Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Isu SARA paling membahayakan dalam Pilkada

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti (paling kanan) dalam diskusi terkait tutup tahun politik 2017 di Jakarta, Selasa (26/12/2017).
Bayang-bayang isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) menghantui Pilkada Serentak 2018, serta Pemilu 2019.

Pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengkhawatirkan politik uang dan permainan isu SARA dalam penyelenggaraan Pilkada Juni tahun depan.

Dua isu ini rentan dimainkan untuk merebut suara pemilih. Menurut Ray, penyakit lama di Indonesia adalah uang yang masih merajalela dalam proses pemilihan.

"Yang kedua, soal isu SARA yang mungkin akan marak digunakan menjelang pelaksanaan Pilkada 2018 dan terus dipelihara untuk tahun 2019," kata Ray dalam diskusi di Jakarta Selatan, Selasa (26/12/2017) seperti dinukil dari detikcom.

Ray menilai politisasi isu SARA lebih berbahaya dari pada politik uang. Sebab isu SARA memiliki efek jangka panjang yang menimbulkan perpecahan. Contohnya adalah Pilkada Jakarta.

"Masyarakat terbelah karena politik SARA, yang itu kita hadapi juga sampai sekarang, setidaknya di politik Jakarta," kata Ray.

Ray menjabarkan politisasi SARA muncul karena ada tindakan yang 'melegitimasi' politik SARA. Kini, belum jelas batas apa yang dilarang dalam isu SARA.

Misal, dalam Undang-undang Pemilu tidak boleh melakukan penghinaan terhadap etnik, agama, kelompok, masyarakat, dan sebagainya.

"Tapi yang disebut dengan penghinaan ini apa, nah ini yang kita belum punya rumusan," kata Ray.

Pengamat politik Exposit Strategic Arif Sutanto menilai, kunci mencegah politik SARA adalah kesadaran di tingkat elite. Jika elite sama-sama sepakat bersaing secara sportif, diharapkan politik identitas yang berpotensi memecah belah bisa ditekan seminim mungkin.

Dalam penggunaan isu SARA, Pilkada Jakarta menjadi 'laboratorium' untuk memainkan politik kebencian berdasar identitas. "Yang dapat untung para elite, tetapi masyarakat sudah berhadap-hadapan," ujar Arif dalam diskusi yang sama.

Arif merunut, sejak 2014, tegangan politik di tingkat elite terus-menerus dipindahkan pada tingkat massa. Politik, kata dia gagal menjadi sarana moderasi konflik, malah mempertajam konflik. Massa diseret dalam konflik perebutan kekuasaan, tapi tak kebagian kekuasaan.

Arif menilai ada tiga sebab kenapa politisasi isu SARA subur. Pertama, kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat. Kondisi ini cenderung membuat politik identitas berkembang, contohnya di Jakarta.

Kedua, masyarakat kurang melek politik dan melek komunikasi.

Dalam urusan melek politik, banyak partai politik yang tidak bisa mengelola konflik dengan baik. Sementara kecerdasan masyarakat cenderung lemah menyikapi masalah tersebut.

Sementara soal melek komunikasi, masyarakat Indonesia kurang bisa membedakan antara opini yang berisi ujaran kebencian dan SARA dengan fakta yang beredar di ruang publik.

"Mereka menyebarkan ujaran kebencian atau isu-isu terkait SARA melalui media sosial dan tanpa literasi komunikasi orang gagal membandingkan opini dan fakta," ujarnya.

Ketiga, buruknya kelembagaan politik. Partai politik cenderung memusatkan kekuasaan di tangan elite. Jika ada konflik, berimbas ke masyarakat.

"Konflik-konflik internal di parpol membawa konsekuensi kalau tidak partainya pecah, kemungkinan masuk ke pengadilan dan berlarut-larut," tandasnya.

Pengawasan isu SARA tak bisa dilakukan sendiri oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini, menilai Bawaslu harus melibatkan semua pihak terkait dalam mengawasi politik SARA.

"Misal Kominfo, Komisi Informasi Publik, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Kemendagri, SKPD pada Pemda, platform media sosial dan media massa," kata Titi seperti dipetik dari Kompas.com.

Bawaslu perlu merangkul pihak-pihak terkait untuk memastikan warga mendapatkan informasi yang berimbang secara cepat.

Jika ada berita bohong (hoax) atau fitnah perlu adanya peringatan agar tak ditelan mentah-mentah. Antisipasi ini perlu untuk menepis isu SARA atau politik kebencian berdasar identitas.

Bawaslu sudah memasukkan ujaran kebencian dan penggunaan media sosial sebagai bagian dari indeks kerawanan pemilu.

Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar menyatakan, ukuran yang dipakai adalah penggunaan media sosial di setiap daerah, apakah banyak yang menggunakannya sebagai sarana untuk menyebarkan ujaran kebencian atau tidak.

Jumat pekan lalu, Bawaslu menekan kerja sama dengan Direktorat Cyber Crime Mabes Polri untuk mengawasi maraknya isu SARA dan kampanye hitam dalam pilkada serentak. Bawaslu juga menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk mengantisipasi penyalahgunaan media sosial.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...-dalam-pilkada

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Pertamina resmi kelola Blok Mahakam per Januari 2018

- Untuk apa internet (cepat)

- Kereta bandara Soekarno-Hatta beroperasi

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
18K
100
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread733Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.