dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Peminggiran dan Penggerusan Identitas Masyarakat Suku Tengger


Peminggiran dan Penggerusan Identitas Masyarakat Suku Tengger

JUN 12

Desantara Tengger, yang penduduknya dulu dikenal sebagai petani tradisional yang tangguh, yang ramah dan suka memuliakan tamu-tamu mereka, yang tidak mengenal kasta, ini telah sejak lama menjadi medan persaingan (kontestasi) yang kompleks antarberbagai kelompok dan kepentingan dalam bidang ekonomi dan agama—yang berpengaruh besar terhadap perubahan sosial-budaya masyarakat Suku Tengger. Awalnya adalah pembukaan wilayah Tengger pada akhir abad ke-17 sebagai sentra perkebunan yang luas, terutama di lereng bawah, oleh VOC Belanda. Cengkeh, kopi, kakao, tumbuh subur di sana, dan mendorong perpindahan penduduk dari luar Tengger.

Robert Hefner, antropolog dari Boston University, penulis Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, mencatat, mula-mula banyak warga Madura dan orang-orang Jawa bagian barat pindah mendiami wilayah Pegunungan Tengger di lereng bawah. Seiring makin derasnya arus migrasi, warga di lereng bawah yang rata-rata beragama Islam pun beranjak mendominasi dalam berbagai bidang, mengalahkan masyarakat Tengger di lereng atas. Tak hanya dominan dalam ruang sosial-politik, mereka kemudian juga mendominasi perumusan berbagai kebenaran atas dasar Agama Islam.

Pada zaman pendudukan Jepang, kondisi sosial dan ekonomi Tengger menjadi runyam. Jepang merusak perkebunan-perkebunan milik orang-orang Eropa di lereng bawah, menanaminya dengan pohon jarak untuk bahan bakar kapal dan pelumas senjata. Petani Tengger dipaksa membatasi pengusahaan tanaman perdagangan. Jepang juga menebangi pepohonan di Tengger untuk bahan bakar kereta api dan industri batu bara, padahal pepohonan itu berfungsi penting bagi kelestarian air dan tanah. Perilaku tentara Jepang yang kejam, ditambah beban kerja-paksa, membuat banyak warga muda Tengger melarikan diri ke dataran bawah.

Setelah Indonesia merdeka, keadaan cukup membaik, situasi ekonomi di pegunungan Tengger kembali bangkit. Namun, kondisi itu tak berlangsung cukup lama karena satu generasi kemudian terjadi tragedi G30S/1965, yang lalu menjadi gerbang berbagai perubahan sosial besar bagi Suku Tengger.

Hefner melaporkan, sejak masa penjajahan ada dua golongan utama yang mendominasi kawasan Tengger. Di dataran rendah, di Pasuruan dan sekitarnya, NU (Islam) merupakan organisasi paling besar, sementara kelompok kejawen mendominasi dataran tinggi Tengger. Mayoritas kelompok kejawen inilah yang kelak bergabung dengan PNI dan PKI.

Pada 1960, pemerintah Orde Lama menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5/1960), yang menjadi landasan program redistribusi tanah atau landreform. Dalam perkembangannya, di kawasan Tengger, orang-orang PNI banyak yang terlibat kasus-kasus penggelapan tanah-tanah bekas perkebunan untuk kepentingan pribadi, sementara PKI memanfaatkan momentum itu untuk merebut simpati para petani miskin dengan aksi-aksi perampasan tanah dari “tuan-tuan tanah”, para pemilik lahan-lahan luas.

Praktis, ketika G30S meletus, darah segera tumpah-ruah membasahi bumi Tengger. Pembantaian menggila bukan hanya semata karena klaim-klaim kebenaran agama dan keyakinan politik antara orang bawah dengan orang atas (Tengger), tetapi juga bersebab perebutan kepemilikan tanah dan issu-issu landreform. Selain itu, juga disebabkan persaingan berebut ruang sosial antara orang Tengger dengan para migran Jawa-Madura di lereng bawah yang berlangsung sejak zaman penjajahan.

Sepanjang kurun akhir 1960-an sampai pertengahan 1970-an itu, sekadar menjadi Wong Tengger saja sudah merupakan hal mengerikan. Identitas “Tengger” menimbulkan ketakutan tersendiri karena selalu dilekatkan dengan “non-Islam”, antek PKI. Fenomena itu jelas sangat buruk dampaknya bagi Wong Tengger.

Trauma massal tentu saja menghantui masyarakat Suku Tengger pasca-G30S/1965. Dalam kondisi sekelam itu, identitas Wong Tengger kembali dicederai, kali ini oleh kebijakan pemerintah dalam hal beragama. Penguasa Orde Baru hanya mengakui adanya lima agama resmi, dan keyakinan masyarakat Tengger tidak termasuk salah satunya. Mereka adalah penganut Hindu-Jawa, atau Agomo Budo-Tengger—yang berbeda dengan agama Buddha maupun Hindu Dharma.

Lewat perdebatan alot antarpara dukun pandhita (pemuka agama) Tengger pada 1973, akhirnya diputuskan bahwa orang-orang Tengger secara resmi akan memeluk Agama Hindu. Keputusan itu pun tak mencapai mufakat, sebab dukun dari Desa Ngadas-Malang lebih memilih Buddha dibanding Hindu.

Namun, permasalahan agama Tengger rupanya tak kunjung selesai hingga hari ini. Tak sedikit peneliti yang merekam kekuatiran beberapa dukun Tengger akan upaya-upaya pemurnian (purifikasi) agama Hindu, atau tepatnya: intervensi kebiasaan Bali dalam susunan ritual adat Tengger. Kekuatiran itu dibenarkan salah satunya oleh Mbah Mudjono, Koordinator Dukun Tengger sekaligus Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo. Ia mengaku, ada beberapa tokoh Bali yang mencoba membujuknya untuk menyertakan kebiasaan Bali dalam upacara adat di Tengger, dan ia menolaknya karena menurutnya adat Bali sama sekali berbeda dengan adat Tengger.

Selain “Balinisasi”, terjadi juga perebutan klaim antaragama: Islamisasi, Kristenisasi, dan Buddhanisasi. Persaingan antara pendakwah Budha dengan Hindu memang tak begitu kentara, tak tampak secara formal, tetapi terjadi di bawah permukaan sejak 1968 sampai sekarang. Sedangkan Islamisasi dan Kristenisasi berlangsung secara lebih mencolok mata.

Beriringan dengan masalah agama, kultur pertanian tradisional Tengger berubah drastis akibat revolusi hijaunya Orde Baru. Tanaman pangan diganti tanaman komersial. Di lereng tengah, singkong dan jagung (makanan pokok orang Tengger) diganti kopi dan cengkeh. Di lereng atas, jagung diganti kentang, kubis, dan bawang merah. Pertanian baru di Tengger itu dimonopoli orang-orang kaya, karena industri pertanian butuh modal tak sedikit.

Di bidang politik, rezim Orba menerapkan kebijakan massa mengambang, floating mass, yang melarang partai politik punya cabang di tingkat kecamatan ke bawah. Terjadilah depolitisasi rakyat, pembodohan, dan “penjinakan” sikap kritis bahkan sebelum sikap itu dibangun masyarakat.

Pada saat yang sama, sistem pendidikan Orba yang kental unsur dominasi dan submissifnya (cenderung patuh kepada otoritas) lalu menciptakan lulusan bermental pegawai, pencari kerja, yang kehilangan fitrahnya sebagai individu merdeka berakal pikiran, dan lahirnya kaum intelek yang bebal kepekaan sosialnya, serta banyaknya generasi muda yang berpikiran positivistik. Hal-hal itu menjadi salah satu sebab makin banyaknya generasi muda Tengger berpendidikan yang mencari kerja ke luar daerah, yang dampaknya adalah mengaburkan perbedaan wong gunung (orang dataran tinggi: Tengger) dengan wong ngare (orang dataran rendah), serta memperlemah loyalitas kelompok.

Berbagai-bagai masalah yang mendera masyarakat Tengger sejak zaman VOC hingga sekarang seperti terpapar di atas itu memicu krisis identitas dan menipisnya rasa percaya diri akan tradisi lokal mereka. Sebelumnya, pada zaman Jepang, tradisi Tengger sudah mulai terabaikan karena saat itu tak banyak orang Tengger yang cukup mampu untuk membiayai upacara. Masa itu, banyak teks-teks doa Tengger yang disembunyikan, hingga rusak karena cuaca dan dimakan rengat ketika ditemukan beberapa tahun kemudian.

Dalam kondisi krisis identitas tersebut, masyarakat Tengger menghadapi masalah hak ulayat: pada 14 Oktober 1982, dalam Kongres Taman Nasional se-Dunia ke-3 di Denpasar, Bali, pemerintah Indonesia menetapkan dataran tinggi Bromo, Tengger, dan Semeru sebagai Taman Nasional—“suatu kawasan atau wilayah yang dilindungi pemerintah dari perkembangan manusia dan polusi”.

Pagi hari 14 Oktober 1982 itu, masyarakat Tengger bangun dari tidur dan tiba-tiba mendapati tanah-tanah adat mereka berada dalam wilayah terlarang. Terlarang mengambil kayu bakar dari hutan, terlarang memetik tanlayu (edelweiss jawa, Anaphalis javanica) yang diperlukan untuk berbagai upacara adat, tak leluasa lagi berladang gilir-balik karena mungkin saja calon lokasi ladang baru sekarang telah dikapling pemerintah sebagai bukan-zona-pemanfaatan.

Penetapan Taman Nasional tanpa konsultasi publik sebelumnya ini kelak akan menimbulkan berbagai masalah sosial, yang berpangkal pada kecenderungan pemerintah menghegemoni dan meminggirkan masyarakat, dalam hal ini masyarakat adat Tengger.[]

Foto: Sekeluarga bangsa Armenia dalam perjalanan menuju Tosari, Pasuruan. Foto diambil antara tahun 1890–1930, koleksi Tropenmuseum, Belanda. Banyak pedagang Armenia dari Amsterdam merantau ke Hindia-Belanda sejak 1800-an. Mereka terutama menetap di Jawa, mendirikan perusahaan serta perkebunan; Di antaranya di daerah Tosari, Pasuruan, tempat tinggal Suku Tengger.

http://budayajaya.com/peminggiran-da...-suku-tengger/
1
25.1K
140
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.