Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

telur.unguAvatar border
TS
telur.ungu
[#SFTHChallenge] You Are The One


Hahai! Gue ikutan #SFTHChallenge juga nih emoticon-Malu

Berharapnya sih menang, yaiyalahya! emoticon-Ngakak (S)

Sampe gue bela-belain minjem ID orang yang udah KTC buat ikutan karena gue khawatir ga keburu di verifikasi sama Opisernya kalo daftar sendiri emoticon-Hammer (S)

Tenang aja, ntar gue upahin pemilik ID ini kalo gue menang emoticon-Ngakak (S)

Buat sekarang, cipok basah aja dari gue ya emoticon-kisssing

Orait! Happy Reading, Eperibodeh!

Thanks buat yang udah mampir, baca, dan/atau komen emoticon-Malu (S)

Live Long and Prosper!

--Nayla Dee @ladeedah--



♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣



You Are The One


Dia berbaring di kasur, meletakkan kepalanya di bantal dan hanya sesekali melirik gue dengan tatapan sedih.

Gue duduk di lantai menatap dia yang tak kunjung bicara, tak kunjung membalas sentuhan gue apalagi mencium gue seperti biasanya.

“Maafin gue, Dear!” kalimat yang terulang puluhan kali namun tak berhasil mengusik ia dari gemingnya.

Semua ini berawal saat kemarin pagi gue berkunjung ke rumah tetangga kami. Bukan kunjungan yang gue rencanakan karena awalnya gue hanya ingin berpelukan dengannya di kasur sambil menikmati hujan yang terus mengguyur selama beberapa hari ini. Tapi, telepon Tante Debby yang meminta gue datang ke rumah mereka untuk membantu menyiapkan persiapan untuk pesta pertemuan keluarga mereka malam itu membuat gue beranjak dari kasur, meninggalkan ia yang sedang terlelap.

Gue ketuk sekali pintu rumah Tante Debby, tak ada jawaban. Dua kali, masih tak ada jawaban. Tiga kali….

Om Barry, suami Tante Debby, membuka pintu dan di belakangnya—dia yang menjadi alasan kemarahan Kekasih gue—seorang pria yang sangat tampan berdiri mengintip gue dari balik punggung Om Barry. Hanya senyum canggung yang gue berikan karena tatap mata pertama kami, seperti layaknya tatapan seorang gadis yang melihat pria yang berhasil mencuri perhatiannya. Alihan pandangan gue pada Om Barry pun tak berhasil karena sudut mata ini tetap mengarah padanya.

“Hai, Om Barry!” Gue terima pelukan hangat yang langsung ditawarkan pria berusia setengah abad yang sudah seperti keluarga di tengah kota yang baru gue tempati ini. Tak banyak yang gue kenal di lingkungan ini, namun sejak kedatangan kami disini, keluarga Om Barry adalah keluarga yang sangat hangat terhadap kami dan membantu kami melewati banyak kesulitan termasuk kesulitan terbesar sebagai orang baru: keterasingan.

“Hey, Jeng! Kenalin ini Ben!”

Oh namanya Ben. Nama yang ganteng! Gue ulurkan tangan pada Ben. Ben mendekati gue dan menyambut salaman gue. Ia tak bicara apa-apa selain menatap gue dengan sorot mata yang tajam namun terasa hangat dan itu justru membuat gue serba salah.

“Hai, Ben! Gue Ajeng!”

Ben tetap diam dan menatap gue. Tak adanya balasan dari dia membuat gue tersenyum kikuk saat melewatinya untuk mengikuti Om Barry yang mengajak gue ke dapur.

Disana, Tante Debby sedang memasak aneka makanan tampaknya. Dari aroma yang tercium, gue berusaha menebak ini pasti bolu pisang karena aroma pisang bercampur kayu manis semerbak memenuhi dapur.

“Yum! Enak banget nih kayaknya Tan!” Gue intip oven yang menyala dan benar saja, bolu yang menggembung memenuhi loyang persegi panjang tampak sudah kecoklatan dengan letupan gelembung mentega di bagian permukaannya.

“Bolu pisang emang harus selalu ada di acara makan malam keluarga kami, Jeng karena itu udah jadi resep turun temurun yang disukai semua orang! Oh kecuali Ben! Ben ga suka bolu pisang!” Tante Debby menunjuk Ben yang berdiri di antara ruang tamu dan dapur. Ia masih tetap diam dan gue sadar kalau dia masih terus melihat gue.

“Kenapa ga suka Ben?” Tanya gue untuk mencairkan diam kami yang canggung. Dasi merah di lehernya menarik perhatian gue. Dia semakin—tampandengan itu, terlihat sangat cute dengan warna setelannya juga.

Ben tetap diam dan mengalihkan tatapannya keluar jendela, lalu kembali ke gue lagi.

“Dia ga banyak omong, Jeng! Udah bawaan dari kecil! Tapi Ben bisa tiba-tiba hangat dan romantis ke orang yang dia suka loh!” canda Om Barry sambil menepuk-nepuk pundak Ben.

Gue agak malu. Salah tempat rasanya saat membahas kehangatan yang romantis buat gue yang sudah lama tidak merasakan keromantisan bersama Kekasih gue itu.

Ah! Setiap hubungan ada pasang surutnya ya?

Gue dan dia sempat break dari hubungan kami. Sebuah tragedi yang membuat gue harus meninggalkan dia beberapa bulan karena gue ingin menemukan ketenangan dari kemarahan yang tak bisa gue ungkapkan. Dia tampak mengerti dan hanya pasrah saat melihat gue menjauh delapan bulan lalu. Tanpa memanggil, tanpa melambaikan tangan, dia membiarkan gue menaiki taksi dan meninggalkannya yang terus menatap gue hingga taksi berbelok di ujung kompleks. Tatapan sedih yang tak pernah gue lupakan hingga detik ini.

Saat gue kembali delapan bulan kemudian, dia menyambut gue layaknya Kekasih yang sangat merindukan gue. Berhari-hari berikutnya ia terus mengikuti kemanapun gue pergi.

Katanya dia takut gue akan pergi lagi.
Katanya dia merindukan gue.
Katanya dia sangat ingin gue terus berada di sampingnya, selama-lamanya.

Delapan bulan mungkin waktu yang cukup untuk gue merefleksi segala peristiwa yang terjadi, tapi untuk memulai kemesraan ini lagi—pikiran gue masih tercecer di banyak tempat sehingga gue lebih sering melamun. Begitupun dia. Meskipun begitu, dia selalu duduk di samping gue dan menggenggam tangan gue sebagai bukti bahwa dia ada buat gue.

Ciuman dan pelukan juga selalu ia berikan, bahkan tak jarang ia tertidur di pangkuan gue karena gue lupa waktu saat tenggelam dalam lamunan yang mengembara.

“Kenapa lo ga suka bolu pisang, Ben?” Ulang gue saat kami berdua berada di ruang makan sambil menata meja. Ben melihat gue dengan tatapan lembut lalu sebuah senyum tersungging di bibirnya. Dia masih diam.

“Gue juga ga suka bolu pisang! Gue ga suka rasa pisang tapi gue suka aroma pisang pas dipanggang!” Gue berusaha memulai obrolan ini agar pekerjaan kami tidak terasa, atau mungkin gue memang ingin mengenalnya. Setidaknya gue ingin mendengar seperti apa suaranya.

“Lo bisu? Haha!” Candaan yang terdengar konyol dan keterlaluan. Gue segera menepuk mulut gue sendiri. Namun Ben tampak tak terpengaruh pada candaan gue, ia tetap duduk di kursi sambil memainkan pita di meja.

Dia tidak membantu pekerjaan ini sama sekali melainkan hanya duduk dan mengamati gue yang dibuatnya salah tingkah.

“Gue habis jalan-jalan ke tempat yang—isinya orang-orang yang selalu diam, Ben. Gue belajar kalo diam bisa bermakna ganda antara ketenangan atau kegentingan.”

Ben menoleh ke gue.

“Sama lo, rasanya ini ga tenang.” Terang gue saat tatap matanya tak kunjung ia tarik.

Ben berdiri dari kursinya. Ia pindah duduk di samping gue yang sedang melipat lap makan, sangat dekat hingga deru nafasnya mampu gue rasakan di wajah gue. Gue mulai panik dengan keintiman yang tiba-tiba ini.

“Dan sekarang ini makin ga menenangkan.” Lirih gue tegas namun Ben bergeming. Ia tatap mata gue dan tanpa nyana—tiba-tiba ia cium gue.

Ini salah! Ini tidak boleh terjadi! Gue adalah wanita yang sangat mudah jatuh cinta, terutama pada pria tampan yang tak banyak bicara seperti—Ben—dan seperti Kekasih gue juga!

Oh tidak!

Gue tinggalkan Ben sendirian di ruang makan.

“Kenapa Jeng? Ben ga ngapa-ngapain kamu kan?” Tanya Om Barry saat melihat gue agak panik.

“Enggak Om! Ga ada apa-apa! Ajeng cuma pengen minum aja!”

“Ben itu agak sulit ditebak Jeng, dia mengalami trauma waktu kecil dan dia tumbuh besar seperti itu. Kadang dia suka marah-marah, kadang dia diem, kadang dia ceria. Kalau dia agak aneh, harap maklum ya!” Tambah Tante Debby.

Gue hanya mengangguk dan segera meminum air sebanyak-banyaknya untuk mengusir kepanikan gue.

Ini salah gue! Seharusnya gue tidak berusaha memancing Ben dengan kenekatan gue!

Gelombang rasa bersalah mengaliri gue seiring air mengaliri kerongkongan.

Delapan bulan gue jauh darinya, selalu berusaha menekan hasrat untuk berselingkuh karena percayalah, gue bertemu dengan mereka yang jauh lebih menarik dibanding Kekasih gue. Mereka yang bisa mengisi kekosongan hati gue dengan spontanitas. Hanya dengan tatap mata, sentuhan, bahkan ciuman akrab di pipi dari perkenalan, namun gelombang keintimannya sulit untuk gue bendung untuk tidak gue teruskan dalam cumbuan yang akrab.

Tapi gue berhasil menolak hasrat liar gue karena gue selalu ingat ada dia yang menunggu gue di rumah! Rumah yang selalu ingin gue jadikan tempat pulang! Dan gue hanya untuk dia! Satu-satunya untuk dia! Karena janji suci kami, dia untuk gue dan gue hanya untuk dia!

Gue tidak pernah mencium siapapun selain dia! Gue juga berusaha untuk tidak memaknai ciuman yang diberikan oleh mereka ke gue selain ciuman perkenalan. Tapi Ben---dengan segalanya Ben, yang lebih tampan, cool, dan macho dibanding dia---dengan dasi merahnya yang cute.......

Ya Tuhan! Mungkin dia masih tidur di kamar dan gue—disini—merasakan debar yang seharusnya tidak gue rasakan, menerima ciuman yang seharusnya gue hindari. Macam apalah gue ini!

“Nanti malem kesini ya Jeng, acaranya mulai jam tujuh! Bawa dia juga!” Tante Debby mencubit gemas pipi gue setelah semua persiapan selesai. Gue yang masih galau hanya bisa mengangguk. Ben yang berdiri di belakang Om Barry dan Tante Debby masih melihat gue dengan ringisan culasnya.

Dia sudah berdiri di depan pintu saat gue datang. Tatapan khawatir disertai serangan pelukan di tubuh gue menjelaskan kepanikannya saat mendapati gue tidak disampingnya saat dia bangun.

Gue kirain lo kemana, Jeng! Gue takut lo pergi lagi!

Pasti itu yang akan dia katakan seandainya gue siap dengan bahasan delapan bulan itu. Tapi gue sendiri tidak ingin membicarakan apapun yang terjadi selama delapan bulan tanpanya karena dia pasti akan sedih jika gue ceritakan banyak pria yang mencoba menggoda gue dengan pesona mereka. Gue memilih diam. Dia juga memilih diam.

“Tante Debby undang kita makan malem nanti jam tujuh.” Hanya kalimat itu yang gue ucapkan sambil memeluknya.

Dia balas pelukan erat gue dengan ciuman di pipi. Tempat yang sama Ben mencium gue tadi. Ciumannya yang seharusnya lembut dan lama terhenti. Ia endus pipi gue lagi lalu melihat gue dengan tatapan nanar. Pasti aroma Ben tertinggal di pipi gue! Gue sudah ketar-ketir tak karuan kalau-kalau dia akan mencurigai gue, namun dia tersenyum dan memeluk gue lagi dengan hangat.

Jam tujuh kurang kami sudah siap. Gue siapkan sweater berwarna merah dan hijau untuknya. Ingin rasanya mendandani dia dengan dasi merah seperti Ben, tapi akan sangat ketauan kalau gue menyimpan rasa pada Ben—oh tidak Ajeng! Hentikan ini!

“Lo ganteng!” Bisik gue sambil menciumnya. Dia tersenyum dan menegakkan duduknya di depan cermin seakan mematutkan diri dengan booster rasa percaya diri dari pujian gue.

“Ayo!” Gue elus rambut kecoklatan nan lembutnya.

Wanita selalu tau arti ciuman yang diberikan pria kepadanya, dan ciuman Ben? Ciuman itu bukanlah hal yang biasa saja. Ada ketertarikan tersendiri dalam ciuman itu, terutama dengan keadaan Ben. Ciuman yang seharusnya tidak diartikan lebih oleh wanita yang sudah committed dengan pria lain.

Gue ketuk pintu rumah bercat putih itu. Berkali-kali berdoa dalam hati semoga Ben tidak ada disana.

Ben membuka pintu.

Ben mengamati gue dan—Kekasih gue. Lalu tanpa sungkan, Ben memeluk gue seakan kami sudah kenal sangat lama. Pelukan yang tak ia lanjutkan dengan salaman pada Kekasih gue. Begitu saja, Ben menarik gue ke ruang makan dan Kekasih gue hanya berdiri di tengah pintu masuk, mengamati kami berdua dengan ekspresi bingung.

Gue pamit pada Ben untuk mengajak kekasih gue masuk.

“Ayo, Dear!” Bisik gue dengan rangkulan di tubuhnya. Namun rasa terkejut juga bingung tampaknya mulai berubah menjadi cemburu. Ia tatap gue dan Ben bergantian.

Makan malam berubah menjadi bencana bagi gue karena Ben yang tadi pagi tak mau bicara atau melakukan apapun selain menatap gue, kini justru sangat perhatian dengan duduk di samping gue dan berkali-kali menyentuh tangan gue, bahkan mencium pipi gue beberapa kali. Sikap yang sama sekali tidak tampak canggung, bahkan keberadaan kekasih guepun tampak tak ia hiraukan. Wajahnya dipenuhi aura kebahagiaan dan itu sangat jelas ia tunjukkan karena gue.

Tante Debby dan Om Barry hanya saling bertukar pandang dan menatap segan pada Kekasih gue yang hanya duduk kaku di tempatnya.

Makan malam ini tidak bisa kami selesaikan karena Kekasih gue memilih pamit pulang, begitu juga gue.

“Maafin gue, Dear! Ben agak terganggu karena trauma masa kecilnya. Dia cuma bisa akrab sama orang tertentu dan gue ga nyangka gue salah satunya! Tadi siang dia ga gitu dan tiba-tiba aja malem ini begitu! Percaya dong, Dear!” Mohon gue sambil mengelus rambutnya.

Dia cium lo kemaren kan, Jeng? Lirikannya nanar ke arah pipi gue. Endusan dingin di pipi gue mengartikan kesedihannya yang semakin menjadi.

“Iya dia cium gue kemaren! Ciuman yang tiba-tiba juga! Maafin gue, Dear! Plis!”

Dia bergeming.

“Lexi My Dear!" Tersebut juga namanya. Gue hampir tidak pernah memanggil namanya karena dia terlalu lembut untuk dipanggil dengan nama.

"Cuma ada lo yang ada di hati gue! Gue selalu berusaha menjaga jarak dengan semua anjing karena gue tau lo cemburuan, Lex dan karena gue juga cinta sama lo! Ga akan ada yang ngerebut gue dari lo, selama-lamanya gue punya lo! Dan lo punya gue!

Kalo ada yang suka sama gue, anggap aja wajar Lexi Sayang karena lo yang cool banget aja bisa cinta sama gue, apalagi yang lain! Forever and after, kita akan terus barengan! Gue ga akan ninggalin lo lagi! Gue ga akan bikin lo ketakutan lagi! Itu janji gue.

Maafin sikapnya Ben. Ben itu anjing berkebutuhan khusus, Lex. Dia butuh perhatian lebih dan gue tetep bisa kasih perhatian yang lebih lagi ke lo meskipun gue juga perhatiin Ben! Gue akan make up kesalahan gue, gue akan ajak lo jalan-jalan meskipun sekarang hujan di luar!”

Berat rasanya mengatakan kalimat terakhir karena gue sedang flu dan hujan juga cukup deras, namun itulah yang Lexi sukai: bermain dengan hujan.

Lexi mengangkat kepalanya dan ekspresinya berubah seketika setelah mendengar kata jalan-jalan dan hujan.

“Iya! Gue akan ajak lo jalan-jalan sekarang! Siap?”

Tanpa dikomando lagi Lexi segera mengambil tali lehernya di gantungan samping pintu dan menyerahkannya ke gue.

“Gue cuma cinta sama lo, kalo ada anjing lain yang deketin gue, anggep aja itu fans gue! You are the good boy!” Gue cium hidungnya setelah memasang tali di kalungnya.

“Wooff!”

“You are the one, Lex! I wooff you too, My Boy!”


To My Dog Lexi, with love.

Diubah oleh telur.ungu 30-01-2018 01:02
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
5.5K
44
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.