TS
hestiiameliaa
Universitas Hasanuddin: Kampus terakreditasi “Otoriter”
Universitas Hasanuddin: Kampus terakreditasi “Otoriter”
Jika kampus dipandang sebagai mesin pencetak demokrasi, jangan harap demokrasi itu berjalan dengan sehat selama kampus tidak mempraktikkan demokrasi secara benar!
Januari tahun lalu mengingat kenangan pahit praktik demokrasi di kampus. Staff dan pegawai kampus yang dibantu satuan pengamanan kampus menginjak-injak mahasiswa saat melakukan demonstrasi menuntut bertemu Menristekdikti di peresmian Unhas menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum PTN-BH.
Menggunakan kekerasan dengan memperalat aparat represifnya, kampus menjelma menjadi otoriter…
Baru-baru ini Unhas menskors mahasiswanya karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan jalan berpikir kekuasaan birokrasi. Kedua mahasiswa tersebut diskors karena menempel poster yang mengeritik sistem sosial sekarang: “Kampus Rasa Pabrik”, Rajin Membaca Jadi Pandai, Malas Membaca jadi Polisi”, "Kalau pembangunan berarti tergusur, kemajuan berarti kehilangan ruang hidup, biarlah makassar mundur lagi."
Lagi dan lagi, skors yang dikeluarkan dengan kekuatan magisnya, satu kali proses sidang, keluarlah Surat Keputusan Rektor. Sim..sala..bim!
Kewenangan administratif diberdayakan untuk mempertontonkan otoritas yang semena-mena pihak Unhas…
Kabar mengenai skorsing mahasiswa didapatkan dari Identitas –media kampus. Rilis berita yang amat lucu-cenderung miris. Bagaimana tidak, keterangan yang ditulis Identitas amat tak berimbang. Hal ini terlihat dari langkah mengutip ucapan-ucapan Mansyur (pihak satpam) tanpa re-checking, bahkan Identitas merilis berita tersebut tanpa mengonfirmasi kepada mahasiswa yang bersangkutan.
Dalam hal ini, bukanlah kode etik jurnalistik yang menjadi permasalahan utama, sebab media tentu adalah perpanjangan kepentingan. Identitas di sini sangat jelas mewakili kepentingan birokrasi kampus. Tendensi tersebut bisa digunakan melihat liputannya yang hanya memuat aktivitas birokrat kampus, dengan pemberitaan kering dan nihil kritik.
KEBIJAKAN YANG MENGGERTAK MAHASISWA
Penerbitan berita skorsing yang menyita perhatian ini membangkitkan kekhawatiran terhadap kekuasaan birokrasi kampus yang kian “mencekik”. Mengenali daya politik yang dimilikipun seakan tak berguna lagi bagi mahasiswa. Pelaksanaan kegiatan yang bertentangan dengan kehendak birokrasi adalah “dosa” bagi mahasiswa, mengkritikpun didaku birokrasi sebagai sampah yang hanya akan berakhir di pembuangan. Sesungguhnya, kampus ini nihil demokrasi!
Kampus yang mestinya menjadi tempat mahasiswa menempa pikiran kritis, tetiba berubah menjadi regresif, mengekang mahasiswanya yang mencoba berpikir kritis. Karena kampus adalah tempat di mana argumentasi ilmu pengetahuan beradu, maka kebebasan berpikir seharusnya menjadi hal yang paling wajib dilindungi oleh kampus.
Apa yang salah dari poster-poster tersebut? Apakah institusi kampus sedang ketakutan melihat mahasiswanya kritis?
Bisa jadi jawabannya adalah “ya”. Lihatlah! Kampus dengan kuasanya bersikeras mempertahankan kebijakan yang kian menggila; Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang makin meroket, pemberlakuan jam malam, hingga pengekangan aktivitas lembaga mahasiswa. Jika ditarik keluar dari masalah di kampus, Unhas tak hanya menutup telinga atas suara warga kampus, namun enggan membuka mata dengan ketimpangan pembangunan. Kemegahan gedung seolah lebih menjamin akreditasi jika dibanding dengan fasilitas belajar mahasiswa. Tentu mahasiswa telah jemu menantikan pembaruan pustaka yang entah kapan dapat dinikmati. Juga menantikan fasilitas penunjang proses belajar lainnya untuk layak disandingkan dengan titel “world class”, yang dengan pongahnya dibanggakan dalam acara seremonial kampus. Mahasiswa sudah jenuh, jika diam tersiksa dalam kungkungan, protespun akan mati tercekik otoritas!
Perubahan tidak akan terwujud dengan menanti mahasiswa “dihabisi” dengan ganas. Otoriternya kampus terhadap mahasiswanya adalah tindakan menuhankan diri, maka melawan adalah salah satu jalan keluarnya!!!
Maka dari itu, Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW) UNHAS menyatakan sikap menolak dan mengecam keras segala bentuk represi akademik dan pelarangan berekspresi di kampus. Kami menyatakan tuntutan;
Hentikan segala bentuk kekerasan akademik dan pelarangan berekspresi di kampus.
Mencabut Surat Keputusan Rektor Universitas Hasanuddin No. 052/UN4.1/KEP/2018 yang cacat administrasi dan prosedural.
Menuntut kebijakan institusi pendidikan yang memenuhi rasa keadilan dan melalui mekanisme pengambilan keputusan yang adil, terbuka dan bermartabat.
Wujudkan iklim dan kondisi kampus yang demokratis, berikan kebebasan kepada mahasiswa untuk berorganisasi, menyampaikan pendapat dan berekspresi di dalam kampus.
Salam Berlawan!!!
by akun @law unhas (line)
Jika kampus dipandang sebagai mesin pencetak demokrasi, jangan harap demokrasi itu berjalan dengan sehat selama kampus tidak mempraktikkan demokrasi secara benar!
Januari tahun lalu mengingat kenangan pahit praktik demokrasi di kampus. Staff dan pegawai kampus yang dibantu satuan pengamanan kampus menginjak-injak mahasiswa saat melakukan demonstrasi menuntut bertemu Menristekdikti di peresmian Unhas menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum PTN-BH.
Menggunakan kekerasan dengan memperalat aparat represifnya, kampus menjelma menjadi otoriter…
Baru-baru ini Unhas menskors mahasiswanya karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan jalan berpikir kekuasaan birokrasi. Kedua mahasiswa tersebut diskors karena menempel poster yang mengeritik sistem sosial sekarang: “Kampus Rasa Pabrik”, Rajin Membaca Jadi Pandai, Malas Membaca jadi Polisi”, "Kalau pembangunan berarti tergusur, kemajuan berarti kehilangan ruang hidup, biarlah makassar mundur lagi."
Lagi dan lagi, skors yang dikeluarkan dengan kekuatan magisnya, satu kali proses sidang, keluarlah Surat Keputusan Rektor. Sim..sala..bim!
Kewenangan administratif diberdayakan untuk mempertontonkan otoritas yang semena-mena pihak Unhas…
Kabar mengenai skorsing mahasiswa didapatkan dari Identitas –media kampus. Rilis berita yang amat lucu-cenderung miris. Bagaimana tidak, keterangan yang ditulis Identitas amat tak berimbang. Hal ini terlihat dari langkah mengutip ucapan-ucapan Mansyur (pihak satpam) tanpa re-checking, bahkan Identitas merilis berita tersebut tanpa mengonfirmasi kepada mahasiswa yang bersangkutan.
Dalam hal ini, bukanlah kode etik jurnalistik yang menjadi permasalahan utama, sebab media tentu adalah perpanjangan kepentingan. Identitas di sini sangat jelas mewakili kepentingan birokrasi kampus. Tendensi tersebut bisa digunakan melihat liputannya yang hanya memuat aktivitas birokrat kampus, dengan pemberitaan kering dan nihil kritik.
KEBIJAKAN YANG MENGGERTAK MAHASISWA
Penerbitan berita skorsing yang menyita perhatian ini membangkitkan kekhawatiran terhadap kekuasaan birokrasi kampus yang kian “mencekik”. Mengenali daya politik yang dimilikipun seakan tak berguna lagi bagi mahasiswa. Pelaksanaan kegiatan yang bertentangan dengan kehendak birokrasi adalah “dosa” bagi mahasiswa, mengkritikpun didaku birokrasi sebagai sampah yang hanya akan berakhir di pembuangan. Sesungguhnya, kampus ini nihil demokrasi!
Kampus yang mestinya menjadi tempat mahasiswa menempa pikiran kritis, tetiba berubah menjadi regresif, mengekang mahasiswanya yang mencoba berpikir kritis. Karena kampus adalah tempat di mana argumentasi ilmu pengetahuan beradu, maka kebebasan berpikir seharusnya menjadi hal yang paling wajib dilindungi oleh kampus.
Apa yang salah dari poster-poster tersebut? Apakah institusi kampus sedang ketakutan melihat mahasiswanya kritis?
Bisa jadi jawabannya adalah “ya”. Lihatlah! Kampus dengan kuasanya bersikeras mempertahankan kebijakan yang kian menggila; Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang makin meroket, pemberlakuan jam malam, hingga pengekangan aktivitas lembaga mahasiswa. Jika ditarik keluar dari masalah di kampus, Unhas tak hanya menutup telinga atas suara warga kampus, namun enggan membuka mata dengan ketimpangan pembangunan. Kemegahan gedung seolah lebih menjamin akreditasi jika dibanding dengan fasilitas belajar mahasiswa. Tentu mahasiswa telah jemu menantikan pembaruan pustaka yang entah kapan dapat dinikmati. Juga menantikan fasilitas penunjang proses belajar lainnya untuk layak disandingkan dengan titel “world class”, yang dengan pongahnya dibanggakan dalam acara seremonial kampus. Mahasiswa sudah jenuh, jika diam tersiksa dalam kungkungan, protespun akan mati tercekik otoritas!
Perubahan tidak akan terwujud dengan menanti mahasiswa “dihabisi” dengan ganas. Otoriternya kampus terhadap mahasiswanya adalah tindakan menuhankan diri, maka melawan adalah salah satu jalan keluarnya!!!
Maka dari itu, Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW) UNHAS menyatakan sikap menolak dan mengecam keras segala bentuk represi akademik dan pelarangan berekspresi di kampus. Kami menyatakan tuntutan;
Hentikan segala bentuk kekerasan akademik dan pelarangan berekspresi di kampus.
Mencabut Surat Keputusan Rektor Universitas Hasanuddin No. 052/UN4.1/KEP/2018 yang cacat administrasi dan prosedural.
Menuntut kebijakan institusi pendidikan yang memenuhi rasa keadilan dan melalui mekanisme pengambilan keputusan yang adil, terbuka dan bermartabat.
Wujudkan iklim dan kondisi kampus yang demokratis, berikan kebebasan kepada mahasiswa untuk berorganisasi, menyampaikan pendapat dan berekspresi di dalam kampus.
Salam Berlawan!!!
by akun @law unhas (line)
0
1.5K
2
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Image
42.9KThread•4.2KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya