Jakarta - Proyek-proyek infrastruktur pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap masih membebani keuangan negara lantaran proyek infrastruktur yang bernilai ribuan triliun rupiah itu masih belum rampung dan belum memberikan dampak nyata terhadap penerimaan negara dalam jangka pendek atau menengah ini.
Bahkan, dampak gencarya pembangunan belum dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Demikian diungkapkan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati dalam Diskusi Ngopi Bareng Dari Sebrang Istana di Restoran Ajag Ijig Jalan Juanda, Jakarta, Kamis (23/11/2017).
"Pembangunan infrastruktur kita memang punya timeline. Tapi enggak serta merta langsung memberikan efek. Kalau kita lihat sampai triwulan tiga kemarin, memang ada perbaikan PNBP yang tumbuh 5%, tapi ternyata setelah kita lihat, belanja modal yang tumbuh kemarin itu adalah penjualan alat-alat berat untuk membangun infrastruktur, bukan belanja modal yang support di sektor rill kita. Artinya sektor produksi kita di triwulan empat akan tetap stagnan," ungkapnya.
Proyek-proyek infrastruktur pemerintah kembali gagal memberikan multiplier effect ke masyarakat lantaran sejumlah penugasan diberikan ke BUMN dalam membangun infrastruktur. Penugasan itu kemudian dianggap membuat BUMN hanya berpikir bagaimana mengerjakan proyek itu dengan efisien dan tidak memikirkan efek jangka panjang.
"Artinya mereka enggak berpikir jangka menengah panjang, bagaimana proyek itu bisa berkesinambungan. Terkait business planning korporasi yang bersangkutan. Artinya mereka akan cari cara-cara yang instan," tutur Enny.
"Kalau kita lihat di 2017 semester I, kita banyak mengerjakan proyek infrastruktur, tapi kita terjadi over suplai semen. Dan tidak ada satu baja pun dari dalam negeri. Karena apa? Karena mereka cari jalan instan. Yang murah impor. Ini yang akhirnya percepatan proyek infrastruktur tidak punya multiplier effect dalam jangka pendek. Karena semua capital insentive, apalagi disupport dari barang-barang impor," jelasnya.
Enny mengakui pembangunan infrastruktur diperlukan karena posisi Indonesia sendiri sudah ketinggalan cukup jauh. Sementara di satu sisi penerimaan pajak masih kurang untuk membiayai proyek-proyek tadi, maka jalannya adalah dengan berutang. Namun perlu ada pemilihan proyek prioritas yang dibiayai oleh utang untuk bisa memberikan percepatan dalam pembiayaan utang tadi.
"Setelah pemerintah tambah utang lagi, mestinya ini harus diprioritaskan untuk pembiayaan infrastruktur yang bisa refinancing, supaya tidak menambah beban defisit keseimbangan primer (kemampuan pemerintah dalam pengeluaran dan pendapatan). Dengan kata lain, proyek proyek infrastruktur pemerintah minimal bisa refinancing, tidak gali lubang tutup lubang," pungkasnya. (eds/dna)
Sumber