Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dishwalaAvatar border
TS
dishwala
Kerugian Kasus Kondensat Capai Rp 35 Triliun, Terbesar untuk Penyelamatan Uang Negara
JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan korupsi penjualan kondensat oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang juga melibatkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), menjadi sorotan publik karena nilai kerugian negaranya.

Berdasarkan penghitungan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), negara dirugikan sebesar 2,716 miliar dollar AS. Jika dikonversi ke rupiah, nilainya sekitar Rp 35 triliun.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya mengatakan, nilai tersebut terbesar sepanjang sejarah penghitungan kerugian negara oleh BPK.

"Kalau berdasarkan informasi BPK, memang baru kali ini ada penyelamatan kerugian negara sebesar lebih dari Rp 32 triliun," ujar Agung Setya, Senin (8/1/2018).

Baca juga: Berkas Perkara Lengkap, Jaksa Agung Minta Polisi Upayakan Pelimpahan Buronan Kasus Kondensat

Penyidik menyita Rp 32 triliun yang diperoleh dari beberapa rekening tersangka yang diblokir. Selain itu, ada pula rekening lain yang mendapat keuntungan sekitar Rp 140 miliar.

Penyidik Bareskrim Polri juga menyita kilang minyak milik TPPI di Tuban, Jawa Timur, senilai Rp 600 miliar.

"Kerugiannya Rp 35 triliun. Itu artinya masih ada selisih yang terus harus kami kejar," kata Agung.

Agung mengakui penanganan kasus kondensat rumit. Sebab, korupsi dilakukan di area perminyakan. Umumnya, kasus yang ditangani polisi berkaitan dengan proyek dan pengadaan barang.

Pada awal penanganan perkara, kata Agung, banyak pihak yang melirik untuk menangani kasu sini.

"Ada juga yang sampai ingin menggeser pidananya menjadi perdata. Tapi kami temukan kuncinya bahwa kasus ini tidak ada kontraknya," kata dia.

Baca: Kasus Korupsi Kondensat Akan Berkembang ke Dugaan Pencucian Uang

Kejaksaan menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi kondensat ini telah lengkap dan tinggal menunggu pelimpahan dari penyidik.

Polisi memisahkan berkas perkara menjadi dua. Berkas pertama terdiri dari dua tersangka, yaitu mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono; dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono.

Sementara, berkas kedua untuk tersangka mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo Wendratmo.

Pengusutan perkara dugaan korupsi melalui penjualan kondensat sudah dilakukan Bareskrim Polri sejak 2015. Korupsi itu melibatkan SKK Migas (dulu bernama BP Migas), PT TPPI, dan Kementerian ESDM. Penyidik menemukan sejumlah dugaan tindak pidana.

Baca juga: Berkas Perkara Kasus Korupsi Kondensat TPPI Dinyatakan Lengkap

Pertama, yakni penunjukan langsung PT TPPI oleh SKK Migas untuk menjual kondensat. Kedua, PT TPPI telah melanggar kebijakan wakil presiden untuk menjual kondensat ke Pertamina. TPPI justru menjualnya ke perusahaan lain.

Penyidik juga menemukan bahwa meski kontrak kerja sama SKK Migas dengan PT TPPI ditandatangani pada Maret 2009, tetapi PT TPPI sudah menerima kondensat dari BP Migas sejak Januari 2009 untuk dijual.

Komitmen awal kontrak kerja mereka adalah memproduksi bahan bakar untuk dijual Pertamina. Namun, PT TPPI mengolahnya menjadi LPG.

Selain itu, PT TPPI juga diduga tidak menyerahkan hasil penjualan kondensat ke kas negara.

http://nasional.kompas.com/read/2018/01/08/08504831/kerugian-kasus-kondensat-capai-rp-35-triliun-terbesar-untuk-penyelamatan

Penyidik menyita Rp 32 triliun yang diperoleh dari beberapa rekening tersangka yang diblokir.>> WOW, BRARTI YG 3T LAGI YG KAGA JELAS ?! BINGUNG..

Eks Kepala BP Migas Seret Kebijakan SBY-JK di Kasus Kondensat

Jakarta, CNN Indonesia -- Polisi menahan bekas Kepala Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) Raden Priyono dan anak buahnya, bekas Deputi Finansial Djoko Harsono, usai diperiksa terkait korupsi kondensat bagian negara yang juga melibatkan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).

Ditemui pascapenahanan di Markas Besar Polri, Jakarta, salah satu pengacara Priyono mengatakan ada nama lain yang harus bertanggungjawab dalam kasus ini. "Kami, BP Migas, hanya ikut kebijakan Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) yang disampaikan oleh Wakil Presiden (Jusuf Kalla) saat itu," kata Supriyadi Adi.

Pada saat korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp35 triliun diduga terjadi, 2008-20012, pemerintahan sedang dipimpin oleh Susilo (SBY) dan Jusuf (JK).

Supriyadi menjelaskan kliennya sebagai Kepala BP Migas hanya menjalankan kebijakan pemerintah untuk menunjuk TPPI sebagai perusahaan rekan penjualan kondensat bagian negara. Kebijakan itu, kata dia, dicapai lewat rapat yang dipimpin oleh JK dan dihadiri juga oleh pihak Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral dan Kementerian Keuangan.

"Saya bingung kenapa penunjukkan TPPI ini dipermasalahkan," kata Adi. "Kalau ini masalah kebijakan, harus dilihat siapa yang buat kebijakan, dan kenakan pasal 55 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Turut Serta Melakukan Pidana)."

Dia juga mempertanyakan penilaian penyidik yang menyebut terjadi kerugian total dalam kasus ini. Jika memang seperti itu, maka "kebijakan pemerintah gagal total."

"Kalau itu diikuti terus bukan hanya Raden Priyono. Kalau itu kebijakan, siapa pembuat kebijakan."

SIBUYA CURHAT LAGI KAGA NIH
0
3.6K
27
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.