Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azzuradayanaAvatar border
TS
azzuradayana
[Cerpen Inspiratif]: SANG SULUNG




Cerpen Azzura Dayana

Abah sekarat. Aku duduk seraya berpagut pada desah turun naik napasnya. Bibir menghitam bekas berkarib dengan cerutu. Rupa renta dan pucat. Rambut putih nyaris rata. Tubuh gemuk tak lagi daya. Kupegang tangannya erat. Matanya padaku namun ucapnya bukanlah namaku. Ia menggemetarkan nama ‘Ridwan’ sejak dua hari yang lalu. Berulang-ulang hingga sekarang.

“Abah nak apo?” tanyaku perlahan di dekat telinganya. Kudengar lagi ia susah payah menyebut Ridwan.

“Cek Ridwan belum tampak, Abah. Mungkin sudah di jalan menuju pulang. Dua hari lalu Umak sudah kirimkan pesuruh ke Jawa, untuk mengabarkan sakitnya Abah. Sekejap lagi tentu Cek Ridwan akan datang. Abah bersabar, ya…” Kukatakan itu sambil menahan air mata yang hendak keluar.

Abah memejamkan mata. Sudutnya melelahkan air dan kulihat dadanya yang kembang kempis menahan sebak. Ia terus memejamkan mata tuanya. Dan saat itulah baru aku berani mengeluarkan air mataku.

Aku beringsut dari sisi pembaringan Abah. Kuhampiri jendela besar yang menghadap langsung ke Sungai Musi. Kapal dan perahu melayari air jernihnya. Setiap perahu yang merapat, kukira penumpang yang pulang adalah Umak. Sejam lalu beliau berpamit untuk menjemput obat dari rumah tabib di seberang sana. Begitu kapal yang berlabuh, kuharapkan yang turun adalah sosok gagah dengan tas besar yang disandang di punggung. Buah hati yang sedang dinantikan Abah. Ridwan. Nama yang selalu membuat hatiku bergetar takut.
***


Dua tahun lalu aku sempat menangisi kepergian Ridwan. Si sulung itu bersikeras mencari ilmu di Pulau Jawa. Di tengah kecukupan kami di rumah Limas Abah, ia memutuskan merantau ke tempat yang tak satu keluarga dekat pun kami punya di sana. Tak banyak memang warga Ulu yang berpikiran suluh layaknya ia. Keinginannya sempat ditentang Abah dan dicegah Umak. Abah telah hampir berumur enam puluh tahun. Beliau tentu ingin segera mewariskan usahanya. Umak tak rela sulungnya berangkat dari sisinya begitu lama. Satu-satunya yang tidak keberatan atas kepergian Ridwan adalah Latif, adiknya. Ia tetap tenang dan tidak berurun saran sama sekali. Layaknya tak hidup di dekat kami, ia lebih memilih turun ke tepi sungai dan bercengkerama denngan bujang-bujang pengangguran.

Ridwan adalah kebanggaan Abah. Putra sulung adalah harta bagi keluarga dan ia sendiri telah diistimewakan sejak kecil. Aku sudah mengetahui dari dulu bahwa usaha perkebunan pisang dan karet yang benderang milik Abah akan beralih ke tangan Ridwan sama sekali.
Lalu siang itu kurasakan agak meredup di luar sana. Awan mulai mendung diiringi gelagat angin yang sorak menderu. Ridwan telah rapi dalam rencana kepergiannya. Tas besar mengikut di belakangnya. Ia memeluk Abah dan Umak bergantian. Latif sekadar menepuk pundaknya saja lalu mendahulukan diri menuruni tangga Limas, entah pergi ke mana.

Air menggenangi mataku, tapi tak kubiarkan turun. Ridwan masih mendengarkan nasihat terakhir Abah.

“Belajar yang tekun, Ridwan. Kalau tekadmu telah sempurna, jangan pernah berbalik arah. Di sana nanti, jangan berpolah panggak dan lancang. Sepulangnya kelak, tetaplah sebagai pribumi yang santun. Dua tahun tak akan membuatku mafhum untuk melihat putra sulungnya bertingkah kebarat-baratan.”

Umak tersedu di sampingnya, lalu perlahan diciumnya pipi Ridwan. Setelah putranya itu mengangguk, memahami ucapan Abah, saat itu mataku bertemu tatap dengan mata Cek Ridwan.

Tak pernah kukira rasa sakit ketika ia tidak memelukku untuk terakhir kali akan senyeri ini. Aku baru menyadarinya ketika pemuda itu telah mengangkat tasnya, dan air mataku berjatuhan begitu saja.

Sejak saat itu, Limas hanya ditinggali oleh kami berempat. Seperti biasa, tanpa kehangatan yang berarti. Aku menyibukkan diriku memasak dan menyulam dengan benang emas di bilik. Umak menenun songket di jogan. Aku dan Umak jarang bercakap-cakap kecuali saat di meja makan bersama Abah. Sementara Latif, ia selalu menghilang setiap hari. Abah sering memarahinya. Latif pun sering menolak ketika diminta Abah menggantikan Ridwan untuk menjadi wakilnya di perkebunan. Ia beranggapan Abah hanya menomorduakannya dan sia-sia saja ia menjalankan pekerjaan itu, sebab pada akhirnya Ridwan juga yang akan kembali menguasainya. Latif luntang-lantung selama beberapa bulan. Dan ketika bosan menjadi pengangguran, ia memutuskan untuk bekerja pada Belanda di perkebunan kopi yang dibuka beberapa tahun lalu di desa Sipatuhu, Talang Gunung Aji, Gunung Raya, dan beberapa lokasi di daerah Marga Ranau.
Aku merasa semakin kesepian dan kehilangan Latif ketika disadari ia lebih lama berada di daerah-daerah tempat kerjanya yang bertukar-tukar itu daripada di Limas kami. Latif bukan pemuda yang suka berbicara. Ia mungkin yang paling pendiam di dunia ini. Ia tidak pernah memulai untuk menegurku jika tidak aku yang menegurnya. Ia menjawabku beberapa patah kata saja kalau aku berbicara padanya. Sikapnya benar-benar sama seperti Umak. Meski begitu, aku tetap menganggap mereka keluargaku dan aku selalu berusaha untuk berbuat baik pada mereka.

Akan halnya Abah, sejak kepergian Ridwan juga semakin sering menghabiskan waktunya di perkebunan. Ia pulang menjelang maghrib dan selalu membawa begitu banyak belanjaan berupa pakaian dan makanan yang sebenarnya selalu tersedia lebih di rumah ini. Abah memang tauke yang hebat, namun ia telanjur suka menghambur-hamburkan uang.

Pada mulanya ibuku adalah guru mengaji bagi Ridwan, seorang bocah putra tauke karet kaya raya yang bermukim di daerah Ulu sungai Musi. Ibu sering diundang ke Limas sang tauke dan sekaligus mulai diminta istrinya untuk mengajari cara membaca Al Qur’an dengan berirama.

Sang tauke mulai tahu banyak mengenai latar belakang Ibu, seorang wanita miskin yang baru ditinggal suaminya, keluarga satu-satunya dan hanya memiliki sebuah rumah rakit yang reyot sebagai harta peninggalan. Sang tauke diam-diam menaruh hari pada Ibu. Tak lama kemudian ia meminta Ibu untuk bersedia menikah dengannya. Kebaikan hati sang tauke yang banyak membantunya membuat Ibu bimbang untuk mengiyakan atau tidak. Mulanya Ibu bersikeras menolak. Tauke tidak lekas menyerah. Ia bahkan semakin banyak membantu dan mencukupi kebutuhan Ibu. Perlahan, Ibu meminta waktu untuk mempertimbangkannya lagi.

Tahukah apa yang kemudian terjadi? Ya, mereka menikah, secara diam-diam. Ibu menolak ketika Abah bermaksud menghadiahkannya sebuah limas besar di daratan. Untuk tinggal seatap dengan istri pertama tidak mungkin. Sementara rumah rakit peninggalan Kakek sudah begitu memprihatinkan. Akhirnya Abah hanya memperbaiki rumah rakit tersebut, tanpa memperbesarnya.

Seminggu setelah menikah, barulah Abah membeberkan semuanya kepada istri pertamanya, bahwa ia telah menikah lagi. Istrinya marah besar, namun ia tidak dapat mengurungkan lagi kenyataan bahwa ia sudah dimadu. Hubungan baik antara Ibu dan wanita itu kandas begitu saja, wanita itu membenci Ibu setengah mati.

Setahun kemudian setelah pernikahan, lahirlah aku. Persis setelah bayi bernama Latif, putra kedua Abah dengan istri pertamanya berumur dua tahun.

Badai terus menerpa keluarga kecil kami. Ibu yang sakit-sakitan meninggal dalam usia cukup muda, tiga puluh satu tahun. Abah yang biasanya menginap di rumah kami dua hari dalam seminggu semakin rajin mengunjungiku. Ia pun mulai mencoba mengajakku ke limasnya yang besar di dekat aliran sungai. Ia memperkenalkanku pada ibu tiriku dan kedua kakak tiriku yang kelihatannya sangat tidak menyukaiku dan membuatku takut.

Usiaku lima belas tahun ketika Abah meyakinkanku untuk pindah ke limasnya. Bujuknya lagi, ia akan berusaha membuat keluarganya bersikap baik kepadaku, asalkan aku juga bersikap baik dan patuh pada mereka. Aku menurut.

Maka mulai keesokan harinya aku pindah. Aku mendapatkan bilik pribadi yang luas dan penuh perabotan. Aku mempelajari seluk-beluk limas itu dan sangat mengaguminya. Kekijing-nya ada empat. Pagar tenggalung dan pawon-nya saja berukuran tiga kali rumah rakitku. Jogan-nya nyaman dan sejuk karena tak henti disinggahi angin. Di muka terdapat dua tangga yang kokoh di kanan kiri. Masing-masing berfungsi sebagai tangga naik dan tangga turun. Di bagian atas Limas terdapat hiasan simbar dan tanduk yang sangat indah. Rumah ini bagiku lebih mirip istana sultan saja. Tapi di istana ini aku bukanlah seorang putri, tetapi pelayan rumah tangga. Setidaknya aku mendapati kenyataan itu setelah beberapa hari tinggal di sana. Mereka—Umak dan kakak tiriku itu—hampir tak pernah sengaja menegurku, atau sekadar memberi seulas senyum. Aku lebih sering disuruh-suruh, tapi aku belajar menerimanya. Mungkin ini memang salahku, dan juga salah ibuku.

Bahkan Abah, lama-kelamaan, tak lagi begitu banyak memperhatikanku seperti dulu.

***

Umak sudah pulang dengan membawa obat di tangannya. Beliau menghampiri Abah dan menggenggam tangannya sambil menatap wajahnya yang pucat. Penyakit sesak napas Abah sudah lama menyiksanya, dan kini semakin parah. Cukup sering tabib datang, dan sudah banyak jumlah dan jenis obat yang diteguk Abah. Mungkin kita sudah harus bersiap menerima kenyataan apa pun dari Tuhan…, begitu bisikan lirih Umak kepada Latif yang pernah kudengar. Sesuatu yang sudah pasti sangat memilukan untuk kuketahui dan kusimpan di dalam otak.

Latif sudah beberapa hari ini di rumah, setelah terakhir ia pulang dari Sipatuhu setengah bulan yang lalu.

“Ambilkan air hangat, Diyah,” ujar Umak padaku. Kecil sekali suaranya. Aku mengangguk dan beranjak.

“Sekalian panggilkan Latif. Suruh kemari,” tambahnya.

Aku berhenti di depan bilik Latif yang sunyi dan mengetuk pintunya perlahan.

“Cek Latif, dipanggil Umak,” kataku.

Tak ada jawaban. Lalu pintu dibuka, dan wajah bekas tidur Latif tampak. Ia menatapku sebentar dan menyeret kakinya ke depan. Aku mengikut seraya membawa air. Latif duduk di dekat Umak dan ikut memperhatikan saat Umak membantu Abah meminum obat. Setelah itu Umak berujar dengan lirih pada Latif yang termangu.

“Kau pergilah ke rumah kerabat kita. Beritakan keadaan Abah ini. Mintalah Uwak Soleh, Uwak Fatimah, dan Mang Yusuf menjenguk Abahmu.”

Latif berangkat, setelah mengiyakan. Di belakangnya, aku kembali terisak. Sekilas Umak memandangiku.

Tak lama setelah Latif keluar dari Limas, telingaku mendengar derap langkah naik di tangga. Aku menatap Umak, lalu Abah pula. Saat itu bibir Abah kembali menyebut nama Ridwan.

Alis Umak terangkat. Tergesa-gesa beliau menuju pintu masuk yang mulai diketuk. Pintu terkuak. Tampak sosok gagah berkulit cokelat berdiri di sana. umak menghambur memeluknya sambil menangis.

“Syukurlah, kau sudah pulang,” kata Umak. “Masuklah, Nak. Lihatlah abahmu di dalam.”

Ridwan cepat-cepat masuk, tanpa mengangkat tas besarnya. Aku memanggilnya dengan senyum isak, namun ia hanya sekilas menatapku dan kembali terpaku pada Abah. Wajahnya langsung memucat dan ia tersungkur di dekat Abah.

“Abah! Bangun Abah, ini Ridwan,” panggilnya sambil mencium tangan Abah berkali-kali.

Abah tersenyum, dan ketika didapatinya putra sulung itu kemabli, ia mengelus kepalanya.

“Maafkan Ridwan, Abah. Ridwan baru pulang sekarang. Seharusnya Ridwan sering-sering menjenguk Abah,” sedu Ridwan.

Abah menggenggam tangan Ridwan. “Nak, banyak yang ingin Abah bicarakan denganmu. Dengarkanlah baik-baik.”
***

Kuntum kamboja jatuh. Abah pun sudah pergi selamanya.

Aku menahan isak yang ternyata masih terus ingin mendesak keluar, menangisi Abah yang menutup matanya tadi pagi, sehari setelah kedatangan Ridwan.

Umak dan Latif masih berpelukan. Di samping mereka, Ridwan berdiri tegap denngan kedua tangan di belakang pinggangnya. Ia memandangi nisan Abah. Aku memandanginya dari seberangnya. Aku sudah kehilangan Ibu lima tahun lalu, dan sekarang Abah juga telah meninggalkanku.

Pelayat beringsut. Umak melangkahkan kakinya pelan meninggalkan pemakaman dibantu Latif. Ridwan membuntuti di belakang. Aku sendirian di samping kuburan Abah. Sepi, dan masih menangis. Jika aku pulang ke Limas itu, siapa lagi yang akan mengajakku berbicara? Abah sudah tak ada. Umak dan Latif yang pendiam sejak dulu menganggapku tak ada. Ridwan? Lihatlah, ia pun sama. Bahkan tak ada yang ingat bahwa satu anggota keluarga mereka masih tertinggal di pinggir makam Abah. Mungkin lebih baik aku kembali ke rumah rakit saja….

“Rodiyah, belum pulang?” Satu suara mampir. Suara yang kukenal meski lama tak kudengar.

Cek Ridwan. Ah, air mataku turun lagi. Rupanya indah sekali rasanya disapa duluan oleh kakak sendiri….

“Di-diyah masih ingin di sini, Cek, menemani Abah…,” jawabku.

Tak ada lagi sepatah kata setelah itu. Semilir angin mengibarkan ujung kerudungku.

Lama kemudian, dia menegurku lagi. “Kita pulang?”

Aku menoleh. “P-pulang? Ke-ke mana?” tanyaku pelan.

“Tentu saja ke Limas. Kau punya rumah lain?”

Aku menggigit bibir. “Rumah rakit peninggalan Ibu….”

“Jangan. Kita pulang ke Limas,” selanya.”

“Tapi Abah kan sudah tidak ada…,”tidak kuasa kulanjutkan kalimat itu.

“Aku tahu,” dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan kata-kata. “Mungkin kehilangan Abah membuatmu merasa juga kehilangan rumah. Aku kini mengerti rasanya kehilangan, Diyah. Pemahaman yang menurutmu mungkin terlambat karena kau sudah merasakannya sejak dulu, sejak meninggalnya ibumu. Ditambah kehilangan ini, rasa sedih itu tentu makin berlipat.”

Sambil tertunduk, aku menahan isak. Kami masih berdiri di pinggir makam Abah yang sepi.

“Kemarin dan semalam, setelah membicarakan tentang perkebunan yang dialihkan padaku, Abah menyebutkan namamu,” tambah Ridwan.
Aku mengangkat kepalaku dan memandangnya.

“Perkebunan itu menjadi tanggung jawabku. Kau juga menjadi tanggung jawabku.”

Aku tertegun.

“Abah mengingatkanku bahwa aku punya dua adik: kau dan Latif. Anak lelaki tertua dalam keluarga kita adalah orang yang bertanggung jawab atas keluarganya, rumahnya, dan martabatnya. Kurasa itu bukan hanya adat di tanah kita ini, tapi kewajiban.”

Keluarga kita…. Baru sekali ini aku mendengarnya.

“Sekarang, ayo kita pulang. Hari sudah semakin panas…,” katanya sambil menggamit tanganku, dan untuk pertama kalinya kami berjalan bersisian berdua. Mungkin Abah masih bisa melihat kami dari dalam kuburnya.

“Abah memberikan hadiah istana sultan mini kepadamu,” katanya dalam perjalanan ke Limas, aku tertegun mendengarnya.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, Cek Ridwan dengan suka hati tersenyum. “Kalimat wasiat Abah yang terakhir, Limas itu dialihkan Abah sebagai hak milikmu kini….” []


Keterangan:
nak apo : mau apa
panggak : berbangga diri
pagar tenggalung : ruang depan
kekijing : lantai bertingkat
jogan : beranda
pawon : dapur
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.8K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.