Belakangan, informasi yang menyebarkan pesan intoleran semakin banyak di media sosial. Kadang itu ditautkan dengan kegiatan keagamaan tertentu.



Seperti, misalnya, kabar dari Front Pembela Islam (FPI) yang hendak menyelenggarakan apel kesiapsiagaan umat Islam di Yogyakarta. Apel tersebut kemudian diikuti dengan koar-koar bahwa kota Jogja akan menjadi "Serambi Madinah".



Bagi yang tinggal di Jogja atau yang pernah merasakan suasana Jogja, tentu itu menjadi hal yang ganjil. Jogja selama ini dikenal sebagai kota yang penuh dengan keberagaman.



Selain itu, Jogja juga dikenal sebagai kota yang berbudaya. Sehingga penuh dengan keberadaban yang menghargai perbedaan. Bukan hanya milik etnis atau agama tertentu saja.



Selain itu, kita juga kenal warga Jogja sebagai masyarakat yang ramah, menjunjung tinggi toleransi dan menerapkan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.



Maka, sangat aneh rencana pengajian dan apel umat Islam untuk membuat Jogja menjadi Serambi Madinah itu digelar di bumi Mataram tersebut.



Rencana kegiatan yang diisi oleh Ketua FPI, Ahmad Sobri Lusbis tersebut bisa berpotensi merusak keharmonisan dan keselerasan orang Jogja.



Jogja pada dasarnya bukanlah kota agama. Dan sebagaimana kota lain di Indonesia, setiap identitas mayoritas tidak bisa menonjolkan dirinya dengan merendahkan kelompok identitas yang lain. Hal itu tidak sesuai dengan semangat persatuan bangsa dan negara.



Bagi kita yang masih berpikiran waras hendaknya mulai mawas diri. Kita harus jaga masyarakat Indonesia agar tidak overdosis isu SARA.



Sebenarnya dengan hidup berdampingan dan selaras satu sama lain tanpa menonjolkan identitas tertentu, kita bisa hidup penuh damai dan menguatkan satu sama lain. Itulah hidup dalam kredo Bhineka Tunggal Ika.