indraprasta89Avatar border
TS
indraprasta89
[#SFTHChallange] CINTA dan KETULUSAN


CINTA dan KETULUSAN




Seandainya waktu dapat terulang, aku akan mengabaikan segalanya. Amarah, sakit hati, dendam, semua itu sudah menghancurkanku, juga dia. Seandainya cinta dan ketulusan bisa meyakinkanku. Sekarang semua hanya debu, hilang tak berbekas seiring tiupan angin. Dukaku sudah menjadi dukamu, tapi dukamu tak akan pernah jadi dukaku, maaf!


***


Aku punya segalanya, wajah cantik, ketenaran, harta. Hari-hariku tak pernah lepas dari pujian orang, walau kadang dicemooh. Dunia ini memang panggung sandiwara. Banyak yang tampaknya baik, tapi punya niat buruk dihatinya. Sepertinya aku belum pernah bertemu dengan orang yang betul-betul tulus, tulus menyayangi, tulus mencintai. Teman-temanku, mereka hanya menjadikanku alat agar mereka bisa dikenal, sedang pacarku, hanya menjadikanku lakon utama dalam panggung sandiwaranya. Menyedihkan!

“Linda, sudah siap?” suara itu, Tristan. Laki-laki yang mengaku pacarku. Perhatiannya itu hanya ilusi, tak pernah ada cinta dan sayang. Hanya ada perintah otoriter, dalihnya untuk ketenaran bersama, cuih!

“Aku perhatikan daritadi kamu ngelamun. Sudah setengah jam lebih kamu didepan kaca nggak selesai-selesai. Kita mau ada konferensi pers, Lin!” ujarnya lagi.

“Aku tahu, Tan!” Balasku singkat.

“Lima menit, kamu harus sudah siap. Kita nggak bisa terlihat buruk dihadapan paparazi, pasang senyum yang paling manis!” katanya lagi sambil berlalu.
Aku tidak mengerti kenapa banyak wanita yang tergila-gila dengan Tristan, seandainya mereka tahu bagaimana sifat aslinya, tak ada yang bisa dibanggakan.

***


“Linda, bagaimana rasanya berperan dengan pacar sendiri di film ini?” tanya seorang wartawan berbaju biru dihadapanku.

“Luar biasa, tidak ada hari yang membosankan selama syuting. Tristan selalu berhasil menghibur kalau mood ku mulai jelek. Untungnya hubungan kami juga tidak mengganggu proses syuting.” jelasku berbohong.

“Linda sungguh profesional, dia bisa menjadi tokoh antagonis yang kasar padaku saat syuting, tapi sangat manja di belakang kamera, iya kan sayang?” sambung Tristan dengan secuil senyum palsu dibibirnya.

“Tentu saja!” Balasku.

“Kalian sungguh serasi, kapan rencana untuk melaju ke jenjang selanjutnya?” tanya seorang wartawan yang lain.

“Rencana itu ada, tapi nggak dalam waktu dekat. Pekerjaan kita masih banyak. Linda masih membintangi banyak film dan sinetron, aku pun demikian,” jelas Tristan pada wartawan berbadan tambun itu.

Konferensi pers menjadi panggung sandiwara yang paling nyata untuk aku, juga Tristan. Kami harus terlihat romantis dan baik-baik saja. Kenyataannya hanya ada perselisihan. Aku dan Tristan sudah tiga tahun berpacaran, awalnya aku menganggap Tristan sungguh-sungguh mencintaiku. Awalnya dia penuh perhatian, tak pernah lupa mengirim pesan singkat sekedar mengingatkan makan. Seiring waktu, kedoknya terbongkar. Dia hanya menjadikanku alat untuk ketenarannya. Berkali-kali aku mencoba mengakhiri semuanya, tapi dia menolak. Alasannya tidak lain tidak bukan, untuk kepentingan pekerjaan. Lalu kenapa aku mau? Aku juga tidak munafik, aku masih butuh Tristan untuk kepentinganku di panggung sandiwara ini.

Konferensi pers berjalan lancar, semuanya masih baik-baik saja, tidak ada yang mencium busuknya hubungan kami berdua. Mereka semua menganggap kami ini adalah pasangan muda yang berbakat, profesional, dan romantis. Banyak anak muda lain menjadikan kami goals dalam hubungan mereka. Seandainya mereka tahu yang sebenarnya.

***


Akhir pekan ini akan menjadi akhir pekan yang melelahkan. Jadwal syuting untuk film horor garapan sutradara ternama di negeri ini, mengharuskan aku menetap selama beberapa minggu di Yogyakarta, kota yang katanya romantis itu. Kenapa romantis? Entahlah, banyak yang bilang begitu, tapi tiap kesana aku tidak pernah merasakan apa-apa selain kebencian.

“Lin, yakin lo bawa barang segini doang buat tinggal di Jogja tiga minggu?” tanya Friska, asisten sekaligus managerku. Dia memperhatikan koper 20 inch yang sudah kupenuhi dengan beberapa pakaian dan make up. Dimasukannya lagi beberapa pakaian yang dianggapnya perlu.

“Yaelah Fris, di sana kan ada laundry. Lagian gue juga bakal sesekali pulang ke Jakarta. Lo aja lebay sampai bawa sekoper besar,” balasku sambil memilih-milih baju di lemari yang berantakan, tak ada waktu untuk merapikannya.

“Gue takut nggak sempet nyuci dan lain sebagainya. Lo tau kan, ngurusin Marlinda, artis papan atas Indonesia itu nggak gampang, rempong cyinnn! Panggilan talkshow dari mana-mana, belum syuting iklan.” Keluhnya sambil menutup koper hijau mudaku yang penuh stiker.

“Lo yang Cuma ngurusin aja rempong, apalagi gue yang jalanin semuanya. Udah muak gue Fris!” ujarku sambil membanting pintu lemari bajuku.

“Sabar, jangan marah-marah terus. Gue tau rasanya jadi lo. Makannya gue setia jadi asisten lo, Lin! Lo juga membohongi diri sendiri terus, udah gue bilang, tinggalin Tristan, cari kebahagiaan lo sendiri.”

“Kebahagiaan gue udah ilang dibawa bokap gue pergi, Fris!” balasku singkat. Kenangan itu datang lagi. Hari dimana semuanya menjadi kesedihan.

“Ssst.. bokap lo udah tenang Lin, jangan lo ungkit lagi masa lalu. Semuanya itu udah takdir dari Tuhan. Gue juga tahu rasanya kehilangan bokap itu nggak gampang. Tapi kita harus move on!” Friska mencoba menenangkanku, tapi bayangan papa justru semakin jelas. Disaat-saat seperti ini, bayangan papa selalu datang.

“Setidaknya nyokap lo masih ngurusin lo. Nyokap gue? Malah kimpoi lagi dan senang-senang sama bule Amerika itu. Dibawa pula nyokap gue pergi ke negaranya Bush itu. Sedangkan gue? Cuma dititipin sama tante Lita. Sampai tahun lalu tante Lita meninggal, nyokap gue nggak mau pulang ke Indonesia. Udah keblinger nyokap gua, adiknya sendiri meninggal dia cuek aja! Gue rasa kalau gue mati pun, nyokap gue nggak akan ambil pusing. Dia udah punya tiga anak dari bule Amerika itu!” Aku menggerutu sejadi-jadinya. Friska terlihat kebingungan, mencari kata-kata untuk menenangkanku.

“Udah, nggak usah bingung, cukup bikinin gue kopi pahit, nanti gue tenang sendiri,” ujarku lagi. Dia segera beranjak dari duduknya, beralih ke dapur, mengambil segelas cangkir merah muda untuk membuatkan kopi pahit untukku. Amarah ini, dendam ini, sungguh menyiksa!

***


Bandara, tempat yang paling aku benci. Apalagi pesawat, juga pilot. Pesawat itu sudah membawa pergi papaku, papa yang selama ini mengurusku seorang diri, nggak ada mama, mama pergi dengan laki-laki bule sejak umurku 5 tahun. Sungguh aneh, benci pada bandara, pesawat, bahkan pilot, tapi aku menganggap itu semua penyebab kematian papaku, yang membuatku jadi sebatang kara di umur 9 tahun. Padahal, papaku sendiri seorang pilot. Tapi pada saat itu, papa sedang tidak bertugas, aku dan papa sedang dalam perjalanan menggunakan pesawat ke Yogyakarta, sampai semua kejadian itu terjadi.

“Lin, udah siap? Kita harus naik pesawat sekarang!” Friska memecah lamunanku. Aku beranjak dari kursiku, memandangi pesawat berwarna biru tua dan putih dihadapanku. Beberapa saat lagi, aku harus merasakan lagi semuanya, merasakan kepedihan yang sama seperti beberapa tahun lalu.

“Maaf Lin, tapi kita udah diburu waktu, nggak bisa naik kereta api.” Jelas Friska sambil menggandeng tanganku yang mulai dingin.

“Iya Fris, bukan salah lo!” aku berusaha menenangkan diri. Perjalanan dengan pesawat tidak pernah menyenangkan untukku, meskipun cuma satu jam.

Aku melangkah masuk ke dalam pesawat, suara bising jet pesawat, bau kabin pesawat adalah hal yang mencabik-cabik hati, membuat air mata mulai menggenang di mataku.

“Tenang Lin, itu kursi kita.” Friska tetap menggandengku, menuntunku duduk di kursi. Aku memilih tempat duduk dekat jendela, agar orang lain tidak bisa melihat jelas gelagatku selama di pesawat.

“Fris, gue benci ini!” ucapku marah.

“Maaf Lin!” balasnya singkat. Dia paham betul, tidak ada yang bisa menenangkanku selama penerbangan. Dia hanya bisa diam.

Aku harus merasakannya lagi, penerbangan Jakarta-Yogyakarta. Biasanya Friska selalu mencari alternatif menggunakan kereta api apabila mungkin, tapi jadwal dadakan ini membuat kami harus naik pesawat ke Jogja. Getaran pesawat mulai meluruhkan ketegaran yang kubangun sedari tadi. Bayangan papa semakin jelas. Tatapan matanya, kata-katanya, semua itu kembali datang.

‘Pa, di Jogja ada apa?’ tanya Linda kecil.

‘Ada banyak, nanti Linda bisa lihat candi Prambanan, Candi Borobudur, jalan-jalan ke pantai, ke pemandian Taman Sari. Nanti Linda papa ajak ke rumah teman papa di sana, anaknya seumuran sama Linda, Linda bisa main-main sama dia. Kata teman papa, anaknya jago menggambar. Linda kan suka menggambar, nanti Linda bisa belajar sama dia.’ Jelas papa waktu itu.

Papa membelai kepalaku, belaian papa selalu membuatku mengantuk. Aku tertidur sampai semua hal buruk dimulai.

‘Sayang, sebentar lagi kita mendarat, pasang sabuk pengamannya, ya! Landasan yang agak pendek, membuat pesawat ini akan mengerem sedikit kuat nanti. Linda jangan takut, ya?’ papa berusaha menjelaskan semuanya, agar aku tidak takut.

‘Linda nggak pernah takut, asal ada papa.” balasku. Papa menggenggam kuat tanganku, masih bisa kurasakan hangatnya genggaman papa, genggaman terakhir papa.

Ban pesawat itu menyentuh landasan pacu, membuat getaran di seluruh kabin. Aku menunggu pesawat ini mengerem agak kuat seperti kata papa, penantian yang tidak pernah terjadi. Pesawat itu terus meluncur, sampai kudengar suara dentuman yang sangat hebat, api menjalar dari bagian depan pesawat, semuanya berlangsung sangat cepat, sepersekian detik, dan aku kehilangan semuanya. Papaku, kebahagiaanku.

“Lin, bentar lagi mendarat.” Friska memecah lamunanku. Dia memberikanku selembar tisu untukku.

“Aduh maaf Fris, gue nggak kuat banget. Gue harus ngulangin lagi perjalanan ini setelah bertahun-tahun.” Jelasku sambil menyeka air mata di wajahku.

“Gue paham perasaan lo Lin, be strong, ya! Sebentar lagi mendarat. Abis ini gue bakal cari tiket kereta kalau lo mau sekali waktu balik Jakarta.” Ujarnya sambil memasang sabuk pengaman.

“Makasi, Fris.” Friska tak hanya seorang asisten untukku, dia kakak sekaligus sahabat. Aku rasa hanya dia orang yang tulus menemaniku, tidak seperti Tristan, atau temanku yang lain.

Kali ini pesawat betul-betul mendarat, pesawat mengerem agak kuat agar pesawat berhenti sempurna di landasan ini. Akhirnya aku merasakan apa yang papa jelaskan bertahun-tahun yang lalu.

‘Linda merasakannya pa, sayangnya kali ini Linda takut, takut sekali.’ Ujarku dalam hati.

***


Aroma dupa tercium di hidungku saat memasuki homestay ini. Rumah yang selama beberapa minggu ke depan kami tinggali selama di Jogja. Sebuah rumah dengan nuansa jawa yang begitu kuat. Di bagian belakang rumah ada kolam renang yang tak begitu besar. Di sekelilingnya ditanami tanaman-tanaman bunga yang membuat asri.

“Linda! Akhirnya datang juga. Macet ya dari bandara tadi?” Mas Seto mengejutkanku. Dia produser yang menggarap film horor ini.

“Eh, mas! Iya, macet banget tadi. Homestay nya bagus deh, asri banget! Suka nih kayaknya!” ujarku mengaggumi tempat yang baru saja kudatangi ini.
“Iya dong, kita harus service yang terbaik buat artis terbaik Indonesia. Iya, kan?” candanya.

“Mas Seto berlebihan. Kamarku yang mana nih mas?” Mas Seto menunjuk sebuah kamar di bagian pojok kanan rumah, jendelanya persis menghadap ke kolam renang.

“Udah istirahat dulu, nanti malam kita briefing sekalian dinner, ya!” jelasnya sambil berlalu menuju teras.

“Oke mas!”

Aku memasuki kamar berukuran 4x5 meter itu, cukup besar untuk aku tempati berdua dengan Friska. Jendelanya yang mengarah ke kolam renang, membuat taman yang asri itu bisa kupandangi kapan saja.

“Gila ni homestay, agak creepy nggak sih?” Ujar Friska sambil menarik kopernya ke kamar.

“Creepy darimana? Klasik gini, keren!” aku masih memandangi taman itu. Tiba-tiba aku ingin berputar-putar kota Jogja. Mencoba menikmati kota yang katanya romantis ini.

Aku mengajak Friska pergi berkeliling Jogja, melintasi jalan Malioboro yang padat. Aku teringat tempat yang diucapkan papa sebelum kejadian naas itu, pemandian Taman Sari. Aku meminta supir mengantar kami kesana.

“Taman Sari bagus mba, ada masjid bawah tanahnya. Didekat sana juga ada ruko menjual lukisan, bagus-bagus, kemarin saya baru aja nganterin bule Australia beli lukisan di sana.” Jelas Pak Tono, supir yang mengantar kami jalan-jalan sore ini.

“Oh ya, kok bapak tahu saya suka lukisan?” tanyaku heran.

“Lho, siapa yang nggak tahu hobi dan kesukaan mba Linda, wong mba Linda itu artis terkenal, dibicarakan dimana-mana.”

“Pak Tono bisa aja! Kalo begitu kita langsung ke tempat lukisan aja pak, ke Taman Sari nya besok aja.” Pintaku. Mimik Friska langsung berubah.

“Lukisan lagi. Udah banyak tuh lukisan di rumah, belum semua ada tempatnya, numpuk aja terus.” Sindir Friska.

“Biarin lah, gue seneng, kok!” Balasku. Friska pasrah, aku tahu betul dia sedari tadi antusias ingin melihat pemandian Taman Sari yang diceritakan pak Tono.

Pak Tono menghentikan mobilnya di depan sebuah ruko kecil berisi penuh lukisan. Aku langsung melompat kegirangan turun dari mobil. Hanya lukisan yang bisa membuat aku lupa dengan semua kesedihanku. Aku memasuki ruko yang penuh sesak dengan lukisan, bau cat basah bisa tercium jelas dihidungku. Pelukisanya melukis langsung di ruko ini. Seorang pria berkulit putih mendatangiku, tinggi badannya membuat aku harus sedikit mendongak agar bisa melihat wajahnya.

“Sugeng Rawuh mbak Linda. Sungguh suatu kehormatan bisa didatangi artis papan atas.” Ujarnya seraya mendekatiku.

“Eh mas, makasih. Jangan pakai bahasa Jawa lho mas, saya nggak paham.” Jelasku.

“Nggak lah, tenang saja. Jadi, mba Linda mau cari lukisan tentang apa?” tanyanya sambil membersihkan tangannya yang penuh cat dengan lap basah.

“Saya mau mencari lukisan tentang cinta dan ketulusan mas.” Jawabku spontan.

“Lin, gue laper. Gue sama pak Tono makan bakso di warung sebelah, ya!” Friska menyela pembicaraan kami, dia dan pak Tono segera meluncur ke warung bakso persis di sebelah ruko ini.

“Belum bilang iya, udah main kabur aja tuh orang.” Gerutuku.

“Kenalkan, saya Brian.” Laki-laki itu menjulurkan tangannya yang belepotan cat.

“Marlinda, Linda.” Balasku sambil membalas juluran tangannya.

“Tanpa mba Linda beritahu, saya sudah tahu nama mba Linda.” Ujarnya sambil tertawa, gigi gingsulnya tampak sedikit menyembul dibalik senyumnya.

“Oh ya, tadi cari apa? Lukisan tentang cinta dan ketulusan?”

“Iya, mas!”

“Hmm.. sulit, ini sulit. Sepertinya saya belum punya lukisan dengan tema itu. Bagaimana kalau saya bikinkan khusus untuk mba Linda?”

“Panggil Linda saja, nggak usah pakai mba. Kayak saya lebih tua dari mas Brian saja,”

“Oke, oke, Linda. Jadi bagaimana? Mau saya bikinkan khusus?”

“Inspirasinya darimana?”

“Bisa dari mana saja, dari persahabatan, kasih sayang orang tua untuk anaknya, cinta kasih sepasang suami istri, bahkan dari alam yang dengan tulusnya memberikan miliknya untuk manusia.”

“Bagaimana kalau orang tuanya tidak peduli pada anaknya? Apa itu cinta?” balasku spontan. Ia terlihat kikuk mendengar ucapanku.

“Itu diluar rata-rata Lin. Pada dasarnya semua orang tua akan tulus mencintai anaknya, mungkin caranya saja yang berbeda?”

“Entahlah, tapi aku tidak merasakan itu, mas!”

“Maaf kalau begitu. Saya turut prihatin.” Balasnya. Apa-apaan aku ini, jadi sensitif sekali.

“Maaf mas, malah saya curhat, hahahahaha”

“Nggak apa-apa, pelukis ini sudah sering dicurhati banyak orang. Saya juga nggak tahu kenapa orang-orang itu gampang sekali meluapkan perasaannya ke saya. Tapi saya ikhlas kok mendengarkan, karna dengan mendengarkan saja, mereka sudah cukup senang. Apalagi kalau secara tidak sengaja saya bisa membantu mereka.”

“Jadi, mas Brian bisa bantu saya juga? Bisa bikinkan lukisan tentang cinta dan ketulusan itu buat saya?” tanyaku penuh harap.

“Saya usahakan Lin. Semoga cinta dan ketulusan yang saya maksud sesuai dengan yang kamu inginkan.” Jawabnya singkat.

“Lin, udah mau magrib, balik, yuk! Bentar lagi briefing. Udah dapet lukisannya?” Friska memasuki ruko kecil ini dengan bibir merah kepedasan.

“Lo makan cabe sebanyak apa sampe begitu bibirnya? Hahahaha” candaku.

“Sialan lo! Ayo balik!” ajaknya, sambil meraih tanganku.

“Mas, saya akan kembali kesini lagi, saya tunggu cinta dan ketulusan yang mas Brian maksud.” Ujarku pada laki-laki yang baru saja kukenal beberapa menit ini. Ini aneh, baru beberapa menit, tapi aku nyaman betul bicara padanya.

“Oke Linda, saya usahakan!” jawabnya singkat.

***

Kemarin sungguh melelahkan, beberapa hari syuting tengah malam membuat aku sedikit kelelahan. Untungnya hari ini adalah hari bebas. Aku mengajak Pak Tono untuk mengantarku ke ruko mas Brian. Friska agak tidak enak badan, dia memilih istirahat di homestay.

“Gimana mba Linda, ada yang bagus nggak kemarin lukisannya? Mas Brian itu banyak sekali penggemarnya. Bule dari mana-mana suka datang ke ruko nya, beli beberapa lukisan sekaligus.” Tanya pak Tono ditengah perjalanan.

“Pak Tono kenal mas Brian?” tanyaku.

“Saya sering nganter klien kesana, jadi mau nggak mau kenal juga sama mas Brian. Orangnya baik dan jujur juga sih mba, jadi orang-orang suka beli lukisan sama dia. Kebetulan juga rumah saya tidak terlalu jauh sama rumahnya, jadi kadang suka ketemu kalo pas sholat Jumat”

Mobil yang kutumpangi berhenti di ruko yang beberapa hari lalu kusambangi. Ada beberapa orang asing di dalamnya. Mas Brian terlihat sangat ramah melayani para tamunya. Aku turun dari mobil. Turut memenuhi ruko yang tidak seberapa besar itu.

“Okay, Thank You. Nice to see you!” Ujar mas Brian mengantar rombongan wanita remaja asing itu keluar ruko. Kami bertatapan sebentar. Sampai mas Brian mempersilahkan aku masuk.

“Banyak penggemar bule ya, mas?” tanyaku bercanda.

“Ah enggak, mereka kesini minta dilukiskan foto persahabatan mereka. Nggak sengaja tadi mereka lewat, kemudian tanya-tanya sebentar. Lalu mereka kasih selembar foto ini untuk dituang di atas kanvas.” Mas Brian menunjukan selembar foto tiga orang wanita remaja yang tertawa dengan bahagianya sedang bermain-main dengan seekor anjing.

“Kok ada anjingnya?” tanyaku.

“Anjing ini anjing kesayangan mereka, naasnya anjing ini mati sebelum mereka berangkat liburan ke Indonesia. Anjing ini mati tertabrak mobil karena berusaha menyelamatkan salah satu dari mereka yang hampir tertabrak mobil ugal-ugalan. Pengendaranya mabuk.” Jelasnya.

Hatiku bergetar, betapa anjing saja bisa sebegitu sayangnya pada manusia.

“Ini juga tentang cinta dan ketulusan Linda.” Aku hanya terdiam. Aku tak bisa berkata-kata.

“Apa hanya aku yang tidak bisa merasakan cinta dan ketulusan? Aku selalu merasa orang-orang disekitarku hanya membawa kepedihan. Padahal aku sudah begitu percaya pada mereka.” Curhatku.

“Bukan begitu, kamu hanya belum bisa melihat cinta dan ketulusan yang orang lain berikan. Penggemarmu, Friska, Tristan, mereka tulus menyayangi kamu, kan?”

“Apa? Tristan? Dia itu hanya pembual. Bukan, lebih tepatnya kami hanya pembual. Kita tidak sungguh-sungguh, mas.” Jelasku.

“Oh ya? Sungguh mengejutkan, kalian terlihat romantis di televisi. Linda hari ini ada acara? Mau aku ajak berkeliling Jogja?” ajaknya. Wajahnya terlihat prihatin melihatku.

“Aku free hari ini dan besok, aku sungguh senang kalau mas Brian mau ajak saya jalan-jalan di kota ini.” Jawabku.

bersambung ...
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
2.1K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.