Mungkin Kaskuser tidak mengira kalau Kota Banda Aceh akan memenangkan Kategori Kota Milenial dalam gelaran Kota Pilihan 2017. Bahkan, pemenang versi Kaskuser untuk kategori ini jatuh pada Kota Denpasar dengan 229 dukungan, sementara Banda Aceh berada di peringkat kelima dengan 53 dukungan dari total 777 peserta. Penentuan Banda Aceh sebagai Kota Milenial dinilai berdasarkan perhitungan olah data dan pemeringkatan skor dari mikro data Susenas BPS 2016.

Kita bisa jadi tidak memperhitungkan Banda Aceh karena penerapan pelaksanaan hukuman Perda Syariah hingga larangan tertentu bagi kaum perempuan. Sejak disahkannya Perda Syariat Islam pada September 2014, Aceh dalam sejumlah pemberitaan diidentikkan dengan hukuman cambuk hingga pelaksanaan norma keislaman dan nyaris mengubur aktivitas lainnya.

Padahal, sejak damai bersemi di Serambi Mekkah pada Agustus 2005, mulai lahir kelompok-kelompok dan komunitas yang menjadi wadah anak muda untuk berkreasi. Lahirnya komunitas-komunitas kreatif menandai kebangkitan kreativitas anak muda di Aceh.

Contohnya NBC, komunitas breakdanceyang didirikan Nainunis atau Nai (30), pemuda asal Padang Tiji, Kabupaten Pidie sejak 2008. Setelah mempelajari tarian hip hop ini selama empat tahun di Depok, Nai kembali ke kota asalnya untuk mendirikan Nanggroe Break Cypherz (NBC) yang menjadi bagian dari Hip Hop NAD Syndicate bersama teman-temannya.

Sejak awal didirikan, NBC harus menghadapi berbagai pertentangan dari masyarakat setempat, bahkan hingga dilarang untuk latihan di Taman Budaya. NBC dicap sebagai grup yang tidak sesusai dengan seni tradisional Aceh.




Nai tidak menyerah dalam usahanya untuk menaikkan nama Aceh dalam dunia breakdance. NBC menggabungkan penampilan mereka dengan sesuatu yang berbau tradisi setempat. Pendekatan yang Nai lakukan ini membuat masyarakat sekitar mulai menerima keberadaan mereka. Pada akhirnya, mereka sering membuat acara festival breakdancedalam skala nasional dan juga dihadiri komunitas dari luar negeri. Sayangngya, walaupun NBC sudah bergandengan dengan masyarakat, sampai saat ini belum ada perhatian serius dari pemerintah.

Lain cerita dengan komunitas Aceh Documentary Competition (ADC) yang diinisiasi oleh Faisal dan Fauzi pada 2013. Kehadiran komunitas film dokumenter ini tidak pernah terkendala dengan kondisi Aceh yang menetapkan syariat Islam.

Justru yang menjadi keprihatinan kedua pemuda tersebut adalah minimnya pembinaan para sineas muda di Aceh. Pada 2013, Faisal dan Fauzi menggelar festival film dokumenter Aceh Documentary Competition yang diikuti banyak sineas dari luar Aceh. Karena kondisi inilah ADC akhirnya menjadi wadah untuk membina para sineas muda, sekaligus sebagai usaha untuk memasyaraktkan film di Aceh.

Kegiatan ADC antara lain menggelar nonton bareng hingga memproduksi film dokumenter. Sejak 2013 sudah ada 104 orang sineas muda Aceh yang sudah memproduksi film bersama Aceh Documentary. Bahkan salah satu film produksi ADC yang berjudul 1880 mdpl memenangkan Festival Film Bali 2017 hingga menjadi nominasi Film Pendek Dokumenter terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2016!

Kemunculan komunitas-komunitas tersebut tentu tak lepas dari tingginya jumlah generasi muda milenial di Banda Aceh. Kota Banda Aceh, menurut data mikro Survei Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2016, memiliki jumlah penduduk usia milenial tertinggi jika dibandingkan dengan kota lain yang setingkat di Indonesia.



Ingin tahu seperti apa selengkapnya kisah NBC dan ADC? Baca di: https://beritagar.id/artikel/laporan...eh%20Millenial