di tahun 2016 adalah 32%.
"Artinya 32% dari penerimaan pajak RI sudah habis untuk bayar cicilan bunga dan pokok utang," sambung dia.
Posisi tersebut bisa dibilang mengkhawatirkan mengingat pemerintah ada komponen belanja negara lainnya yang harus dibayar dari penerimaan pajak tersebut seperti belanja pegawai negeri sipil (PNS), biaya pembangunan infrastruktur hingga subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat.
Selain rasio pembayaran cicilan bungan dan pokok pinjaman terhadap pajak, Bhima juga menyoroti masalah pertumbuhan utang dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi RI.
"Pertumbuhan penerimaan pajak hanya 4% per tahun. Sementara utangnya pertumbuhannya 14%. Itu kan nggak sebanding. Harusnya pertumbuhan utang itu berbanding lurus dengan pertumbuhan penerimaannya. Karena itu yang akan digunakan untuk bayar utang," jelas dia.
Indikator lain yang juga bisa dijadikan tolak ukur aman tidaknya utang pemerintah saat ini adalah tingkat pertumbuhan ekonomi. Bila dibandingkan dengan pertumbuhan utang baru yang mencapai 14%, pertumbuhan ekonomi RI hanya berada di kisaran 5%.
"Artinya ada yang tidak beres dengan pengelolaan kita. Karena, utang yang ditarik ternyata tak bisa mendongkrak produktivitas yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi," tandasnya.
https://finance.detik.com/berita-eko...aman-nggak-sih