- Beranda
- Stories from the Heart
SFTHChallange "Lelakiku antara Hujan dan Kenangan"
...
TS
annirobiah
SFTHChallange "Lelakiku antara Hujan dan Kenangan"
Hujan, aku membencinya sebelum kauajarkan arti mencintai.
Quote:
Desember memulai cerita. Hujan menyapa, menyingkap tabir yang pernah kucipta. Menggores hati, memunculkan lagi luka lama, menjatuhkan air mata di pelupuk pipi.
Lelakiku, barangkali kaumasih ingat bagaimana hujan di Desember tiga tahun lalu membuat kita berbicara. Saat itu, kautawarkan jaket kulit milikmu ketika suara gemeletuk gigiku mengusik. Gubuk reot di tepi sawah menjadi saksi bisu kausampirkan jaket itu ke pundak, saat aku menggeleng, menolak tawaranmu.
Hari itu, malam hampir menghampiri kita. Burung-burung tak tampak, entah sudah pulang atau seperti kita; terjebak hujan. Kita terjebak berdua, berlawan jenis di sebuah gubuk yang sama. Tak ada siapapun di sekitarku, selain padi yang mulai menguning, katak yang berdendang ria, dan kamu; yang tiba-tiba menghentikan perjalanan. Entah apa yang membuatmu menepi. Barangkali iba melihatku terjebak hujan dan menggigil seorang diri. Hujan bukan alasan yang tepat, tampak dari senyum yang semakin mengembang lebar saat kautadahkan tetes-tetes hujan ke tanganmu.
"Hujan menemukanku pada apa yang harus diperjuangkan dalam hidup", katamu saat aku mengernyit.
"Ha?"
"Iya, menemukan kamu, misalnya". Aku terpaku. Kautahu, kata-kata itu mendesirkan darahku, membawa rasa hangat terlebih setelahnya kautersenyum mesra.
Hujan itu, karenanya kita berbicara. Hari-hari berikutnya kita mulai saling melempar senyum, bercanda, dan berpergian bersama, berdua kita lalui hari, ciptakan cerita di lembar kehidupan yang baru dalam sebuah ikatan yang kunamai kekasih. Oh iya, tentang hujan. Katamu, kauselalu merindukannya. Tak ada yang perlu dibenci, kauingat? Hujan membawa kehidupan. Kaubahkan pernah mengajari cara menikmati aroma yang dibawanya, yang mereka namai sebagai petrichor. Kita pernah berdansa bersama, ingatkah? Langkahmu bergerak ke sana ke mari mengikuti irama hujan dan aku mengikutimu. Aku rindu hal semacam itu, sesuatu yang kudapat hanya darimu.
Masihkah ingat, suatu sore kautiba-tiba datang menemui lantas membawaku pergi ke taman kota yang indah. Kita berjalan-jalan mengelilingi taman, berdua bergenggaman tangan bak kekasih yamg dilanda asmara, padahal sejatinya adalah berpura-pura, menghindari tertawaan dari pasangan-pasangan lainnya. Aku juga ingat tawamu yang tercipta setelahnya.
Berhari kemudian kita kembali lagi ke taman, melakukan hal serupa lalu tertawa terpingkal-pingkal. Tapi kali itu, tawa bukanlah akhir. Kaupanggil penjual es krim, membeli kemudian menyerahkannya padaku sambil berlutut.
Lelakiku, apa ingatanmu masih menyimpan kenangan tentang kita di pantai bernama Kenangan? Aku rindu merahnya senja. Kita pernah menunggu di bawah bakau, kaulupa? Tanganmu nakal saat itu dengan melingkarkannya ke pinggangku dan aku merebahkan kepala ke pundak kurusmu. Kita nikmati senja bersama dengan cerita-ceritamu tentang masa depan.
Sebenarnya, sebelum hujan yang membuat kita berbicara itu, kita bukanlah dua insan yang tak saling mengenal. Setiap Sabtu sore, persimpangan jalan selalu mempertemukan kita. Sesekali mata kita tertaut lalu seketika memalingkan wajah ke arah lain. Tidak tegur sapa, tersenyum atau apapun yang bisa membuat kita memulai bicara. Tapi kauharus tahu tentang ini; aku selalu tersenyum setelah memalingkan wajah atau ketika kaumulai menjauh. Aku senyum pada punggungmu, pada hati yang kaubawa sejak kita pertama bertemu.
Tapi itu dulu, saat tanah bernapaskan Melayu Deli masih memesona dan hujan di kota ini masih membuatmu tersenyum. Sebelum akhirnya, sebuah kota datang merayu dan memaksamu terbang meninggalkan aku dan kota ini.
Aku tak pernah habis pikir bagaimana bisa seorang lelaki sepertimu lebih memilih kota itu daripada kota yang membesarkanmu, kota yang mempertemukan kita, dan kota yang hujannya membuat kita berbicara. Aku bahkan sempat berpikir kaumembenci kota-kota lain ketika pernah meneriakkan, "ini kotaku, kota yang mempertemukanku pada cinta yang sebenar-benarnya cinta", di salah satu video pribadimu di sebuah pantai yang kauberhujan dengannya.
Hari ini, Desember kembali bersama hujan. Aku masih di sini, mengetuk-ngetuk masa lalu, mengenang tentang kita. Aku tahu, setahun telah berlalu dan itu bukan waktu yang singkat. Aku harus melaluinya tanpamu, melalui seluruh hujan sendirian dengan mengunjungi tempat-tempat yang pernah tertulis kisah kita, mulai dari gubuk reot; tempat memulai bicara, taman kota; saksi kita mengikat janji, hingga menyisir pantai yang kita pernah bercumbu mesra di bawah merahnya cahaya senja. Lelakiku, aku masih mengingatnya, bagaimana denganmu?
Lelakiku, barangkali kaumasih ingat bagaimana hujan di Desember tiga tahun lalu membuat kita berbicara. Saat itu, kautawarkan jaket kulit milikmu ketika suara gemeletuk gigiku mengusik. Gubuk reot di tepi sawah menjadi saksi bisu kausampirkan jaket itu ke pundak, saat aku menggeleng, menolak tawaranmu.
Hari itu, malam hampir menghampiri kita. Burung-burung tak tampak, entah sudah pulang atau seperti kita; terjebak hujan. Kita terjebak berdua, berlawan jenis di sebuah gubuk yang sama. Tak ada siapapun di sekitarku, selain padi yang mulai menguning, katak yang berdendang ria, dan kamu; yang tiba-tiba menghentikan perjalanan. Entah apa yang membuatmu menepi. Barangkali iba melihatku terjebak hujan dan menggigil seorang diri. Hujan bukan alasan yang tepat, tampak dari senyum yang semakin mengembang lebar saat kautadahkan tetes-tetes hujan ke tanganmu.
"Hujan menemukanku pada apa yang harus diperjuangkan dalam hidup", katamu saat aku mengernyit.
"Ha?"
"Iya, menemukan kamu, misalnya". Aku terpaku. Kautahu, kata-kata itu mendesirkan darahku, membawa rasa hangat terlebih setelahnya kautersenyum mesra.
Hujan itu, karenanya kita berbicara. Hari-hari berikutnya kita mulai saling melempar senyum, bercanda, dan berpergian bersama, berdua kita lalui hari, ciptakan cerita di lembar kehidupan yang baru dalam sebuah ikatan yang kunamai kekasih. Oh iya, tentang hujan. Katamu, kauselalu merindukannya. Tak ada yang perlu dibenci, kauingat? Hujan membawa kehidupan. Kaubahkan pernah mengajari cara menikmati aroma yang dibawanya, yang mereka namai sebagai petrichor. Kita pernah berdansa bersama, ingatkah? Langkahmu bergerak ke sana ke mari mengikuti irama hujan dan aku mengikutimu. Aku rindu hal semacam itu, sesuatu yang kudapat hanya darimu.
Masihkah ingat, suatu sore kautiba-tiba datang menemui lantas membawaku pergi ke taman kota yang indah. Kita berjalan-jalan mengelilingi taman, berdua bergenggaman tangan bak kekasih yamg dilanda asmara, padahal sejatinya adalah berpura-pura, menghindari tertawaan dari pasangan-pasangan lainnya. Aku juga ingat tawamu yang tercipta setelahnya.
Berhari kemudian kita kembali lagi ke taman, melakukan hal serupa lalu tertawa terpingkal-pingkal. Tapi kali itu, tawa bukanlah akhir. Kaupanggil penjual es krim, membeli kemudian menyerahkannya padaku sambil berlutut.
Lelakiku, apa ingatanmu masih menyimpan kenangan tentang kita di pantai bernama Kenangan? Aku rindu merahnya senja. Kita pernah menunggu di bawah bakau, kaulupa? Tanganmu nakal saat itu dengan melingkarkannya ke pinggangku dan aku merebahkan kepala ke pundak kurusmu. Kita nikmati senja bersama dengan cerita-ceritamu tentang masa depan.
Sebenarnya, sebelum hujan yang membuat kita berbicara itu, kita bukanlah dua insan yang tak saling mengenal. Setiap Sabtu sore, persimpangan jalan selalu mempertemukan kita. Sesekali mata kita tertaut lalu seketika memalingkan wajah ke arah lain. Tidak tegur sapa, tersenyum atau apapun yang bisa membuat kita memulai bicara. Tapi kauharus tahu tentang ini; aku selalu tersenyum setelah memalingkan wajah atau ketika kaumulai menjauh. Aku senyum pada punggungmu, pada hati yang kaubawa sejak kita pertama bertemu.
Tapi itu dulu, saat tanah bernapaskan Melayu Deli masih memesona dan hujan di kota ini masih membuatmu tersenyum. Sebelum akhirnya, sebuah kota datang merayu dan memaksamu terbang meninggalkan aku dan kota ini.
Aku tak pernah habis pikir bagaimana bisa seorang lelaki sepertimu lebih memilih kota itu daripada kota yang membesarkanmu, kota yang mempertemukan kita, dan kota yang hujannya membuat kita berbicara. Aku bahkan sempat berpikir kaumembenci kota-kota lain ketika pernah meneriakkan, "ini kotaku, kota yang mempertemukanku pada cinta yang sebenar-benarnya cinta", di salah satu video pribadimu di sebuah pantai yang kauberhujan dengannya.
Hari ini, Desember kembali bersama hujan. Aku masih di sini, mengetuk-ngetuk masa lalu, mengenang tentang kita. Aku tahu, setahun telah berlalu dan itu bukan waktu yang singkat. Aku harus melaluinya tanpamu, melalui seluruh hujan sendirian dengan mengunjungi tempat-tempat yang pernah tertulis kisah kita, mulai dari gubuk reot; tempat memulai bicara, taman kota; saksi kita mengikat janji, hingga menyisir pantai yang kita pernah bercumbu mesra di bawah merahnya cahaya senja. Lelakiku, aku masih mengingatnya, bagaimana denganmu?
Diubah oleh annirobiah 02-02-2018 16:27
anasabila memberi reputasi
1
1.8K
Kutip
10
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Terlama
Thread Digembok