• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Alasan Kenapa Pemilu Jadi Pesta Demokrasi yang Menyenangkan, Bukan Malah Menakutkan

skydaveeAvatar border
TS
skydavee
Alasan Kenapa Pemilu Jadi Pesta Demokrasi yang Menyenangkan, Bukan Malah Menakutkan


Seperti yang diungkapkan oleh jurnalis cantik serta cerdas Najwa Shihab, tahun 2018 adalah tahun politik.

Disebut dengan tahun politik, karena pada tahun ini, ratusan calon kepala daerah beserta wakilnya akan mengikuti ajang pemilihan "new idol" dalam sebuah panggung politik.

Hingar bingarnya sudah bisa diamati dari sibuknya partai politik melakukan lobi-lobi dan konsolidasi yang kadang disamarkan melalui pertemuan sembari menikmati sarapan pagi.

Jika diamati, kondisi riuh ramai-nya persis seperti pemandangan dipasar yang dipenuhi opung-opung yang sedang menjajakan dagangannya. Ada yang menjual jengkol, menjual petai, dan aneka kebutuhan dapur lainnya. Pokoknya ramai.

Tak lupa, sesekali mereka berteriak sambil "menginang". Matanya melotot jika ada yang menawar barang dagangan dengan nilai terendah dan nggak masuk akal. Bibirnya berwarna merah maron hasil kolaborasi air liur dan kunyahan sirih, gambir, pinang, tembakau dan lain sebagainya.

Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi dialam nyata. Kondisi tak berbeda jua terjadi dialam ghaib yang sering disebut juga dengan dunia maya.

Kedua jagad tersebut, baik alam nyata dan ghaib, ikut memberi sumbangsih dan sugesti kepada masyarakat terkait corak dan warna dari pemilu itu sendiri.

Meski konstelasi politik belum dimulai dengan berkibarnya bendera start, namun gaungnya sudah berdengung-dengung seperti ketika kita menjerit didalam gua. Suaranya memantul dan bikin pekak telinga.

Terutama dunia medsos yang kadang kita bisa menemukan kata-kata dari seseorang yang melayang tanpa aturan bagaikan orang yang habis nelen narkoba jenis flakka.

Tentu saja kita belum bisa melupakan tragedi pilu saat pilpres 2014 dan pilkada Jakarta yang sukses membuat dikotomi dua kubu.

Padahal, jika masih memiliki pemikiran yang waras, sikap dewasa serta saling tenggang rasa, pemilu itu harusnya menjadi ajang pesta yang menyenangkan.

Kenapa bisa begitu? Berikut ulasannya:

1. Suksesi Kepemimpinan itu Siklus 5 Tahunan

Spoiler for Suksesi itu hal yg lumrah:


Paska berakhirnya rezim orde baru, suksesi kepemimpinan, entah itu sekelas pilpres maupun pilkada, ditentukan dalam periode lima-tahunan.

Oleh sebab itu, fenomena ini tak usah dianggap sebagai hal yang menebar aura horor layaknya para pria yang ketakutan karena wajib di sunat.

Kalau mau sunat ketakutan, itu wajar. Namanya sunat hanya dilakukan sekali seumur hidup. Tapi pemilu ini sudah jelas selalu ada pada masa lima tahun sekali, kecuali peraturannya diubah.

Jadi, bersikap sewajarnya saja, dan tidak usah berlebih-lebihan dalam menghadapi pemilu seolah-olah hendak bertemu dengan hantu.

2. ‎Program yang Ditawarkan Semuanya Positif


Spoiler for Semua pasti bicara ttg kepentingan ummat:


Semenjak saya akil balik dan memiliki hak politik seutuhnya, saya selalu menemukan fatsun dan jargon politik yang diusung oleh masing-masing kandidat dan semuanya sangat baik.

Program yang ditawarkan pasti menyangkut serta menyasar kepada kepentingan publik.

Belum pernah saya menemukan bakal calon yang ikut pemilu bilang begini: "Pilihlah saya. Maka saya pasti akan korupsi. Saya juga akan kahwin lagi demi cita-cita masyarakat yang berpoligami".

Rasa-rasanya saya nggak pernah dengar program yang seperti itu. Entah kalau saya khilaf dan melewatkan berita yang kekinian.

Ok, lupakan sejenak "pengandaian" yang ngawur dari saya.

Sebab semua program yang ditawarkan "demi" kemaslahatan ummat, lantas, kenapa harus diributkan?

Memang, pabrik kecap selalu mengatakan jika kecap hasil produksinya adalah kecap Numero Uno, alias kecap nomor satu.

Menyikapi perang kecap ini, ada baiknya kita sedikit flash backkebelakang dan melihat track record dari bakal calon pemimpin yang menjajakan kecapnya.

Meski hal ini bukan sebuah paramater yang mutlak, namun bisa dijadikan sebagai panduan untuk mencoblos mereka dalam pemilihan umum.

3. ‎Kontestannya Saudara Sendiri

Spoiler for Liatlah, yg berkompetisi itu saudara sendiri:


Dalam konteks makna persaudaraan secara universal, kita pasti setuju bahwa siapa saja yang lahir di nusantara ini, berbahasa satu Indonesia, meski kadang diselingi bahasa daerahnya, dan dibawah naungan sang saka dwi warna merah putih, maka semuanya adalah saudara.

Kesampingkan definisi sempit dan picik tentang pribumi dan non pribumi. Asal dia memiliki rasa nasionalisme sejati terhadap Indonesia, ia adalah saudara sebangsa dan setanah air.

Lantas, setelah mengetahui bahwa kontestannya adalah saudara sendiri, lalu mengapa harus ada perselisihan?

Coba amati peserta pemilu dimasing-masing wilayah. Nggak bakalan ada wajah ngeselin Mr. Trump atau muka gemesin Om Kim Jon Un dikertas pemilu. Dan jangan berharap pula terpampang wajahnya Olivia Nova. Orangnya udah gak ada.

Semua yang ikut ajang pemilihan ini saudara dan saudari sendiri. Lahir, besar, beranak-pinak dan bakalan dikubur dibumi pertiwi. Kenapa pada cekcok?

4. ‎Jadi Hari Libur Nasional

Spoiler for Mayan libur sehari:


Bagi para pekerja dan anak sekolah, maka moment ini paling ditunggu. Kapan lagi bisa liburan disaat rutinitas pekerjaan kadang bikin seseorang nyaris edan?

Sambutlah pemilu dengan rasa suka cita. Sebab, setelah mencoblos di TPU, kita bisa berlibur sambil mencoblos yang lain. Asalkan sudah punya pasangan dan terikat secara resmi. Kalau belum, hati-hati kena persekusi.

5. ‎Bisa Menggerakkan Perekonomian

Spoiler for Pemilu bisa mendatangkan rezeki:


Jika situasi menjelang pemilu bisa disikapi dengan baik dan benar serta berlangsung dengan kondusif, maka hal ini justru sangat membantu menggerakkan perekonomian sebagian rakyat Indonesia.

Fakta demikian dapat kita telusuri pada peningkatan omzet pemilik percetakan, sablon, penjual bambu dan lain-lain.

Bahkan, disekitar TPU, kadang menjamur penjaja minuman dan makanan ringan. Misalkan pedagang mijon, prut tang, es dawet, akuwah, dan lain sebagainya.

Nah, setelah melihat ada sisi positif dari pemilu ini, masihkah berpikiran menjadikan ajang lima-tahunan ini menjadi menyeramkan dan mencekam layaknya menonton film "Pengabdi Setan" di bioskop?

Bila masih ada pemikiran sempit seperti itu, mungkin ini dampak dari sistem pendidikan yang lebih menekankan jawaban pada pilihan berganda.

Pilihannya cuma A, B, C, D, E. Andai ada opsi semua jawaban benar, bisa jadi pembuat soal lagi bingung atau sedang mabuk kecubung.

Jawaban hidup itu tak cuma opsi seperti soal berjenis obyektif yang kalau bingung bisa ditebak sambil ngelamun lalu ngitungin kancing baju.

Namun, jangan pernah menyalahkan masyarakat sepenuhnya jika sudah terlanjur skeptis. Tugas pemerintah dan parpol agar stigma negatif tentang politik kembali menjadi apik.

Termasuk mengurangi janji dan angin surga pada masa kampanye yang acapkali cuma sekedar pepesan kosong dan banyak bohongnya hanya demi mendulang suara.

Selamat datang Tahun Politik!
©Skydavee

Sumber gambar: google
Diubah oleh skydavee 11-01-2018 06:33
0
11.1K
117
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.