Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

cumi.9.tahunAvatar border
TS
cumi.9.tahun
Dalih 'Menghindari Zina': Perkimpoian Anak Malah Bikin Melarat
Bukan meringankan ekonomi keluarga, anak perempuan yang (dipaksa) menikah sebelum usia dewasa rentan mengalami KDRT dan terpaksa bekerja tanpa keterampilan.

tirto.id - Nina memandang horizon Pantai Karangsong. Tak ada apa-apa. Saat siklon tropis begini, mustahil ada kapal yang berani merapat. Suaminya, Wasdi, yang merupakan ABK Andora, sebuah kapal nelayan ikan tangkap, dipastikan pulang beberapa bulan ke depan.

Ingatan perempuan 38 tahun ini terlempar pada peristiwa dua puluh tiga tahun lampau.

“Nok,” ujar Amunah dengan sapaan sayang kepada anak perempuan, “ada pria yang mau melamar. Dia dari kampung sebelah. Orang kaya.”

Saat itu Nina masih SMP dan bersiap menghadapi ujian.

Amunah rungsing lantaran pihak sekolah terus merongrongnya untuk segera membayar iuran pendidikan. Kalau tidak, Nina, anak keduanya, tak bisa ikut ujian. Di sisi lain, sang anak pertama yang bekerja sebagai buruh migran tak pernah berkabar selama sepuluh tahun. Tawaran pria kampung sebelah kemudian menjadi angin segar bagi masalah rumah tangganya saat itu.

Sebulan setelah tawaran itu datang, Nina menikah. Pernikahan sederhana. Hanya dihadiri keluarga Nina, saksi, dan seorang lebe—istilah setempat untuk penghulu—yang bertugas menikahkan kedua mempelai.

Nina, yang baru mengalami menstruasi pertama, gentar menghadapi rumah tangga yang akan dijalaninya. Suaminya, Safrudin, berumur hampir tiga kali lipat dari usia Nina dan sudah memiliki seorang anak dari pernikahan sebelumnya.

Lantaran pernikahan itu, Nina harus menanggalkan seragam sekolah dan menjadi ibu rumah tangga. Hari-hari pernikahannya diisi dengan mengasuh sang anak tiri yang sudah memasuki usia TK.

“Padahal saya masih ingin sekolah waktu itu. Tapi mau gimana? Ekonomi keluarga sedang sulit sekali. Dan suami saya ini menjanjikan banyak hal secara materi,” ujar Nina, akhir November lalu, kepada saya.

Janji tinggallah janji. Selama menikah, ia hanya dinafkahi Rp25 ribu per bulan. Belum termasuk bonus kemarahan dari sang suami jika tak becus mengurus pekerjaan rumah tangga.

“Saya merasa lebih seperti pembantu ketimbang jadi istri,” kata Nina.

Tak kuasa menghadapi perlakuan sang suami, Nina kabur ke rumah orangtuanya. Badannya demam tinggi. Setelah diperiksa dokter, diketahui bahwa vaginanya mengalami infeksi. Diagnosis dokter, tubuh Nina belum siap melakukan hubungan seksual. Kendati menurut pengakuan Nina, ia tak mendapat kekerasan seksual dari suaminya.

“Saya menyesal sekali menikahkan Nina waktu itu,” ujar Amunah.

Enam bulan setelah pernikahan, Nina bercerai.

Meski sebenarnya masih bisa kembali ke bangku sekolah, Nina sungkan. Ia malu bertemu teman-temannya karena menyandang status janda. Ia pun memilih bekerja sebagai buruh migran. Lantaran sudah pernah menikah, ia dianggap memenuhi syarat kendati masih di bawah umur 18 tahun.

Tetapi pengalamannya bekerja sebagai buruh migran tanpa keterampilan yang memadai membuatnya pindah-pindah negara. Nina bilang, “karena pintar-pintarnya jasa penyalur TKI,” ia bisa bekerja ke luar negeri. Saat bekerja pun ia merasa cemas karena ilegal.

“Menclok-menclok kerjanya. Habis dari Abu Dhabi, enggak tahu ke mana, bahkan nama negaranya saja enggak tahu, lalu pindah lagi, terakhir ke Oman. Saya enggak bisa baca tulisan Arab. Di Oman pun saya akhirnya dipulangin,” kata Nina.

Dipaksa Menikah buat "Menghindari Malu"


Ardham dan Ive—keduanya 16 tahun—hanya saling menatap sambil tersipu malu saat saya menanyakan perihal pernikahan mereka.

“Kami bertemu di Facebook,” ujar Ive, masih dengan senyum malu-malu.

Tak lama setelah berkenalan pada 2015, mereka memutuskan untuk berpacaran. Satu waktu, Ive pulang larut. Ia takut jika pulang ke rumahnya akan dimarahi. Akhirnya, ia memilih menginap di tempat Ardham.

Mengetahui hal itu, orangtua Ive memaksa Ardham untuk segera menikahi anak gadisnya.

“Daripada bikin malu,” ujar Ive mengulang ucapan ayahnya.

“Padahal kami enggak ngapa-ngapain,” timpal Ardham.

Sehari setelah desakan itu, esoknya pernikahan langsung digelar di kediaman Ive di Desa Krasak, Kecamatan Jatibarang—sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan ke arah Cirebon, masih di kawasan Indramayu. Pernikahan dilangsungkan malam hari, dan di bawah tangan karena keduanya masih di bawah umur.

Kehidupan selanjutnya bisa ditebak: Keduanya meninggalkan bangku sekolah.

Sehari-hari Ardham hanya membantu ibunya menjaga warung, sementara Ive membantu sang nenek berjualan penganan sarapan. Kebutuhan sehari-hari mereka pun masih sepenuhnya ditanggung orangtua mereka.

Ardham, yang sekarang menjadi kepala rumah tangga, sempat mencoba peruntungan dengan merantau ke Jakarta sebagai kuli panggul galon air kemasan. Namun itu hanya beberapa minggu. Ia kembali ke kampung.

“Enggak kuat. Fisik saya, kan, masih kecil. Mana disuruh-suruh terus. Mentang-mentang saya masih kecil,” keluh Ardham.

Kini keduanya bersiap menyambut anak pertama mereka, yang rencananya lahir pada Februari tahun depan. Mereka juga masih menunggu waktu mencatatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama begitu memasuki usia 17 tahun.

https://tirto.id/dalih-039menghindar...n-melarat-cBJM

Terlahir miskin dan bodoh salah siapa? Agama???
0
4.5K
70
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.8KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.