Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

anwaalcianjurAvatar border
TS
anwaalcianjur
Aku Hidup UntukMU
Aku Hidup UntukMU

Tanganku gemetar ketika menerima sebuah dokumen dari seseorang yang baru saja meninggalkan rumahku. Seperti mimpi, semuanya berubah dengan sekejap. Nasib benar-benar tidak memberikanku ruang untuk berkonfromi. Begitu pun dengan Allah. Ia tak membiarkanku untuk merasakan kebahagian sebentar saja. Bahkan Ia menamparku dengan kenyataan yang sangat menyakitkan.

Aku Hidup UntukMU

“Semua sudah berakhir, Bu. Maafkan aku!” aku memeluk Ibu sambil berurai air mata.

Dengan lembut Ibu mengelus kepalaku,”Sudahlah, ini yang terbaik bagimu, Nak. Harusnya kau bersyukur pada-Nya. Karena telah terlepas dari pria macam Dudi.” Hibur ibuku memberikan kekuatan padaku.

“Apa Allah sedang mempermainkanku? Aku selalu berdoa ingin mendapatkan suami yang shaleh, baik, dan mengerti agama. Tapi apa yang Dia berikan padaku, Bu. Hanya kepahitan dan kesakitan saja.” Aku benar-benar marah pada Sang Pencipta diri ini.

Dia tak adil padaku. Dia telah membuatku harus menyandang status ini, dalam waktu begitu cepat. Kalau saja Dia mengabulkan keinginanku. Nasibku tak akan seburuk ini. Aku menggerutu dalam hati.

Aku berdiri dan meninggalkan ibu sendirian di ruang tamu. Dokumen ber-map warna kuning itu, aku geletakan begitu saja di atas meja. Ibu hanya menatapku.

***
Quote:


“Dasar wanita mandul! Dasar mahasiswa palsu! Kenapa sikapmu seperti ini padanya, Hah?!” Dudi berteriak dengan sangat keras.

Mendengar teriakannya, aku hanya terpaku di ambang pintu. Syok.

“Apa yang kamu katakan, A? Sikapku biasa-biasa saja, Kok.” Ujarku mencoba untuk membela diri.

“Kenapa kamu memasang wajah cemberut, ketika Haikal datang ke rumah ini,” bentaknya lagi. Haikal yang ada di sampingnya hanya terdiam dan menundukkan kepala. Terlihat ada raut ketakutan di wajahnya.

“Cemberut gimana, A? Wajahku memang seperti ini. Lagi pula aku senang jika Haikal bisa tinggal di sini. Bukankah dia anak yang Aa ambil dari panti asuhan?”

Dudi masih menatapku dengan bara api yang meletup-letup. Aku tak berani menatap matanya yang sudah mulai memerah menahan amarah. Kemudian ia mengambil panci dari dapur dan melemparkanya di depanku.

“Astaghfirullahaladzim, ...” ujarku kaget. Refleks tanganku menyentuh dada, berusaha meredakan amarah.”Kenapa Aa melemparkan pancinya di depanku?”

“Halah, cape aku melihat wajahmu itu. Haikal, ayo ikut Ayah keluar! Biarkan saja ibumu ini tinggal sendiri di rumah,”

Ia menarik tangan Haikal, membawanya pergi dari rumah. Aku hanya terpaku melihat kepergian mereka berdua. Hatiku bagai diiris-iris dengan pisau. Sakit dan perih sekali rasanya. Pria yang selama ini aku bangga-banggakan bisa menjadi imam hidupku. Berubah total, hanya dalam waktu sesingkat ini. Tiga minggu. Selama itu keanehan-keanehan mulai muncul satu persatu. Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Entah apa? Aku tak tau. Hanya saja hatiku meyakininya. Ada sebuah rahasia besar yang sedang dia tutupi.

***
Quote:


Tok. Tok. Tok.

Terdengar suara pintu diketuk dengan lumayan keras.

“Sebentar ...,” teriakku dari arah dapur. Aku kecilkan dulu kompornya, agar masakanku tidak gosong. Dengan langkah cepat, aku membuka pintu.

“Bapak Dudinya ada?” tanpa basa-basi ia bertanya padaku.

“Ada. Tapi ada perlu apa padanya?” tanyaku sambil mengerutkan kening. Sekilas aku membaca papan nama di bajunya. Namanya Galih.

“Anda siapanya Pak Dudi?” tanyanya menyelidik.

“Saya istrinya? Silahkan masuk! Nggak baik bicara di luar,” aku membukakan pintu sedikit lebar. Agar dia bisa masuk ke dalam,” maaf! Duduknya di karpet. Soalnya kami belum punya kursi.”

“Tidak apa-apa. Mana Pak Dudinya? Saya ada urusan penting dengannya.”

“Sebentar saya panggilkan,” entah kenapa tiba-tiba saja hatiku merasa tidak enak. Dari raut wajahnya, terlihat ada guratan amarah. Ah, mudah-mudahan tak ada apa-apa. Aku melangkahkan kaki menuju kamar. Pelan sekali, aku membuka pintu kamar. Sesosok pria sedang tidur dengan posisi tengkurab. Aku tersenyum melihatnya, terlihat sekali raut kelelahan di wajahnya. Kemudian aku mendekatinya.

“A, bangun! Ada yang mencari Aa,” panggilku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan. Namun dia tidak juga bangun. Aku membangunkannya sekali lagi. tetap saja tidak bangun. Ketika untuk ketiga kalinya, aku akan membangunkannya. Tiba-tiba saja dia bangun dan menatapku. Spontan aku langsung menjauh darinya. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuhku. Jantung tiba-tiba berdetak dengan cepat. Wajahnya memerah.

“Dasar wanita tidak tau diri! Kamu tidak lihat aku sedang tidur. Tak bisakah kamu biarkan aku istirahat.”

“Maafkan aku, A! Tapi di luar sana ada seseorang yang mencari Aa.”

Mendengar ucapanku raut wajahnya berubah seketika.

“Siapa?”

“Pak Galih. Sepertinya ada urusan penting. Lebih baik Aa temui dia. Aku akan mengambil air dan makanan kecil. Lagi pula aku sedang memasak di dapur. Aa cuci muka dulu.”

Aku melangkahkan kaki menuju dapur. Mataku melirik ke arahnya sebentar. Ada kecemasan di wajahnya. Ada apa dengan Aa? Kenapa dia seperti orang yang ketakutan? apa ada masalah yang sedang ia hadapi? Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku segera melangkahkan kaki. Meninggalkannya sendiri.

***
Quote:


Dengan pelan aku mengangkat nampan yang berisi dua gelas air dan satu toples makanan ringan. Kemudian berjalan menuju ruang tengah. Sambil tersenyum aku menyajikan minuman dan makanan. Namun ternyata kedatanganku membuat mereka tegang. Aku melirik ke arah suamiku. Memberi kode, apa yang sedang terjadi? Dia malah memalingkan wajahnya dariku.

“Silahkan diminum, Pak! Maaf tidak ada yang bagus,” ujarku ramah.

“Aku tidak ingin minum. Yang aku inginkan uangku kembali.”

Aku kaget mendengar nada bicaranya yang keras. Apa? A Dudi punya hutang. Tapi kenapa dia nggak bilang apa-apa padaku? Kualihkan pandangan mataku padanya. Dia terlihat salah tingkah.

“Aku sudah beberapa kali menelponnya. Tapi dia nggak pernah mengangkatnya. Aku sedang membutuhkan uang itu untuk bekal anakku. Setidaknya dia mengangkat telponku dan menjelaskan semuanya. Dalam perjanjiankan sudah jelas kalau uangku akan kembali tiga minggu. Benar kan?” Ia menatap Aa Dudi dengan penuh rasa kesal.” Ternyata suamimu tidak amanah. Yang anehnya, kenapa kok jadi aku yang ngejar-ngejar dia? Dia yang punya hutang sama saya. Saya beri waktu satu hari lagi. Ada tidak ada kamu harus membayarnya. Camkan itu!” Ia berdiri sambil mengacungkan telunjuknya di depan wajah Aa Dudi. Kemudian berlalu tanpa permisi kepada si tuan rumah.

Aku hanya tercenung melihat adegan di depanku. A Dudi sudah membohongiku? Katanya dia tak memiliki hutang pada siapa pun? Apa lagi yang sudah dia sembunyikan dariku? Fotho itu? Aku baru ingat dua hari lalu setelah melaksanakan Shalat Dhuha, aku menemukan sebuah fotho di antara tumpukan buku.

“Aku akan mencari tau tentang fotho itu,” ujar hatiku.

“Sial!!!” A Dudi berteriak sambil melempar barang-barang yang ada di dekatnya.

“A, jangan lempar-lempar barang bisa kan!” emosiku sudah sampai ke ubun-ubun.”Aa sudah banyak berbohong padaku.”

“Aa berbohong apa padamu, Hah?!” dia mendekatiku dengan amarah yang membara,”dengar! Aku menyesal sudah menikah denganmu. Aku muak padamu. Kamu istri yang tidak berguna. Masak aja nggak bisa.”

“Ya, aku memang tidak bisa masak, A. Tapi aku sedang berusaha untuk bisa. Tapi Aa yang tega padaku. Sudah cukup kebohonganmu selama ini, A. Pertama kamu bohong tentang hutang. Kedua, tunggu sebentar!” aku pergi ke kamar dan mengambil sebuah fotho dari dalam lemari. Kemudian kembali lagi,” ini, apa ini A? Bisa Aa jelaskan padaku. Siapa wanita yang ada di dalam fotho ini? Di fotho ini juga ada Aa dan Haikal. Apa yang Aa sembunyikan dariku?”

Dudi terkejut ketika melihat fotho itu. Dia terlihat salah tingkah, tak berani menatap mataku walau hanya sebentar saja.

“Kamu dapat fotho ini dari mana? Sudahlah?! Yang jelas kamu tak mau membantuku. Kenapa kamu menyimpan ijazahmu di rumah ibu. Aku bisa mengadaikan ijazahmu untuk membayar hutang.”

“Aa kenapa mengalihkan pembicaraan? Aku ingin tau, siapa wanita itu?” tanyaku lagi.

Dengan wajah merah padam, dia mendekatiku,”Kamu mau tau siapa dia? Akan aku beritahu. Wanita itu adalah istri pertamaku dan Haikal adalah putraku. Puas?”

Suara petir bagai menggelegar di telingaku. Aku mundur satu langkah dari hadapannya. Tak kuasa airmata pun mulai mengenang di sudut mataku. Di depan semua orang dia bilang masih bujangan. Ternyata? Tiba-tiba kepalaku pusing, penglihatanku mulai samar-samar. Dan setelah kejadian ini, aku tak tau apa yang terjadi pada diriku.

***
Quote:


Bayangan diriku di cermin, seakan bukan diriku yang dulu. Sejak kejadian itu, aku merubah total penampilanku. Celana jeans yang menjadi musuhku dulu. Kini aku kenakan. Bahkan kaos ketat pun aku pakai. Ada apa denganku sebenarnya? Kenapa aku menjadi seperti ini? Dalam hati aku terus mempertanyakan tentang diriku. Apa yang sebenarnya yang aku inginkan dengan perubahan ini? Memang, aku kecewa dengan takdir yang Allah berikan untukku. Aku merasa Allah tak adil padaku. Ia tak pernah memberikan kesempatan padaku untuk bahagia. aku benar-benar marah padaNya.

Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Berusaha untuk bicara dengan hati kecilku sendiri. Ada sesuatu yang hilang pada diriku. Hati ini begitu terasa hampa. Mungkin aku berada di jalan yang salah. Meski aku masih menggunakan hijab, namun baju-baju gamisku sudah aku tanggalkan.

Aku kembali mengingat-ingat, apa yang sudah terjadi? Aku seolah kehilangan sandaran hidup. Perlahan kutarik nafasku dan mulai mencari letak kesalahan dalam hidupku.

“Kamu tak seharusnya berubah seperti ini. Kamu tak seharusnya protes pada Allah. Coba kamu pikir, betapa baiknya Allah padamu. Seandainya saja, Dia tidak menunjukkan semua kebohongan Dudi. Mungkin sekarang kamu sudah punya anak. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa kau ingin semuanya terbongkar ketika ada anak diantara kalian? Dan pasti anakmu akan menjadi korban” sisi baik hatiku seakan menasehati.

“Kau tau, Allah begitu sayangnya padamu. Cara Dia menyayangi umatnya berbeda. Kejadian kemarin adalah ujian untukmu. Bukti betapa Dia sangat memperdulikanmu. Dia mengembalikanmu kepada ibumu. Lihat betapa bahagianya ibumu ketika melihatmu! Kembalilah pada dirimu yang dulu. Seharusnya dengan cobaan ini, kamu lebih mendekatkan diri pada-Nya, bukannya semakin menjauhi-Nya.”

Aku membuka kedua tangan dari wajahku. Kutatap lekat-lekat bayangan diri yang terpantul dari balik cermin. Ya, mungkin rasa hampa yang aku rasakan ini, akibat dari aku menjauhi dan memprotes Allah. Harusnya aku mempertahankan apa yang sudah aku kenakan. Seharusnya aku lebih menjaga kehormatanku.

Maafkan aku, Rabb! Aku telah salah menilai-Mu. Engkau yang memberi aku hidup dan kesempatan kedua. Kejadian itu, benar-benar membuatku gelap mata. Hatiku seakan tertutup untuk merasakan kasih sayang-Mu. Seandainya kala itu aku tak mengingat-Mu. Mungkin aku akan kehilangan akal, bahkan mungkin juga aku akan kehilangan nyawaku. Kau tau, Rabb. Pil penenang yang dokter berikan padaku, tak ada apa-apanya. Dibandingkan ketenangan yang Kau berikan lewat ayat-ayat Al-Quran.

Sekarang aku sadar bahwa hidup yang telah Kau berikan padaku adalah untuk menghambakan diri pada-Mu. Tanpa-Mu, aku tak bisa menghadapi kehidupan ini dengan mata terbuka.

Aku berdiri lalu mendekati lemari baju. Pelan tanganku membukanya. Di sana masih ada satu gamis dan kerudung syar’i. Aku mengambilnya.

“Ya Allah, izinkan aku kembali mengetuk rumah-Mu! Kali ini aku akan berusaha menjadi HambaMu yang mengikuti semua perintahMu.
Diubah oleh anwaalcianjur 09-02-2018 09:15
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.6K
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.2KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.