bpln.bossAvatar border
TS
bpln.boss
Apakah Hubungan Seksual di Luar Pernikahan Perlu Dipidana?


JAKARTA, - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi tiga pasal terkait kejahatan kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai reaksi beragam dari masyarakat.

Tuduhan melegalkan zina yang disebabkan ketidakpahaman atas putusan MK itu beredar di media sosial.

MK sendiri telah memberikan penjelasan bahwa majelis hakim tidak memiliki kewenangan untuk membentuk norma hukum pidana baru.

Dalam konteks uji materi pasal 284 KUHP, pemohon meminta MK menafsikan perbuatan zina yang dilakukan dua orang tanpa ikatan perkimpoian atau hubungan seksual di luar nikah dapat dipidana.

Artinya secara substansial, pemohon meminta MK merumuskan tindak pidana baru yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang, yakni Presiden dan DPR.

Sebenarnya perbuatan yang dinilai tercela dalam norma sosial dan agama di Indonesia perlu dikategorikan sebagai tindak pidana atau tidak?

Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, dalam pembahasan revisi KUHP di DPR, perluasan pasal zina juga masih menjadi perdebatan antar-fraksi.

Sejumlah fraksi mendorong agar perbuatan zina, meski dilakukan atas dasar suka sama suka, dapat dipidana.

Namun menurut Supriyadi, jika ketentuan tersebut disetujui justru akan memperumit tatanan hukum pidana. Sebab tindakan yang dapat dipidana mensyaratkan adanya korban.

"Kalau konteksnya zina atas dasar suka sama suka, siapa korbannya? Kalau misalnya ketentuan zina diperluas maka harus jelas siapa yang dirugikan. Nah ini yang menjadi perdebatan. Apakah misalnya ada dua orang yang melakukan zina tanpa dasar paksaan, maka siapa yang dirugikan? Di dalam konteks inilah saya melihat betapa kompleksnya jika pasal zina ini diperluas," ujar Supriyadi saat dihubungi, Senin (18/12/2017).

Delik Aduan

Di sisi lain, lanjut Supriyadi, jika pasal zina diperluas maka hal itu akan menghilangkan sifat delik aduan.

Dengan demikian aparat negara memiliki kewenangan untuk melakukan proses hukum tanpa ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan atas suatu perbuatan zina.

Implikasinya, negara berhak mengintervensi ranah privat seluruh warga negaranya.

"Jadi kalau delik aduan hilang maka kewenangan terbesar adalah kewenangan penegakan hukum. Ada intervensi luar biasa dari aparat penegak hukum," tuturnya.

Supriyadi tidak menyanggah pendapat sebagian besar masyarakat yang menilai perbuatan zina, berdasarkan norma sosial dan agama, adalah perbuatan tercela.

Meski demikian ia berpendapat, tidak semua perbuatan tercela perlu dikategorikan sebagai tindak pidana.
Advertisment

Ia menegaskan bahwa hukum pidana tidak bisa diposisikan sebagai solusi dalam membenahi persoalan sosial, melainkan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir, jika institusi sosial seperti lembaga pendidikan tak lagi berfungsi.

"Iya memang kalau dilihat dari norma agama perbuatan zina itu salah, di agama manapun. Tapi ini hukum pidana persoalannya. Hukum pidana seharusnya menjadi langkah terakhir atau ultimum remedium. Tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama itu otomatis menjadi suatu tindak pidana," kata Supriyadi.

"Misalnya kita memaki orang tua, apakah otomatis itu perbuatan pidana, masuk penjara? karena semua agama menyatakan kalau tidak hormat pada orang tua adalah sebuah dosa.

Syarat Khusus

Menurut Supriyadi, dalam merumuskan suatu tindak pidana harus ada syarat-syarat khusus yang harus dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. Ia menegaskan bahwa harus ada pertimbangan dalam merumuskan tindak pidana baru.

"Harus ada pertimbangan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Seperti dalam putusan MK kemarin, Harus ada pertimbangan yang jelas dalam mengatur suatu tindak pidana baru. Bukan hanya karena semangat golongan," ujar Isnur.

Dalam putusannya MK mencantumkan hasil Simposium Pembaruan Hukum Nasional di Semarang pada bulan Agustus 1980 yang menyatakan, untuk menetapkan kebijakan kriminalisasi perlu diperhatikan kriteria umum.

Pertama, apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau dapat mendatangkan korban.

Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.

Ketiga, apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.

Keempat, apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.

"Pemidanaan seharusnya sesuai dengan dokrin-doktrin yang tercantum dalam putusan MK," kata Isnur.

http://nasional.kompas.com/read/2017...erlu-dipidana-
0
37.1K
459
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.2KThread40.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.