Suasana kawasan Monas yang terlihat dari Gambir, Jakarta, Selasa (14/11). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memastikan akan mengubah peraturan gubernur terkait larangan kegiatan di Monas.
Pergantian kepemimpinan Jakarta dari tangan Ahok ke Anies mulai terasa dengan pergantian kebijakan. Gubernur Anies Baswedan, mulai merevisi beberapa kebijakan yang tak selaras dengan janji kampanyenya.

Salah satunya, Anies akan memperbolehkan kawasan Monumen Nasional (Monas) dipakai untuk kegiatan keagamaan, mulai Minggu (26/11/2017).

"Kami akan menyelenggarakan kegiatan hari Ahad dengan mengadakan tausiah kebangsaan dilaksanakan Minggu malam di Monas," kata Anies, Minggu (19/11/2017) seperti dikutip dari Merdeka.com.

Saat Ahok jadi Gubernur, dia melarang berbagai kegiatan yang mengundang PKL ke Monas. Ahok membuat SOP Pemanfaatan Area Monas Nomor 08 Tahun 2015.

Larangan yang dibuat Ahok mengacu pada Keppres Nomor 25 Tahun 1995, SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 150 Tahun 1994, diperluas pada SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2014.

Untuk kegiatan keagamaan, Ahok kala itu menyarankan dilakukan di Masjid Istiqlal yang juga luas.

Apa pertimbangan hukum Anies membuka kawasan Monas untuk kegiatan keagamaan? Anies enggan mengungkapkannya. Ia berdalih, enggan mengungkap dasar hukumnya sebelum ada gambar dan konkret perencanaannya.

"Jadi, kita bisa komunikasikan dengan baik tanpa menimbulkan salah paham," ujar Anies di Balai Kota Jakarta, Selatan, Senin (20/11/2017) seperti dipetik dari Kompas.com.

Anies mengaku, tidak ada pergantian Peraturan Gubernur untuk membuka Monas bagi kegiatan di luar acara kenegaraan. Dia mengaku hanya menambahkan beberapa hal sehingga mulai pekan depan Monas kini bisa digunakan untuk kegiatan masyarakat.

"Tidak ada (penggantian pergub) cuman penambahan aja. Kalau kemarin digunakan untuk acara kenegaraan dan lain-lain, sekarang ditambahkan boleh acara kebudayaan pendidikan, dan keagamaan," kata dia.

Cendekiawan Perempuan Muslim, Lies Marcoes menilai kebijakan Anies hanya untuk memenuhi janji kampanye pada Pilkada DKI Jakarta lalu. Lies menilai, kebijakan ini sangat normatif, tanpa mempertimbangkan relasi kuasa dalam masyarakat.

Kekhawatiran Lies, ruang ini akan dimanfaatkan oleh salah satu kelompok saja. "Jadi menurut saya itu membahayakan, "ujar Lies kepada BBC Indonesia, Selasa (14/11/2017).

Sembilan tahun lalu, aksi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monas, diserang massa beratribut Front Pembela Islam (FPI)

Menurut Lies, sebagai ruang publik, Monas seharusnya tidak digunakan untuk kepentingan primordial keagamaan kecuali seluruh elemen masyarakat berada dalam posisi setara.

Saat ini, tidak cukup akomodatif untuk itu sehingga dikhawatirkan alih-alih golongan mayoritas justru semakin diskriminatif terhadap minoritas.

Lies menegaskan, sebelum melaksanakan kebijakan ini, pemerintah harus bisa menjamin penggunaan Monas ini bisa diakses oleh semuanya, termasuk kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.

"Kalau kelompok Ahmadiyah mau menyelenggarakan di situ harus ada jaminan bahwa Ahmadiyah tidak akan diapa-apain. Kalau teman-teman (beragama Kristen) akan menyelenggarakan kegiatan keagamaan di situ harus ada jaminan terlebih dahulu. Jadi itu bersyarat, aksesnya harus terjamin dulu."

Kalau jaminan keamanan itu belum bisa dipenuhi, maka Monas belum bisa menjadi ruang publik. "Menurut saya, biarkan itu menjadi ruang publik yang tidak terkait dengan isu-isu primordial keagamaan," kata Lies.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...bagi-minoritas

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Setnov berencana bawa rombongan Golkar

- Kembalinya program pengampunan pajak

- Setnov ditahan setelah dua babak status tersangka