Sejujurnya saya agak malas kalau sudah mengulas tema tentang politik. Selain bukan bahasan yang menarik, sudah bisa ditebak, view-nya juga bakalan sedikit.

Tapi, ini adalah berita yang lumayan bombastik. Meski nanti tak sebanding dengan isu video porno yang menimpa salah peserta Indonesia Idol yang sukses bikin dahi berkenyit.

Namun tak ada salahnya kita bahas bersama-sama sambil nunggu antrian dibengkel. Lagian, hari ini kendaraan seolah-olah pada kompak minta di servis!



Bicara tentang uang mahar, hal ini dipercaya bukan sebuah keniscayaan. Seperti yang pernah diulas oleh Ikhsan Achmad, seorang akademisi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Sejumlah nominal yang mencapai lebih dari sembilan digit ini, dibutuhkan untuk pembelian dukungan parpol, pencitraan politik, membeli pengaruh pemilih, dan transaksi jual-beli suara.

Situasi ini seolah dibenarkan melalui konferensi pers mantan ketua umum PSSI terkait mahar besar agar dapat mengikuti hajatan bernama pilkada.



Jumlahnya tidak main-main. Cukup membuat lautan kolam dawet untuk ajang berendam orang-orang se-kabupaten. Ada yang mengaku diminta 40 Milyar, ada yang kurang, bahkan ada pula yang lebih dari angka tersebut.

Uang mahar ini adalah bagian dari money politik. Jika dikaitkan dengan Undang-undang pemilu, tentu praktik ini dilarang, dan pelaku bisa dipidanakan.

Akan tetapi, meski dilarang, ini sama saja seperti melihat pemilik kendaraan yang memacu kecepatannya diluar batas seperti angka yang tertera pada rambu-rambu lalu lintas.

Kita tahu itu dilarang, tapi pura-pura nggak mau tahu. Sebab, absurditas di negeri ini kadang sudah dianggap normal.

Rapinya pemberian uang mahar ini, dan biasanya dilakukan dibawah meja, membuat pihak-pihak yang terkait dalam sistem pengawasan pemilu merasa kesulitan untuk membongkarnya.

Hal ini mendapat respons pula dari KPK, lembaga ad hocyang mengurusi tindakan anti rasuah. Menurut salah satu petingginya, praktek uang mahar bisa merusak arti dari demokrasi itu sendiri. Dan ada tirai terselubung yang membuat penegak hukum sulit untuk menelusurinya.

Terkait mahalnya uang berlayar di pilkada, tentu saja merupakan salah satu penyebab maraknya praktek korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah.



Ibarat orang berdagang, ongkos besar yang terlanjur dikeluarkan otomatis wajib dikembalikan. Apalagi jika menilik angkanya yang fantastis, maka pedagang mana yang mau rugi dalam bisnisnya.

Biaya tinggi ini, bisa jadi merupakan tabungan dari calon kepala daerah selama bertahun-tahun. Atau hasil bisnis miliknya.

Tak jarang pula, beberapa orang merelakan meminjam dana untuk memenuhi target keuangan supaya bisa menjadi salah satu kontestan dalam pilkada.



Kondisi ini diperparah dengan sistem pemilu yang selama ini berlaku. Meski ada sosok individu yang kompeten untuk menjadi pemimpin, lalu menempuh jalur independen, sebab tak mau membayar mahar, andaikan pun terpilih, ia tidak akan memiliki kekuatan diparlemen.

Sebab, sistem pemilihan anggota dewan, apakah itu DPR atau DPRD, tetap dilakukan melalui mekanisme kepartaian.

Belum lagi, aturan untuk calon kepala daerah yang hendak maju dari jalur independen, seakan-akan dibuat sulit. Bahkan lebih rumit daripada mencari jarum ditumpukan jerami diruangan yang tak sempit.

Oleh karena besarnya uang mahar ini, jangan heran bila banyak kepala daerah yang mesti berurusan dengan KPK.

Bukankah tidak ada makan siang yang gratis? Semua harus ada hitung-hitungannya yang jelas.

Meski banyak yang menyangkal, sayangnya, berita ini terlanjur viral!!!

©Skydavee

Sumber gambar: google