Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dishwalaAvatar border
TS
dishwala
Pasal Penghinaan Diperdebatkan
PEMERINTAH bersama DPR tengah mencari rumusan terminologi yang membedakan kritik dan penghinaan kepada presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Tujuannya agar pasal tersebut tidak multitafsir dan memicu subjektivitas penegak hukum. "Supaya jangan ada terimplikasi mengkritik sama dengan menghina. Jadi harus dibedakan mengkritik dan menghina. Kalau mengkritik itu oke," ujar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menilai, pasal penghinaan presiden itu tetap perlu ada di dalam KUHP meski sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan pasal tersebut.

"Jangan kita menjadi sangat liberal, harus tetap ada itu, tetapi akan kami soft down (pelaksanannya)," ujar Yasonna di Jakarta, Rabu (7/2/2018).

(baca: Yasonna: Pasal Penghinaan Presiden Sudah Dibahas di Pemerintahan Sebelumnya)

Kemunculan pasal penghinaan presiden di RKUHP menuai polemik lantaran sebelumnya melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.

MK menilai, Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai, bisa saja pasal penghinaaan presiden dalam RKUHP dihidupkan kembali sepanjang memiliki substansi yang berbeda dengan yang telah dibatalkan MK.

(Baca juga:Fraksi NasDem: 10 Fraksi di DPR Setuju Pasal Penghinaan Presiden)

Namun, ia mengatakan, akan percuma jika substansinya sama dengan yang telah dibatalkan MK.

Pasal penghinaan pada presiden dan wakil presiden terdapat di dua pasal RKUHP, yakni Pasal 263 dan 264. Pasal 263 ayat (1) berbunyi, 'Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun'.

Pada Pasal 264 berbunyi, 'Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman, sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun'.

Menurut Yasonna dua pasal tersebut tidak membatasi masyarakat untuk mengkritik kepala negara. Hanya saja mengatur masyarakat agar tidak menghina presiden.

"Jadi kita batasi supaya jangan sampai menghina. Kalau mengkritik pemerintah itu memang harus, tetapi menghina itu soal personal. Di dalam KUHAP pidana saja, di dalam draf yang lama dan sekarang menghina kepala negara lain dipidana, masak kepala negara kita enggak," jelasnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga meminta pasal tersebut dibuat sedemikian rupa agar tak disalahgunakan.

"Ya, dibikin jangan (pasal) karet," kata Kalla.

Kalla mengatakan presiden merupakan lambang negara yang harus dihormati. Lagi pula pimpinan negara tak masalah menerima kritik dari masyarakat, asal bukan hinaan.

Karena kritik dan hinaan merupakan dua hal yang berbeda. Kalla menyebut, kritik selalu memiliki dasar dan duduk perkara yang jelas. Kalau menghina tidak ada dasarnya.

Tidak khawatir

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai NasDem Taufiqulhadi meminta masyarakat tidak khawatir pasal ini akan mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat se-seorang.

Menurut Taufiqulhadi pada Pasal 239 ayat (2) dalam draf RKUHP ditegaskan, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

"Kalau untuk demokrasi, tidak termasuk (penghinaan). Jadi kita membuat UU harus kompatibel dengan perkembangan saat ini. Tidak usah khawatir. Saya sebagai mantan wartawan dan politikus juga awalnya khawatir kalau demokrasi tidak hidup di Indonesia. Bayangkan, jika seorang politikus dihambat sana-sini akan merusak semuanya. Tentu kita sangat berhati-hati terhadap hal tersebut," ujar Taufiq.

Taufiq juga setuju jika pasal ini masuk delik umum. Untuk meminimalisasi kesewenang-wenangan penegak hukum terhadap pasal ini, ia setuju dengan usulan dari Fraksi PPP untuk menurunkan ancaman pidananya.

"Nanti pidananya tidak 5 tahun berdasarkan metode Delphi system jatuhnya 2-2,5 tahun. Dengan demikian, setiap orang yang dituduh melakukan penghinaan tidak serta- merta ditangkap karena pidananya di bawah lima tahun. Kalau lima tahun pidananya, langsung ditahan," tandasnya.

Taufiqulhadi juga membantah apabila persetujuan Partai Nasdem terhadap pasal penghinaan tersebut hanya untuk melindungi Presiden Joko Widodo dari kritikan tajam. Bahkan, dia menegaskan persetujuan pasal tersebut tidak berkaitan dengan aktivitas politik. Apalagi, pasal tersebut baru akan efektif dua tahun setelah disahkan.

"Kan belum tentu presiden yang sekarang terpilih lagi, kalau tidak. Jadi anggapan itu tidak benar," kata Taufiqulhadi.

(Nov/P-2)

http://mediaindonesia.com/news/read/144225/pasal-penghinaan-diperdebatkan/2018-02-07

INTINYA KALO MAU MEMAKI JGN DI MUKA UMUM BRAY, MENIMBULKAN KEGADUHAN
KALO MEMAKI DI SOSMED A KENA UU ITE

ZAMAN NOW BEDA, HAPE UDAH CANGGIH MURAH SEMUA BISA MEMILIKI..
TUITER, FB, INSTA DLL GAMPANG DIAKES. JAMAN DULU HP MASIH NOKIYEM..
0
2.1K
40
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.