cina.medanAvatar border
TS
cina.medan
Desa dan Etnis Tionghoa
Author by Helmi SupriyantoPosted on 27/12/2017


Persekusi massa baru-baru ini terjadi di Kampung Kadu, Kelurahan Sukamulya, Kecamatan Cikupa, Tangerang. Rasa curiga berlebihan membuat warga setempat melakukan perbuatan brutal dengan mempermalukan sekaligus menganiaya sejoli berinisial R (28) dan M (20). Lantaran berada dalam kontrakan, keduanya dituduh sebagai pasangan kumpul kebo. Tanpa diklarifikasi terlebih dahulu, pasangan muda-mudi tersebut langsung digerebek, diarak, dan ditelanjangi.

Video viral yang beredar menunjukkan bahwa Ketua RT sempat mengeluarkan kalimat bercorak rasisme, “buat contoh orang Cina di wilayah kita”. Kebetulan, korban persekusi merupakan keturunan Tionghoa. Boleh dibilang, aksi sepihak ini menggambarkan besarnya kecurigaan dan rasa benci terhadap siapa saja yang berdarah Tionghoa.

Di negeri ini, sinisme terhadap segala hal yang berbau Chinese senantiasa dirawat dan diwariskan lintas generasi. Bukan hanya di area perkotaan, sinisme juga merasuk hingga wilayah perdesaan. Dari masa ke masa, orang desa meluapkan sentimen ini dengan sebutan berkonotasi negatif bagi “individu bermata sipit”. Padahal, boleh jadi, kebencian terutama disebabkan tingginya rasa iri terhadap kesuksesan Tionghoa serta rendahnya mentalitas bertarung pada diri mereka. Persaingan, bagi orang desa, merupakan hal yang “tabu” dan layak dihindari. Mereka lebih gemar memelihara keharmonisan dibanding menabuh genderang persaingan. Selama ratusan tahun, budaya agraris membimbing mereka untuk mengekalkan kebersamaan sekaligus menjauhi berbagai kompetisi dan rivalitas.



Ada kecenderungan bahwa ketika menghadapi orang Tionghoa, orang desa merasa berkecil hati. Dalam urusan ekonomi, keberuntungan seolah berpihak pada orang Tionghoa. Di mall dan pasar tradisional, orang desa menjadi buruh bagi para majikan Tionghoa. Dari pencapaian inilah, psikologi etnis dengan leluhur asli Tiongkok tersebut semakin terbentuk. Adapun rasa percaya diri orang desa merosot sedemikian rupa. Tanpa disadari, fakta ini seringkali ditepis. Enggan mengakui kekalahan, akhirnya mereka menaruh kecurigaan terhadap Tionghoa berikut anasirnya. Keberhasilan dan kemajuan yang diraih etnis Tionghoa dianggap melalui “jalan kotor”. Julukan “konglomerat hitam” disematkan bagi para penguras kekayaan Indonesia. Dengan kata lain, selalu ada kambing hitam di balik melesatnya perekonomian Tionghoa.

Sejak masa silam, etnis Tionghoa genap menunjukkan kejayaannya. Mereka mengukir prestasi dan kinerja dengan tinta emas. Dalam jagat bisnis, eksistensi mereka benar-benar diakui oleh dunia internasional. Muncul kesadaran bahwa mereka adalah bangsa petarung yang tercipta untuk menguasai diri sekaligus keadaan. Sebagai misal, saat orang desa didera kelaparan, mereka justru menimbun bahan makanan.



Pasca Perang Dunia I, lesunya pasar hasil bumi dan tambang di Eropa mengakibatkan krisis ekonomi melanda Indonesia. Pemecatan para buruh melahirkan pengangguran yang dalam perkembangannya meningkatkan angka kerusuhan dan kejahatan di berbagai tempat. Sebagian besar hasil panen yang dipungut dari sawah dilepas untuk membayar pajak. Sisanya tentu tidak cukup untuk keperluan konsumsi kecuali dengan menunggu hasil panen berikutnya. Imbasnya, di mana-mana kelaparan merajalela. Beras lebih banyak dijual untuk ditukar gaplek atau gabul, yakni ketela kering tanpa gizi yang diperoleh dari gudang-gudang pedagang Tionghoa (Slamet Muljana, 2008: 145-148).

Etnis Tionghoa juga membuktikan kepiawaiannya dalam berdagang. Mereka selalu menjunjung tinggi etos dan semangat entrepreneurship. Pada tahun 1930, mereka membuka kedai di lokasi yang agak ramai untuk melayani konsumen. Lantaran menyediakan segala macam keperluan orang desa, warung-warung bumiputera tidak pernah berkembang dan mampu menyainginya. Orang Tionghoa pandai melihat tempat strategis untuk berjualan. Biasanya mereka memilih tepi jalan besar bersinggungan dengan jalan desa yang mesti dilalui oleh orang desa, baik yang akan pergi maupun yang pulang dari kota. Dengan menawarkan barang dagangan secara eceran atau kredit, mereka mengantongi kepercayaan orang desa yang segera menjadi pelanggannya. Orang Tionghoa yang bermukim di kota-kota kecil atau desa-desa bisa mengakrabi kondisi dan adat kebiasaan serta berkomunikasi dengan bahasa setempat. Kepandaian menyesuaikan diri menjadi modal guna menguasai ekonomi perdesaan.



Slamet Muljana (2008: 118) menyebutkan bahwa para penjual bahan pakaian Tionghoa bertebaran ke sejumlah kampung seraya meminjamkan uang. Dengan berjalan kaki, sekali sepekan mereka berkunjung ke daerah yang ditandai sebagai kawasannya. Bahan pakaian dilepas secara angsuran dengan harga lumayan mahal. Namun demikian, angsuran tidak terlalu memberatkan, sebab orang desa melunasinya lima sampai enam kali. Jika orang desa memerlukan uang untuk acara pesta, orang Tionghoa siap memberikan pinjaman dengan bunga 2 sen setiap rupiah dengan jangka waktu sepekan. Dalam setahun, uang serupiah tersebut kembali 2 rupiah 44 sen. Banyak orang desa mengambil kesempatan itu. Untuk membayar utang, orang desa terpaksa menjual hasil bumi di pasar kepada pedagang kecil yang memperoleh bantuan modal dari pedagang Tionghoa. Hasil bumi berupa beras, kedelai, jagung, kacang tanah, tembakau, dan lain-lain akhirnya jatuh ke tangan para tengkulak Tionghoa.

Dalam gelanggang perniagaan, etnis Tionghoa melesat jauh di depan. Fakta inilah yang semestinya disadari oleh orang desa. Itulah mengapa, daripada sibuk menebar kecurigaan dan memproduksi kebencian lebih baik membekali diri dengan berbagai kiat mengejar ketertinggalan. Keberadaan Etnis Tionghoa di negeri ini bukan ancaman melainkan pesaing yang layak ditumbangkan. Generasi muda harus diajak memupuk jiwa kewirausahaan dengan senantiasa mengembangkan potensi dan motivasi berbisnis. Mentalitas dan pemikiran priayi yang menyingkirkan diri dari panggung entrepreneurship mulai ditinggalkan. Kemunduran bangsa ini antara lain dikarenakan aktivitas menuding dan mencari kambing hitam lebih menyenangkan dibanding merenungi kesalahan.

Oleh : Riza Multazam Luthfy Peneliti Desa. Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta

Miris bre...
0
10.7K
89
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.