Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Kiat Bang Ali Mendongkrak Citra Banci
- Hingga pertengahan 1960-an citra banci dan bencong tetap negatif di mata masyarakat. Pasalnya mereka identik sebagai pekerja seks atau penghibur kelas bawah. Antropolog James L Peacock yang meneliti tentang ludruk menyebut kehidupan mereka kala itu tak jauh beda dengan era 1930-an; bahkan hanya ada sedikit kemajuan dibandingkan dengan 1830-an.

Walhasil para banci lebih banyak menyembunyikan diri sepanjang hari di rumah sehingga tidak pernah mengenakan pakaian wanita. Soalnya mereka kerap diintimidasi oleh berbagai pihak, termasuk anak-anak yang suka meneriaki dengan nada mengejek. Mereka tampil berpakaian wanita di ruang publik hanya di pertunjukan ludruk.

Sepanjang dasawarsa 1950-1960-an tekanan terhadap kaum transgender kian menguat. Organisasi-organisasi Islam menjadi penentang utamanya. Kehidupan para pria gemulai di daerah-daerah kantung Muhammadiyah menjadi sangat sulit. Bahkan di Sulawesi, sosok yang telah lama berakar di masyarakat Bugis, bissu, juga termarjinalisasi dan dianggap tak beragama. Oleh karena itu, pada dasawarsa 1960-an, Kahar Muzakar mengadakan Operasi Tobat untuk memberantas mereka. Para bissu dipaksa untuk berpindah agama menjadi pemeluk Islam, jika tidak ingin dihukum mati.



Mencari makan di jalanan (foto: Normantis)

Suksesi kekuasaan dari rezim Soekarno ke Soeharto, sedikit memperbaiki keadaan. Penumpasan lawan-lawan politik Orde Baru, kaum kiri, membuat mereka tak lagi menjadi sasaran tembak. Apalagi keamanan terus membaik. Pada saat itulah kaum transgender agak dilupakan oleh masyarakat sehingga mereka dapat mencari pekerjaan dan membentuk organisasi. Bahkan, para laki-laki kemayu ini juga dapat mengembangkan bahasa binan yang berakhir ‘se’, seperti trimse atau kamse (terima kasih), homes (homoseks) atau cinse (Cina).

Gubernur Jakarta era 1966-1977, Ali Sadikin, berperan besar dalam pemberdayaan kaum transgender di masa Orde Baru. Untuk menghilangkan citra negatif sebutan banci atau bencong, ia memperkenalkan istilah wanita Adam (wadam). Dengan potensi lebih dari 15.000 orang pada 1968, wadam tentu punya potensi besar untuk dikaryakan. Bang Ali pun menyediakan tempat khusus untuk mempekerjakan mereka. Salah satunya, bar Jakarta Paradise yang dibuka tatkala Jakarta Fair digelar.

Tak hanya memperoleh akses kerja yang lebih baik, wadam juga membentuk organisasi Himpunan Wadam Jakarta (Hiwad). Pembentukan organisasi ini difasilitasi langsung oleh Gubernur Ali Sadikin. Perkumpulan ini merupakan pioner wadah kaum LGBT di Indonesia.

Namun setahun setelah Ali Sadikin lengser, istilah wadam sempat disoal oleh Jenderal Alamsjah Ratu Prawiranegara (Menteri Agama era 1978-1983). Alasannya, nama itu menyinggung nama nabi Adam. Oleh sebab itu, organisasi itu pun bersalin nama menjadi Himpunan Waria (Hiwaria). Belakangan, nama wanita pria (waria) juga ikut digunakan dan sekarang menjadi baku.

Pasca kebangkrutan Paradise Hall, kaum waria mulai kembali ke jalanan. Beberapa memilih menjadi pekerja seks komersial yang mangkal di Lapangan Banteng, Monas, Taman Lawang, dan Taman Surapati. Pemerintah DKI Jakarta kemudian membuat tempat penampungan waria di Kapuk, Cengkareng. Di sana mereka mendapat pelatihan tiga bulan di bidang penataan rambut, memasak, menjahit, dan tata rias. Paling tidak terdapat 280 waria yang telah menyelesaikan kursus semacam ini dan telah bekerja di berbagai tempat.



Pemain ludruk (foto: Ludruksuryomenggolo)

Panggung Hiburan

Peralihan sebutan bencong atau banci menjadi wadam dan kemudian waria membuat mereka dapat lebih diterima masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih beroleh tempat di tengah khalayak luas dibanding gay atau lesbian. Tak heran jika mereka kemudian muncul di layar lebar. Beberapa film yang diputar di bioskop, seperti Benyamin Brengsek (1973), Wadam (1978), dan Betty Bencong Slebor (1978), menampilkan waria berkarakter lucu.

Karakter yang ceplas-ceplos, tampilan yang mencolok, dan kehidupan yang penuh perjuangan menjadi modal utama waria yang tampil di berbagai dunia hiburan, baik sebagai penyanyi, pemain film, pesinetron, bahkan pembawa acara. Dorce Gamalama yang bernama asli Dedi Yuliardi Ashadi, misalnya. Ia waria yang malang melintang di dunia televisi, termasuk di TVRI.

Pada Januari 2005, Dorce dipercaya memegang sebuah acara bincang-bincang bertajuk Dorce Show. Setelah lebih empat tahun (hingga April 2009) berjalan, acara ini dihentikan tanpa alasan yang jelas. Orang Minang itu pun kehilangan kedudukan sebagai presenter.



Tampil di pentas (foto: Medanbisnis)

Belakangan, Komisi Penyiaran Indonesia melarang waria tampil di televisi. Secara perlahan tapi pasti sosok transgender ini pun hilang dari layar kaca hingga sekarang. (Bersambung)

https://law-justice.co/
0
3.2K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.