- Beranda
- The Lounge
Belajarlah Bersahabat Dari Soekarno - Hatta
...
TS
c4punk1950...
Belajarlah Bersahabat Dari Soekarno - Hatta
Persahabatan di zaman kini mulai terasa pudar, beda paham, beda agama, beda pemikiran, beda jalan, beda status langsung balik badan, pura-pura tak kenal, bahkan dari sahabat menjadi lawan.
Jangan begitu kawan, nenek moyang kita susah payah menyatukan hati yang berbeda-beda pemahaman baik dari suku dan agama dari generasi yang berbeda, jalan panjang yang berliku bagi mereka untuk memperjuangkan hidup bebas bangsa ini dari tangan asing.
Lalu sejalan dengan kehidupan tak selamanya persahabatan itu harus seiring sejalan, begitu juga para pemimpin kita, sama saja dengan hari ini beda pemikiran, beda keyakinan namun berusaha untuk mengerti layaknya persahabatan Sukarno - Hatta.
Mereka bersama sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang mengupayakan kemerdekaan bagi Indonesia, bersama pula memproklamirkan kemerdekaan di tahun 1945, lalu bertahan dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan pada 1945-1950, namun seiringnya waktu berjalan dua sahabat itu akhirnya mereka berpisah pada 1956. Hatta mengundurkan diri, dirinya cenderung untuk menepi dan memilih meninggalkan lingkaran politik kekuasaan, yang sudah di cengkram Sukarno karena ambisinya.
Dalam diam Hatta lebih memilih untuk menuliskan surat kepada DPR tentang niatnya untuk meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Banyak orang menentang keputusan Hatta ini, baik dari pihak parpol, ormas dan militer berupaya membujuk dan mengusahakan bersatunya kembali duet kepemimpinan “Dwi Tunggal” ini.
Namun sosok yang membumi dan tak gila kekuasaan ini bergeming, pemikirannya yang ia rasakan kerap berseberangan dengan Soekarno, membuat ia tetap pada keputusannya untuk keluar dari lingkaran kekuasaan. Keputusannya sudah bulat hingga akhirnya Soekarno sebagai “pemain tunggal” dalam elit utama perpolitikkan Indonesia.
Padahal kalau saja Hatta itu perempuan atau sebaliknya Soekarno seorang perempuan, mungkin saja mereka sudah berpacaran dan menikah. Ini merupakan perumpamaan untuk melukiskan hubungan yang mesra seirama tapi tetap berbeda. Maklum saja dua orang ini berasal dari kultur sosial jauh saling berseberangan. Sukarno luwes (Bisa dibilang beliau ini genit) sama wanita. Hatta sebaliknya, kaku dan bisa merah mukanya bila berhadapan dengan wanita, apalagi yang manis sebaya.
Tapi dua karakter berbeda ini menjadi simbol pergerakan yang kuat di masa lalu, namun akhirnya Sukarno pun berkata "Hatta sering tidak seirama denganku" dalam pandangan politik dua orang sahabat ini jauh berbeda.
Sejak saat Hatta mundur, Sukarno kini berjalan sendirian. Tak ada lagi sahabat yang menjadi “second opinion-nya” Soekarno. Inilah awal mula mulai runtuhnya Sukarno ke ujung jalan akhir kekuasaannya.Bahkan Bung Hatta makin menjauhi Sukarno dan menghiasi keretakan itu dengan tulisan dan opini yang kritis pedas kepada sahabatnya. Sebagai warga negara biasa ia memang terus mengkritik secara santun namun untuk menuntun sahabatnya agar berjalan sesuai idealisme yang pernah mereka bangun bersama.
Baik lewat media massa, buku maupun surat pribadi Hatta terus mengkritik kebijakan Sukarno yang nampaknya sudah semakin jauh tak terkontrol, maklum saja saat itu Panglima Besar Revolusi disandangnya, dan bahkan melalui Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963, ia diangkat sebagai Presiden seumur hidup.
Dengan berakhirnya Dwitunggal yang pernah dimiliki Indonesia, memang menyesakkan rakyat yang menginginkan mereka selalu bersama, karena dua karakter berbeda namun saling padu sangat digemari rakyat waktu itu. Tapi sekali lagi, mereka tidak berpisah sebagai sahabat. Sebagai pribadi mereka tetap berkawan akrab. Dengan sangat elegan, mereka berdua bisa membedakan wilayah pribadi dan wilayah politik.
Seorang Sukarno tetap menghargai sahabatnya Hatta. Walau pemikiran berbeda dan sering di kritik secara pedas Ia tak membalas kritikkan itu, bahkan balasan dalam suratnya hanya menanyakan bagaimana kabar Hatta dan keluarganya. Hingga ketika sahabatnya sakit Ia tetap datang membezuk, bahkan memfasilitasi perawatan Hatta hingga ke luar negeri di saat sahabatnya menderita stroke.
Berjalannya waktu dengan semakin banyaknya intrik politik yang bermain terjadilah tragedi 1965, sekarang apa yang dikhawatirkan Hatta atas jalur politik yang keliru yang ditempuh Sukarno terbukti benar, dan Sukarno pun harus mundur dari puncak kekuasaannya.
Antara tahun 1965-1966 adalah periode kejatuhan Sang pemimpin, hingga akhirnya kekuasaannya benar-benar dilucuti, hingga akhirnya rezim pemerintahan pun berganti. Pada saat itu Orde Baru dibawah kepemimpinan Suhartopun lahir menggantikan Orde Lama, dan sebagai pihak yang kalah, Sukarno pun harus jadi pesakitan. Ia ditahan dalam status tahanan rumah di Wisma Yaso, bahkan aksesnya atas segala informasi ditutup dan gerak-geriknya dibatasi dan diawasi aparat.
Hingga keadaan Sukarno memburuk sakitnya menggerogoti tubuhnya yang sudah lemah tak berdaya. Namun sahabatnya tak bisa menemani hanya memantau lewat media massa, izin untuk menjenguk memang tak mudah di masa itu. Hingga pada 19770 sakitnya semakin parah dan Hatta minta izin untuk menjenguk sahabatnya yang sudah tak berdaya, hingga izin pun diterima.
Ketika melihat Sukarno di pembaringan Hatta tanpa sanggup berkata apa-apa, berdiri disamping Sukarno yang tertidur. “Hatta, kau disini ?”, tiba-tiba Sukarno yang terjaga menyapa Hatta yang terlihat olehnya berdiri disamping pembaringannya.
“Ya, bagaimana keadaanmu No...?”, jawab Hatta terisak menahan tangisnya.
“Hoe gaat het met jou ...?”, balas Soekarno menanyakan bagaimana juga kabar Hatta yang diucapkannya dalam bahasa Belanda.
“No...”, hanya itu kata-kata yang bisa terucap dari mulut Hatta. Bung Karno menangis terisak, Hatta tak mampu membendung perasaannya. Keduanya lalu berpegangan tangan erat, seolah-olah berusaha untuk saling menguatkan. Keduanya saling berpandangan, saling membisu tanpa kata-kata.
Sukarno lantas memberi isyarat agar Hatta menolongnya memasangkan kacamatanya, agar ia dapat melihat Hatta, sahabat seperjuanganya itu dengan lebih jelas. Dibalik kacamatanya itu, Sukarno tak melepaskan pandangannya dari Hatta. Dalam diam, seolah-olah ia hendak mengucapkan salam perpisahan.
Tak disangka 21 Juni 1970, sehari setelah pertemuan terakhir antara dua sahabat itu, Ir. Soekarno menghembuskan nafasnya yang terakhir. Disaat-saat ajal hendak menjemput, Bung Karno seolah-olah harus menunggu kedatangan sahabatnya Hatta datang melihat dirinya, hingga akhirnya ia tersenyum untuk menutup mata selamanya.
"Selamat Jalan Sahabat Jiwa-Jiwa kalian tak pernah mati di sanubari kami sebagai anak negeri, terima kasih untuk mu Sukarno - Hatta semoga negeri ini mengikuti pemikiran kalian, berbeda namun tak berpecah belah, kawan tetaplah kawan hingga akhir masa"
Berhubung thread ini panjang monggo seduh teh, kopi, susu srruppuutt dolo kawan...
Sumber Referensi :
Majalah Intisari Edisi Khusus Kemerdekaan, “Hatta, The Untold Story”, Edisi No. 647 Agustus 2016, Penerbit Kompas Gramedia
https://petualangangembel.wordpress....oekarno-hatta/
0
14.2K
76
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
925.2KThread•91.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya