Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

metrotvnews.comAvatar border
TS
MOD
metrotvnews.com
Kerumunan dan Parlemen Jalanan


Metrotvnews.com, Jakarta: Tiga bulan lebih energi masyarakat Indonesia dikuras kegaduhan. Judul besarnya, dimulai dari perdebatan atas dugaan penistaan agama Gubernur Non-Aktif DKI Jakarta, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama.  Lantas, bola salju terus menggelinding hingga melahirkan beberapa babak aksi massa dalam jumlah besar. Belakangan, kegaduhan itu berlanjut menjadi kecenderungan saling lapor.

 

Kesadaran hukum sekilas tampak meningkat. Apapun masalah yang dialami, serahkan saja kepada pihak yang berwajib. Namun melampaui itu, boleh jadi penegak hukum tengah merasa menggenggam simalakama. Begini salah, begitu salah.

 

Adalah Front Pembela Islam (FPI) yang begitu gigih 'menuntut keadilan'. Ketika dalam posisi terlapor, mereka terjun dengan dalih melakukan pengawalan. FPI tak segan menurunkan banyak orang di setiap kali pemanggilan Rizieq Shihab maupun petinggi FPI lainnya tengah penegak hukum lakukan.

 

Baca: Rizieq dan Massa Pengawalnya

 

Proses hukum kemudian kerap dibayang-bayangi dengan aksi unjuk rasa. Rumitnya lagi, suara yang digaungkan dalam demonstrasi itu justru kerap memprotes penegak hukum dengan tuduhan kriminalisasi orang-orang di pihaknya. Tak cuma di dunia nyata, tanda pagar #tolakkriminalisasiulama dan #saveulama pun berhamburan di jagat maya.




 

Picu intoleransi

Pertengahan Desember 2016, puluhan intelektual bidang antropologi yang tergabung dalam Antropolog untuk Indonesia menganggap bahwa demokrasi telah diselewengkan. Hari ini, kata mereka, kebebasan berpendapat cenderung kebablasan.

 

"Kebablasan berpendapat di depan aparat penegak hukum. Hukum di Indonesia kurang memberi perlindungan hak minoritas seperti yang miskin, atau mereka yang tidak masuk agama resmi dan masyarakat adat," ujar Sulistyowati Irianto di kawasan Ampera, Jakarta Selatan.

 

Imbasnya, kebinekaan menjadi buyar. Para antropolog khawatir hal ini berkembang menjadi konflik dan kritis. Terutama menjangkitnya sikap intoleransi yang bermula dari media sosial.

 

"Jargon agama, suku, bangsa yang dibuat. Karena tidak perlu mikir," kata Antropolog Kartini Sjahrir dalam kesempatan yang sama.

 

Pemerintah mengambil langkah. Pelaku intoleran dianggap tidak bisa dipisahkan dengan ormas atau kelompok yang sering terlibat tindak serupa. Maka, penting dilakukan penertiban terhadap keduanya.

 

Jurus ampuh revisi UU Ormas pun digelontorkan. Sebab, UU itu dianggap membatasi  kewenangan Pemerintah dalam menindak, terlebih membubarkan.

 



 

Hak berpendapat

Nama FPI turut terseret. Ia banyak diramal orang sebagai salah satu ormas yang menjadi target pembubaran. Pasalnya, FPI dianggap sering terlibat dengan tindak intoleransi, bahkan kekerasan.

 

Tidak seluruhnya sepakat FPI dibubarkan. Sebut saja pendapat Guru Besar Universitas Melbourne, Australia, Vedi R. Hadiz. Ia mengatakan jika itu dilakukan justru berbalik menjadi senjata untuk  menyerang Pemerintah dengan tuduhan rezim otoriter.

 

"Kalau mereka melanggar tindakan hukum, ya, diadili dan masuk penjara. Bukan dibubarkan," kata Vedi, Senin (23/1/2017).

 

Pendapat serupa disampaikan sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robert. Dia memandang pembubaran FPI akan menyeret respons kelompok politik lain yang semula tidak bersimpati kemudian memberikan dukungan. "Itu kenapa saya bilang tidak usah dibubarkan," ujar Robert.

 

Mengadili secara hukum bila bersalah, serta mencegah menjamurnya kelompok intoleran adalah keputusan terbaik yang bisa ditempuh  Pemerintah. Pencegahan bisa dilakukan dengan komitmen penegakan hak asasi manusia dan pembenahan politik kebudayaan.

 

"Ini memberi efek luas kepada society dan memperkuat politik kewarganegaraan. Jadi intoleran sulit. Kita kan tidak bisa menggunakan tangan negara untuk memukul kelompok," kata dia.

 

Pengajar Studi HAM dan Demokrasi di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia, Jakarta, Amsar A. Dulmanan, mengatakan satu dua kasus pelanggaran FPI tidak bisa dijawab dengan membungkam hak dan kebebasan berpendapat.

 

FPI, kata Amsar,  punya hak dalam wacana demokrasi di Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

 

"Tapi jangan lupa, FPI juga harus sadar bahwa di dalam hak kebebasan itu ada kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Ada hak ada kewajiban," kata Amsar kepada Metrotvnews.com, Selasa (24/1/2017).

 

Jadi partai politik

Kandidat doktor filsafat politik di Universitas Indonesia (UI) itu menjelaskan, FPI lebih baik beralih ke jalur politik agar bisa sesuai dengan tata aturan perundang-undangan yang berlaku. Semangat FPI menjadikan Indonesia dengan sistem hukum syariat Islam itu tidak bisa cuma digaungkan dari satu unjuk rasa ke unjuk rasa berikutnya.

 

“FPI berselancar di wacana demokrasi. Tapi muatannya pada ideologisasi yang sesungguhnya tidak konstitusional dalam tata aturan bernegara,” kata Amsar.


Baca: Kapolri Sindir Terperiksa yang Kerap Membawa Massa 

 

Pencipta lagu Pancasila Rumah Kita yang pernah di populerkan Franky Sahilatua itu mengatakan, rujukan yang diambil FPI melulu pada peristiwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Padahal, semua itu sudah final di dua bulan kemudian melalui pengesahan secara mufakat tentang sistem hukum yang akan diberlakukan di Indonesia.

 

“Mereka (FPI) bisa masuk melalui Batang Tubuh UUD 1945. Yakni  menyusun kepentingan itu melalui legal formal dan institusi. Dalam sistem demokrasi, ya tidak bukan, melalui institusi partai politik (parpol), bukan parlemen jalanan,” kata dia.

 

Namun, Amsar meragukan keberanian FPI untuk bermetamorfosa menjadi sebuah parpol. Lantaran, tugas mereka akan menjadi berat dan terseret pada pertarungan yang lebih nyata.


“Di antaranya kaderisasi. FPI kan bukan ruang kaderisasi, lebih mirip kerumunan. Makanya mereka menggunakan sebuah solidaritas simbolik. Yakni simbol keagamaan dan religiusitas,” kata Amsar.

 

FPI gemar bermain di tataran simbol. Amsar menyebutkan, simbol sosial melalui jaringan Islam sebagai agama dengan penganut mayoritas, simbol kultural melalui pemaknaan prinsip-prinsip keislaman.  

 

“Kemudian ada satu simbol modal  yang mengakselerasi simbol lain. Kemudian memasukkan simbol kekerasan secara psikis. Hasilnya, jika tidak sepakat dengan Rizieq disebut kafir, menolak FPI disebut musuh Islam,” ujar dia.



Sumber : http://news.metrotvnews.com/read/201...rlemen-jalanan

---

Kumpulan Berita Terkait DEMOKRASI :

- Kerumunan dan Parlemen Jalanan

- Demokrasi untuk Kesejahteraan bukan Kesenjangan Sosial

- Demokrasi Indonesia tak Kunjung Menyejahterakan

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
829
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Medcom.id
Medcom.idKASKUS Official
23KThread601Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.