Masalah agama, nasionalisme dan komunisme masih tetap akan dipakai pada Pemilihan Presiden 2019, termasuk kepada presiden Joko Widodo, kata pengamat militer, Soleman Ponto.
"Sekarang ini kan sedang, seperti nasionalisme, agama dan komunisme bertempur. Bagaimana Pak Jokowi itu dianggap, wah PKI, seorang komunis. Dia dianggap sebagai seorang yang anti agama.
"Kalau yang namanya mencari dukungan, itu kan segala cara. Saya tidak yakin itu dia punya data yang kuat tentang ini. Tetapi karena ini dipakai sebagai alat, sebagai alat apa aja bisa dipakai," lanjut Soleman yang mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Tetapi pada bulan Agustus lalu, Wahid Institute menyebutkan 11 juta orang bersedia melakukan tindakan radikal, 0,4% penduduk Indonesia pernah bertindak radikal dan 7,7% mau bertindak radikal jika memungkinkan.
Tindakan radikal -dalam bentuk mengkafirkan, ujaran kebencian, menolak orang yang tidak beriman menjadi pejabat tinggi negara- dapat menjadi semakin besar pengaruhnya karena ditularkan ke lingkungan sekitar, kata pengamat politik Donny Gahral Adian.
"Bagaimana pengaruh mereka terhadap lingkungan sekitar mereka. Kalau mereka ayah, ke istrinya, ke anaknya, ke teman kantornya, teman peer group-nya. Nah itu sebenarnya bagaimana radicalism bisa menyebar melalui jaringan-jaringan, apakah kekerabatan, atau sosial, bisnis," kata pengamat dari Universitas Indonesia ini.
Pilkada Jakarta cerminan Pilpres?
Sebagian orang memandang pihak-pihak yang melancarkan tuduhan-tuduhan tersebut bisa diketahui lewat apa yang terjadi pada Pilkada Jakarta, berdasarkan indication and warning intelijen, meskipun indikasi dan peringatan tersebut tetap bukanlah suatu kepastian, kata Soleman.
"Bagaimana kasus gubernur Jakarta kan, pak Ahok ini, bagaimana gertaknya penggunaan SARA ini dipakai. Nah yang tidak diharapkan adalah situasi pemilihan gubernur Jakarta ini dibawa menjadi pada saat Pilpres 2019," kata Mayjen (purn) Soleman.
Pihak-pihak ini bisa saja pesaing terdekat Jokowi, Prabowo Subianto, pendukung mantan presiden Suharto atau siapa saja yang berkepentingan ingin memenangkan pemilihan presiden, tambahnya.
Pengamat intelijen, Muchyar Yara, memandang radikalisme agama, nasiolisme dan komunisme hanyalah dipakai saja, tetapi tidak terlalu berpengaruh.
"Itu dibuat. Bisa juga hilang sekejap, bisa juga muncul dengan tiba-tiba, issue-issue seperti komunisme, nasionalisme, agama. Itu tergantung kemampuan dan kekuatan pihak-pihak yang me-manage issue-issue tersebut. Dan itu berpulang kembali kepada, dalam situasi sekarang ini, dengan kemampuan uang, " kata mantan pejabat BIN dan Partai Golkar ini.
Investasi dan pekerja asing
Radikalisme nasionalisme adalah salah satu hal yang tetap dipakai dalam memenangkan Pilpres 2019. Apakah itu terkait dengan afiliasi politik ataupun ekonomi.
Topik pekerja atau investasi asing, seperti tambang Freeport di Papua dan pekerja dari Cina akhir-akhir ini kembali muncul.
"Nasionalisme yang diusung oleh pak Jokowi, itu bukan nasionalisme yang tertutup, menjadi ultra nationalisme anti asing. Foreign investment welcome to Indonesia as long as itu menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menyumbang terhadap penerimaan negara, itu pada akhirnya dipakai untuk rakyat," kata pengamat Donny Gahral Adian.
Muchyar Yara juga setuju nasionalisme tetap mempengaruhi pemilihan presiden 2019.
"Menurut saya iya. Menurut saya iya begitu. Dan sepanjang sejarah yah di Indonesia, mungkin hanya Gus Dur yang berhasil menjadi presiden mewakili platform politik Islam. Itupun beliau dianggap sangat toleran. Jadi umumnya nasionalis yang biasanya bisa lebih diterima."
Yerusalem, Palestina
Pandangan para calon Pilpres 2019 terkait dengan keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memandang Yerusalem sebagai ibukota Israel juga dianggap penting para pemilih. Soleman memandang kebijakan luar negeri pemerintah Jokowi yang memihak Palestina dianggap penting mayoritas rakyat Indonesia.
"Sasaran tembak yang, apa sekarang terjadi pada rakyat Palestina, kalau beliau nanti kurang, masih dianggap kurang effort nya, itu akan jadi masalah," kata Ponto.
Pada hari Rabu (13/12) di KTT Organisasi Kerja sama Islam di Istanbul, Turki, Presiden Jokowi secara tegas menolak pengakuan Trump tersebut.
Respon tanggap dan tegas Jokowi dipandang positif terkait dengan Pilpres 2019, pandang pengamat politik Donny Gahral Adian.
"Cukup positif karena dia langsung merespon bahwa menolak Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dia dalam posisi bahwa dispute antara Palestinians dan Israel itu perlu diselesaikan dengan cara-cara yang lebih civilised," katanya.
Siapa pemenang?
Jadi siapa yang diperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden? Hal-hal apa yang penting untuk diusung agar mengungguli persaingan?
Posisi petahana, dukungan terhadap UUD 1945, Pancasila dan keberagaman adalah faktor-faktor penentu, menurut pengamat Soleman Ponto.
"Walaupun dia sudah sebagai incumbent, dia harus tetap bisa memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa beliaulah, masih dalam tangan beliau Indonesia masih bisa berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila dengan keberagamannya," kata Mayjen Ponto.
Selain faktor petahana, jumlah dana dan kemampuan mengelolanya, menentukan tokoh yang akan menjadi presiden Indonesia, kata pengamat Muchyar Yara.
"Kalau soal dana, kita sekarang ini tidak bisa menghitung secara jelas. Di Indonesia ini kan hanya pelaporan saja ke KPU dan KPU tidak punya akses yang kuat untuk bisa menelusuri. Namun secara umum yang namanya petahana pasti banyak dapat support," Muchyar menjelaskan.
Salah satu medan persaingan politik yang penting akhir-akhir ini adalah media sosial. Tetapi saat ini masih belum jelas pihak yang akan meraup keuntungan dari mempengaruhi pemakai Facebook atau medsos lainnya, kata Donny Gahral Adian.
"Pertarungannya masih cukup ketat karena social media itu kan cair, apapun bisa terjadi, satu issue di viral kan, itu seolah-olah menjadi kebenaran. Orang gampang percaya terhadap sesuatu yang sebenarnya fake news, sesuatu yang sebenarnya hoax, sesuatu yang sebenarnya tidak benar," kata Donny Gahral Adian dari UI.