- Beranda
- Stories from the Heart
Elegi Rumah Panggung
...
TS
m.s.aswadi
Elegi Rumah Panggung

Aku sudah tak sabar lagi untuk sampai di rumah yang berada di ujung jalan sana. Rumah panggung. Berdebar hatiku. Tak menentu apa yang kurasakan. Sedih bercampur bahagia.
Tinggal beberapa meter lagi aku sudah sampai di rumah itu. Hatiku makin tak tentu. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku menarik nafas sangat dalam. Tak mampu kubayangkan apa yang akan terjadi, setelah delapan tahun tak bertemu dengan mereka. Setelah masalah itu meledak sejadi-jadinya. Aku tak tahu harus bagaimana. Air mataku pun telah kering. Menangisi kesia-siaan. Entahlah.
Tanpa kusadari, aku telah berada di halaman depan rumah mereka. Tak ada yang berubah. Masih tetap sama seperti delapan tahun lalu. Pohon nangka yang berada di pojok kanan halaman masih berdiri kokoh, tatanan bunganya pun tak banyak yang berubah, dan satu yang masih ku ingat pasti, bunga matahari itu. Makin berdebar jantungku. Makin tak tentu hati ini. Ragu-ragu aku membuka pintu mobilku. Tanganku terasa berat.
Dari halaman terdengar suara-suara anak kecil yang sedang bermain. Suara mereka sangat nyaring dan begitu riang. Sekarang rumah ini begitu ramai. Hatiku makin berdebar. Aku ragu untuk masuk ke dalam. Kakiku terasa berat menaiki anak tangga menuju pintu utama. Aku semakin gugup. Tulangku terasa ngilu. Tak mampu ku gerakkan. Sendi-sendiku tiba-tiba menjadi kaku. Tapi aku tak boleh mundur. Aku harus menyelesaikan masalah yang telah menyesakkan dadaku lima tahun belakangan ini. Hatiku pedih.
Aku menguatkan hati. Setiap satu anak tangga kulalui dengan hati-hati. Sekarang aku berada di anak tangga ke-8, tinggal 4 anak tangga lagi. Hatiku makin berdebar. Di anak tangga ke-10 aku berhenti, mengambil nafas. Begitu berat. Aku sempat berfikir untuk kembali ke mobil dan ku tancap gas meninggalkan rumah ini. Namun hatiku terus menguatkan agar tidak mundur.
***
Delapan tahun lalu sebelum malam yang mendebarkan ini...
Aku setengah berlari menaiki tangga rumah panggung ini. Seperti biasa aku begitu riang setiap kali berkunjung. Aku begitu kaget ketika melihat ayah dan ibuku berada di ruang tamu sedang berbicara serius dengan pemilik rumah ini.
Mereka tidak pernah ke sini sebelumnya. Sekelebat pertanyaan pun memenuhi batok kepalaku. Apa yang mereka lakukan di sini?.
Seperti embun di pagi hari yang hilang bersama munculnya sang mentari. Tak berbekas. Begitu pengandain yang pas, setelah ku tahu kedatangan orang tuaku untuk melamar gadis itu untuk kakakku. Aku betul – betul tak mengerti.
Orang tuaku tahu, kami selau bersama sejak SMA. Berjuang bersama meraih gelar sarjana, lalu menikah dan akan bersama – sama melanjutkan kuliah ke Belanda.
Tinggal menghitung hari resepsi pernikahan mereka berlangsung, aku berkunjung kembali ke rumah itu. Aku ingin berpamitan, untuk pergi ke Belanda. Melanjutkan kuliah S2, mewujudkan mimpinya yang mungkin tidak bisa lagi ia tunaikan. Sungguh berat, apalagi melihat mata sendunya.
Tatapannya penuh makna, seakan meminta banyak hal padaku.
Gadis itu menemaniku di meja makan, walaupun ia sama sekali tak berminat untuk makan. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami, walaupun hanya berdua di meja ini.
Hari itu aku memberinya bunga matahari serta pot yang ku buat khusus. Hadiahku padanya sebelum aku pergi. Aku memintanya merawat baik-baik bunga itu. Ia terus memandangiku saat aku berpamitan. Ayah dan ibunya memelukku. Adik kembarnya pun ikut memelukku. Gadis itu terus menatapku saat menuruni tangga rumahnya. Hari itu juga aku berangkat ke Belanda.
***
Aku kembali mengambi nafas, kakiku semakin berat meniti dua anak tangga terakhir. Terdengar dari dalam suara anak perempuan meminta ibunya menyanyikan sebuah lagu, disusul protes dari dua anak laki-laki yang sangat kompak. Mereka meminta ibunya untuk membacakan sebuah buku dongeng.
Tanpa kusadari aku sudah berada di depan pintu. Aku bersiap mengetuk pintu. Tapi tanganku tak bisa digerakkan. Sendi-sendiku kembali ngilu. Jantungku berdetak sangat cepat. Aku kembali ragu.
Namun hatiku terus menyemangati.
Aku kembali bersiap-siap mengetuk pintu. Ku ayungkan tanganku sekuat tenaga. Tapi terasa berat untuk mendaratkannya pada pintu ini. Angin kemudian berhembus, namun anehnya pintu itu ikut terbuka. Celaka. Ternyata pintunya tidak terkunci sama sekali. Pintu pun sekonyong-konyong terbuka sempurna. Sontak seisi ruangan tamu menoleh ke arah pintu dan mendapatiku berdiri kaku.
Beberapa detik suasana hening, mereka menatapku sangat heran. Aku kikuk. Lalu dengan ragu dan setengah gemetar berkata Assalamualaikum...
anasabila memberi reputasi
1
925
4
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya