• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • On This Day 23 Januari 1939 : Sindelaar " The Paperman" Meninggal Dunia

vigilantegothamAvatar border
TS
vigilantegotham
On This Day 23 Januari 1939 : Sindelaar " The Paperman" Meninggal Dunia

Jauh sebelum Boban menyampaikan pesan politik lewat hantaman kakinya ke wajah polisi Yugoslavia, dunia mencatat bahwa ideologi politik merupakan hal-hal tak terpisahkan dalam sepak bola. Ada yang menyampaikannya secara brutal namun ada pula yang menyampikannya secara elegan. Salah satu yang menyampaikannya secara elegan adalah Mathias Sindelaar.
Dilahirkan di lingkungan keras di kota Austria membuat Sindelaar tumbuh dalam lingkup dunia pekerja yang keras. Masa kecilnya dalam terpaan asap-asap pabrik di kota Wina dihalau dengan kebahagiaan kala bermain bola bersama anak sekitar yang mayortitas adalah orang Yahudi. Berada dalam lingkungan Yahudi bukan menjadi suatu tekanan bagi Sindelaar, Sindelaar meskipun bukan Yahudi asli namun darah Yahudi dari sosok nenek moyang hadir pada dirinya. Dalam kiprah kesuksesannya hal-hal berbau Yahudi selalu mengiringi langkahnya bahkan sampai membawanya ke makam legendaris di kota Wina yang setiap tahun diziarahi oleh 2000 orang.

“Dia memiliki kemampuan sepak bola luar biasa, bisa dikatakan bahwa kakinya memiliki otak dan pemikiran sehingga dalam aksinya dia menjadi sosok tak terduga dengan aksinya ketika berlari.” Ujar Alfert Polgar, jurnalis, kritikus, dan sosok intelek dari Austria pada masanya.
Hal itu bukan berlebihan karena Sindelaar yang fasih memainkan semua posisi di lini depan mampu membangun sebuah folk di klub FK Austria Vienna,
“Kehadiranya sangat luar biasa, dia mampu membuat orang mengerti apa yang harus dilakukan ketika bermain sepak bola, Sindelaar mampu menggerakkan seseorang yang tidak paham sepak bola menjadi paham baik secara permainan maupun sebagai penikmat.”

Folk itu terdengar merupakan suatu lelucon berlebihan yang hadir dari ruang kedai kopi yang kala itu marak di kota Wina sejalan dengan hadirnya perbincangan soal politik, sepak bola, seni, dan tentu saja si Freud yang fenomenal itu. Sindelaar adalah tipikal pemain yang mampu membangun dan menyatu dalam tim meskipun kemampuan sepak bolanya yang luar biasa. Sepak bola dinamis adalah sisi terbaik dalam dirinya. Dalam kiprah singkatnya di dunia sepak bola, Sindelaar adalah bentuk awal dari false nine yang kita kenal sekarang.

Julukannya banyak seperti sang magical, sang maestro namun The Paperman adalah nama lain paling melekat bagi diri pria bertinggi 175 cm ini. The Paperman adalah sebuah sebutan yang terinspirasi dari loper koran yang bekerja di kota Wina pada masa itu>Loper koran begitu lihai melewati segala aral rintangan berupa lobang, becek dan lainnya demi sampainya berita hangat ke rumah konsumen.
Permainan Sindelaar adalah permainan cerdas yang mengutamakan kecepatan, tubuh yang kecil untuk ukuran Eropa bukan menjadi masalah bagi dia untuk menonjol. Kemampuan dribel dan gocekannya luar biasa sehingga publik melabelinya dengan julukan The Paperman mengingat pergerakannya di lapangan sangat luwes dan fleksibel melewati lawan dan menggiring bola meskipun keadaan lapangan tidak stabil seperti saat ini.

Dianggap sebagai salah satu pesepak bola terbaik Eropa sebelum era Perang Dunia II, Sindelaar mampu
menghadirkan performa luar biasa bagi klub yang dibelanya dan Austria tentunya. Kala Sindelaar membela Austria di bawah asuhan Hugo Meisl, label Wunderteam adalah nama lain Austria dengan rival abadi Migthy Magyars milik Hongaria. Capaian terbaik Austria dalam pentas tertinggi sepak bola dunia adalah ketika menjadi juara ke-4 pada helatan Piala Dunia 1934 yang sarat akan kontroversi. Di semifinal mereka dikalahkan oleh Italia dan di perebutan tempat ketika mereka dikalahkan Jerman.
Sebagai orang yang tumbuh dalam lingkungan Yahudi, konsep antisemit dan ideologi Nazi sangat mengganggu dirinya. Ketika kampanye Hitler tiba di Austria dengan label penyatuan Austria dengan Jerman, Sindelaar begitu gusar.

Pada pertandingan yang dihelat pada bulan Maret 1938 antara Austria dan Jerman sebagai pertandingan penyatuan, Sindelaar mencetak salah satu dari skor 2-0 yang dimenangkan oleh Austria. Pria yang pada usia 13 tahun ini harus bekerja di pabrik mencari nafkah untuk menggantikan ayahnya yang meninggal sebagai kepala keluarga merayakannnya dengan sangat emosional di depan para petinggi NAZI. Ini merupakan tamparan keras bagi NAZI kala itu apalagi Hitler berada pada tribun VIP.

Kesepakatannya adalah Austria tidak boleh menang, hal ini terlihat lancar sampai 70 menit pertandingan dimana bola hanya bergulir di wilayah permainan Austria dan sesekali bentrok di lini tengah. Namun pada 20 menit terakhir terlihatlah bahwa Austria boleh saja takluk secara negara namun secara ide dan idiologi mereka adalah sosok yang berjuang melawan sikap politik Hitler dengan NAZI-nya lewat sepak bola. Apa yang dilakukan oleh Sindelaar adalah hinaan bagi NAZI mengingat harga diri mereka dicampakkan ke titik paling bawah di depan salah satu musuh politik dan idiologi mereka yakni Yahudi yang menjadikan Sindelaar sebagai sosok panutan.

Semua berjalan baik –baik saja setelah pertandingan itu, hal ini diperkuat dengan adanya tawaran dari pelatih Jerman kala itu yang sedang bersiap ke gelaran Piala Dunia 1938 agar Sindelaar mau bergabung dengan timnas Jerman. Namun ia menolak dengan alasan lututnya sudah tidak kuat lagi. Ini adalah tawaran halus guna membuat Hitler tidak semakin menggila.

Pertandingan terakhirnya adalah boxing day tahun 1938 kala klubnya melawn Hertha Berlin di Berlin, usianya sudah mencapai 35 saat itu namun permanannya masih berada pada level tertinggi.
Sindelaar yang begitu dicintai oleh publik Austria terlebih Yahudi pernah membeli apartemen lalu menyediakan ruangan bawahnya sebagai kedai kopi bagi mereka (Yahudi) yang tersingkir secara politik kala itu untuk bertukar pikiran dan juga tempat penampungan bagi para gelandangan di kotanya.

Pagi hari pada 23 Januari 1939 sebulan setelah laga terakhirnya bersama klub, Sindelaar ditemukan terbujur kaku di apartemen milikinya bersama pacarnya Camilla Castagnola. Sindelaar ditemukan sudah tidak bernyawa namun pacarnya yang menjadi saksi kunci kejadian itu ditemukan dalam keadaan tidak sadar, beberapa hari sempat dalam keadaan koma hingga akhirnya meninggal.

Kematian sang pejuang anti NAZI ini sarat akan kontroversi . Autopsi yang dirilis pihak berwenang adalah keracunan karbonmonoksida. Namun di balik itu kabar yang berkembang bahwa kematiannya ada campur tangan dari SS yang merupakan pasukan elite legendaries nan sadis milik NAZI. Banyak yang menghubungkannya dengan penolakan Sindelaar atas tawaran agar mau bergabung ke tim Jerman namun muara paling umum dari kematian Sindelaar adalah sikap perlawananya kepada sikap politik NAZI lewat selebrasi emosionalnya pada gelaran pertandingan penyatuan antara Austria dengan Jerman.
Sadar bahwa Sindelaar akan menjadi ikon dan juga rujukan sikap politik, kematiannya langsung dihubungkan dengan upaya bunuh diri dan pembunuhan dengan media karbonmonoksida. NAZI melarang adanya monumen atau pendirian tugu atas kematian Sindelaar. Merujuk pada peraturan kala itu jika publik figur meninggal karena laporan medis bunuh diri atau dibunuh namun tidak jelas siapa yang melakukan, maka hal-hal yang bersifat perayaan dan pembangunan simbol sosok tersebut dilarang.

Pada akhirnya kematian Sindelaar hanya dengan upacara biasa dan jauh dari sorotan karena ketakutan dari petinggi NAZI akan respon yang diberikan masyarakat terlebih publik Yahudi setelah kematian Sindelaar tersebut .
Sindelaar ditempatkan sebagai pesepakbola terbaik abad 20 dari Austria dan berada pada urutan ke-22 sebagai pemain terbaik dunia sepanjang masa. Hal ini melengkapi trofi dan gelar juara yang ia raih bersama Timnas Austria dan juga klub.
Jika Pele dibuat menjadi nama stadion dan Best menjadi nama bandara, Sindelaar dianggap sebagai sosok inspiratif dalam dunia sepak bola dan pesan politik di Austria bahkan dunia.

rujukan :
https://insunandshadow.com/political...ootballers-xi/
https://footballpink.net/2015/02/05/...-man-of-paper/
https://www.goalprofits.com/matthias...eatest-player/
https://www.fourfourtwo.com/features...led-a-legend-0
https://ahalftimereport.com/2015/07/...-with-fascism/
https://insunandshadow.com/2011/10/0...hias-sindelar/
http://www.thedaisycutter.co.uk/2013...-be-forgotten/
https://www.theguardian.com/football...sport.comment3
http://thesefootballtimes.co/2015/01...lar-paper-man/
http://www.newstatesman.com/sport/20...ar-soccer-nazi

Diubah oleh vigilantegotham 27-01-2018 09:14
0
8K
39
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.