Suatu senja dikala tetesan air hujan masih dengan setia mengguyur bumi dengan bulir-bulir mungilnya, puluhan mobil dinas yang berada di kompleks parlemen tempat para anggota yang terhormat bekerja, terlihat mangkrak dan lusuh.



Saya ulangi lagi, puluhan. Bukan satu atau dua kendaraan. Dan sebagai pengingat memori kita yang sering lalai, atau sibuk bekerja diluar batas kemampuan manusia, puluhan kendaraan itu bukan dibeli dari hasil patungan para anggota dewan.

Seperti patungan yang saya lakukan jika ada rekan kantor yang sedang sakit, atau keluarganya tertimpah musibah.

Tapi menggunakan keringat saya, anda, dan kita, melalui sejumlah pajak yang dibayarkan.



Sementara, kondisi berbeda 360°, dialami oleh sejumlah siswa, yang kebanyakan dari mereka tinggal di daerah. Ada apa dengan mereka?



Situasi yang terjadi sangat kontradiksi. Tak usahlah membahas atau mengurai seberapa fasilitas dan kenyamanan yang dimiliki oleh anggota dewan yang terhormat.

Jika saya menghitung dengan menggunakan kalkulator bertenaga baterei milik emak saya yang biasa dipakai untuk bertransaksi dipasar, niscaya, rusak deretan angka disana.

Namun, mari kita buka sedikit mata hati melihat bagaimana tekad anak-anak dipedalaman, terkadang harus bertaruh nyawa demi untuk dapat berangkat ke sekolah.



Saya kembali merenung dan seakan mati nalar dengan keadaan yang jelas terpampang didepan mata.

Bagaimana bisa gaya hidup hedonisme masih saja menjangkiti sebagian besar mereka yang diharapkan menjadi penyambung lidah rakyat jelata?



Bayangkan saja, berapakah estimasi dari dana yang dikeluarkan untuk mobil dinas? Atau adakah alasan pembenar bahwa mereka butuh rasa nyaman agar dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya?



Mungkin, andai puluhan mobil yang ada dibelakang gedung parleman itu digunakan sebagaimana mestinya, saya yakin, rakyat yang sudah sedemikian apatis masih bisa menerima meski dengan keluh kesah yang tersimpan didalam dada.

Sayangnya, kenderaan itu tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Miris, ironis, tapi itulah faktanya.



Bukankah badan penganggaran ditempati oleh orang-orang hebat? Mereka bisa mengkalkulasi kebutuhan secara detail?

Mungkin, daripada sibuk membenahi sarana transportasi agar jalanan menjadi layak dilalui, dan anak-anak yang berangkat ke sekolah tak harus mempertaruhkan nyawanya, para anggota dewan lebih senang mengoleksi arloji richard mille, atau minimal merk channel?



Adakah yang bisa membantu mengurai kondisi yang kontradiksi ini? Atau memang demikian yang harus diterima oleh sebagian besar rakyat jelata? Berkubang dengan masalah? Sementara disenayan memiliki perwakilan rakyat yang hanya turun kebawah menjelang pemilu sahaja?



Semoga semua ini segera berubah. Karena saya masih percaya, tak ada badai yang tidak berakhir. Seperti pesta yang pasti juga akan berakhir.

Dan sebentar lagi musim kampanye datang, sementara musim hujan pun masih setia untuk bertandang.

Jaga kesehatan baik-baik, terutama golongan yang memiliki sakit diabetes. Sebab, janji manis kampanye, sering membuat kita terseret dalam retorika indah dan jarang yang menjadi realita. Tentu saja, itu akan menambah luka bagi rakyat jelata!

Sebagai penutup dari tulisan ini, apakah yang sekolah diperkotaan masih suka mengeluh dengan keadaan? Padahal banyak fasilitas yang mudah didapatkan? Atau masih suka berangkat terlambat saat pergi kesekolah?



©Skydavee...

Sumber gamber: google
Referensi:
1. https://news.detik.com/berita/d-3771...harus-dilelang
2. http://news.detik.com/read/2017/12/0...hingga-karatan

Noted:
Foto yg saya lampirkan adalah sebagai ilustrasi saja. Saya yakin beberapa daerah sudah memperbaiki aksesnya, terutama yang saya cantumkan sebagai ilustrasi. Namun, saya juga berkeyakinan ada daerah lain yang lebih ekstrem namun belum terpantau.
Terimakasih.