Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dishwalaAvatar border
TS
dishwala
Inilah 6 Dosa Soeharto terhadap Soekarno
Sabtu, 07 Oktober 2017 | 09:13 WIB

Inilah 6 Dosa Soeharto terhadap Soekarno

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno pada Presiden Soeharto diiringi

kematian ratusan ribu orang. Sejumlah kalangan menyebut peralihan kekuasaan itu sebagai kudeta merangkak. Setahap demi setahap, Soeharto mulai menggembosi kekuasaan Soekarno.

Berangkat dari surat perintah 11 Maret 1966, Soeharto mulai bergerak cepat. Keesokan harinya dia membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan didukung MPRS, PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.

Lalu Soeharto mulai menangkap anggota kabinet Dwikora yang diduga terlibat PKI. 16 Menteri ditangkap walau tak jelas apa peran mereka dalam gerakan 30 September. Saat itu Soeharto bergerak didukung mahasiswa dan rakyat yang anti-PKI.

Puncaknya, 7 Maret 1967 MPRS bersidang untuk mencabut mandat Presiden Soekarno kemudian melantik Soeharto sebagai pejabat presiden.

Proses pengambilalihan kekuasaan antar rezim biasa terjadi. Tapi yang menyakitkan, Soeharto kemudian memperlakukan Soekarno sebagai pesakitan. Rasanya tak adil seorang proklamator berjasa besar diperlakukan demikian.


Berikut dosa-dosa Soeharto pada Soekarno :

1.Memindahkan atau mengeluarkan Soekarno dari Istana


Pada waktu itu pihak keamanan datang lalu agak memaksa kepada Bung Karno agar segera keluar dari istana, dengan batas waktu 2 hari. Waktu yang sangat singkat dengan tidak mengizinkan keluarga Bung Karno untuk mengemas barang-barangnya.

"Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara". Kata Bung Karno ketika mendapat perintah untuk meninggalkan istana.

Kepada para ajudan setianya, karena banyak ajudan Bung Karno sudah ditangkap karena diduga terlibat G30S/PKI, Bung Karno berkata, “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, dan macam-macam barang. Itu milik negara. Mendengar itu, semua ajudan pecah dalam tangisan.

2. Menjadikan Soekarno tahanan rumah

Soeharto menahan Soekarno di Wisma Yasoo, Jl Gatot Soebroto, Jakarta. Rumah ini dulunya adalah kediaman salah satu istri Soekarno, Ratna Sari Dewi.

Di tahanan itu, Soeharto melarang Soekarno menemui tamu. Dia diasingkan dari dunia luar. Belakangan pemerintah Orde Baru juga melarang Soekarno membaca koran , mendengarkan radio dan menonton televisi.

Akibat pengasingan ini, Soekarno mulai pikun. Sejumlah saksi menyebutkan Soekarno kerap bicara sendiri. Dia kemudian sakit dan akhirnya meninggal.

3. Tolak lokasi makam Soekarno


Soekarno pernah berpesan ingin dimakamkan di kawasan batu Tulis Bogor. Di tengah hamparan sawah, pegunungan dan gemericik air sungai. Bung Karno memang pencinta alam Parahiangan Bogor, karena Bung Karno memang orang alam.

Tapi Soeharto merasa terlalu berbahaya jika makam Soekarno terlalu dekat dengan Jakarta. Dia memindahkan lokasi penguburan ke Blitar, Jawa Timur. Alasan Soeharto, Soekarno sangat dekat dengan ibunya dulu di Blitar.

Protes sejumlah keluarga Soekarno tak didengar Soeharto. Rupanya Orde Baru masih khawatir dengan kharisma pemimpin besar revolusi ini.

Lalu, kata orang-orang, Tuhan memang adil, karena Soeharto pun akhirnya memutuskan sendiri untuk dimakam bukan di Jakarta atau sekitarnya, tetapi di Giribangun, Solo bersama Ibu Tien dan keluarganya. Seperti halnya Bung Karno, Soeharto pun dimakamkan jauh dari Jakarta.

4. Biarkan penyakit Soekarno


Selama menjadi tahanan politik, kondisi Soekarno semakin memburuk. Dia menderita penyakit ginjal dan rematik.

Oleh banyak pengamat, terutama para simpatisan Bung Karno, mengatakan bahwa pemerintah Orde Baru tak pernah memperlakukan Soekarno sebagai mantan pemimpin besar. Mereka memperlakukan Soekarno seperti penjahat politik yang berseberangan dengan penguasa.

Tahun 1969, saat Soekarno menghadiri pernikahan Rachmawati, itulah kala pertama dia bisa keluar dari tahanan rumah. Dengan pengawalan ketat Soekarno hadir.

Saat itu hampir semua hadirin menangis melihat Soekarno yang tampak lemah, wajahnya bengkak-bengkak dan kondisi fisiknya sangat menurun.

5. Habisi para Soekarnois


Orde Baru memandang Soekarnois atau pengagum ajaran Bung Karno sama berbahayanya dengan Partai Komunis Indonesia. Maka saat pembunuhan itu, seringkali para algojo tak ambil pusing apakah target mereka Soekarnois atau komunis.

Jika mau melawan, sebenarnya massa pendukung Soekarno masih banyak. Begitu pula tentara loyalis Soekarno.

Setidaknya ada angkatan udara, KKO (sekarang marinir), Divisi Siliwangi dan Brawijaya yang loyal padanya. Tapi Soekarno memilih mengalah, walau diperlakukan seperti tawanan. Dia tak ingin ada banjir darah lagi di Indonesia.

"Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno yang selalu mengalah.

"Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". tegas bung karno kepada ajudannya.

6. Jauhkan Soekarno dari orang-orang dekatnya


Soeharto melarang semua orang menjenguk Soekarno. Termasuk keluarga dekatnya. Ada pengawal kesayangan Soekarno yang juga akhirnya dipenjara oleh Soeharto.

AKBP Mangil Martowidjojo mungkin adalah perwira polisi yang paling disayang Soekarno. Perwira polisi ini adalah Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Bung Karno.

Mangil mendampingi Soekarno mulai dari detik proklamasi, hijrah ke Yogyakarta hingga melindungi Soekarno dari ancaman granat dan penembakan.

Tahun 1967, Mangil tak membiarkan konvoi Soekarno dihadang tentara RPKAD. Dia adu gertak dengan perwira RPKAD, sementara anak buahnya kokang senjata melindungi Soekarno.

Setelah peristiwa itu, Soeharto kemudian membubarkan DKP. Mangil pun terpaksa meninggalkan Soekarno.

Itulah 6 dosa yang dilakukan Soeharto terhadap Soekarno, yang dinilai banyak kalangan, terutama dari pihak simpatisan Bung Karno sebagai sesuatu yang kelewatan. Lalu, bagaimana penilaian kita saat ini dan akan datang tentang sikap itu, waktu jugalah yang akan menilainya.

http://www.netralnews.com/news/singk...hadap.soekarno
SUKARNO KASIAN JUGA YAH AKHIR HIDUPNYA..
YG SNASIB MA DOSKI
Lima Jenderal Penumpas PKI yang Dikhianati Soeharto
https://m.kaskus.co.id/thread/59c9dd...anati-soeharto

INTINYA: SEGALA PROPAGANDA ORBA KAGA USAH LGSG LU IYAIN, LAH SI DIKTATOR SEREM BGT BANTAI SANA SINI TERMASUK MUSLIM (KASUS TJ. PRIOK)

AT THE END OF THE DAY, LOOK AT THIS DUDE emoticon-Big Grin
The 10 Most Corrupt World Leaders of Recent History
http://integritas360.org/2016/07/10-most-corrupt-world-leaders/

$15 billion to $35 billion= 203 TRILIUN RUPIAH - 473 TRILIUN RUPIAH


1. Mohamed Suharto, President of Indonesia (1967 – 1998)
Amount Embezzled: $15 billion to $35 billion | Years in Office: 31

President SuhartoTaking top spot in our list of most corrupt world leaders of recent history is President Mohamed Suharto of Indonesia. The country’s second president, Suharto gained control of the government in 1967 (soon after a failed left-wing coup) and went on to rule for the next 31 years.

Suharto’s ‘New Order’ policy (implemented soon after taking power) was built on a strong, centralised military-dominated government, which became critical to maintaining stability over a diverse, sprawling country of over 13,000 islands. A strong anti-Communist stance won him economic and diplomatic support from the West; while rapid and sustained economic growth, and dramatically improving health, education and living standards, guaranteed him popular support at home.

Between 1965 and 1996, Indonesia’s GNP averaged a remarkable 6.7% per annum, with GDP increasing from $806 to $4,114 per capita. By 1997, Indonesia’s poverty rate had fallen to 11% (from 45% in 1970), life expectancy was 67 years (up from 47 years in 1966), infant mortality had been cut by more than 60%, and the country had reached rice self-sufficiency (an achievement which earned Suharto a gold medal from the FAO).

By the mid-1990s however, growing authoritarianism and widespread corruption had sown the seeds of discontent. The same economic growth that had ensured Suharto’s popularity in the 1970s and 1980s, had resulted in a rapid expansion of what Indonesians had dubbed KKN: Korupsi (corruption), Kolusi (collusion) and Nepotisme (nepotism).

Using a system of patronage to ensure loyalty, Suharto managed to amass a fortune of between $15 billion and $35 billion. The control of state-run monopolies, access to exclusive supply contracts and special tax breaks were given to companies owned by his four children, family members and close friends. Many organisations included a Suharto crony in various business activities, as it became the only way of reducing the ‘uncertainties’ caused by bureaucratic red tape. In return, kickbacks and tribute payments (usually cloaked as charitable donations) were made to dozens of foundations (‘yayasams’) overseen by Suharto. While created to ‘assist’ with the construction of rural schools and hospitals, they effectively functioned as the President’s personal piggy bank. Donating millions to yayasams became part of the cost of doing business in Indonesia, with financial institutions required to contribute 2.5% of their annual profits each year. According to Robert Elson, Suharto’s biographer:
“corruption [was] a well-managed franchise, like McDonald’s or Subway … Everybody knew how much you had to pay and to whom. Suharto didn’t invent the depth and breadth of corruption. What he did was to manage it on a scale that no one had ever been able to do before.”
In 1998 the tide turned when the Asian Financial Crises took Indonesia to the brink of economic collapse. Rising discontent led to riots and demonstrations forcing Suharto to resign. Two years later he was charged with misusing $550 million from seven charities he controlled while president, and temporarily placed under house arrest. Pronounced to ill to stand trial, another attempt (two years later) ended the same way. Finally, in July 2007, a $1.5 billion civil lawsuit was filed against Suharto. The case was never heard, as he died a few months later.
Return of assets: In 2010, the Indonesian government successfully brought a private civil action against the Suharto family for the recovery of $307.4 million. Apart from this (and the cases mentioned above), the only other case recorded, relates to $50.4 million worth of assets controlled by Suharto’s son, “Tommy”, which was frozen by Guernsey in 2002. Tommy subsequently served five years of a 15-year prison sentence for ordering the murder of the Indonesian Supreme Court judge who convicted him of corruption in connection to a (unrelated) multimillion-dollar real estate scam case.

BELOM LAGI DIHITUNG HARTA ANAK CUCU CICIT KERABATNYA..
ANAKNYA YG PERNAH BUNUH JAKSA BEBAS BERPOLITIK, NYIMPAN UANG DI TAX HEAVEN, YAYASAN SUHART0 TETAP BANDING NOLAK BAYAR VONIS 4 T,
MENANTUNYA .. AH SUDAHLAH
Diubah oleh dishwala 08-10-2017 10:56
0
8.8K
21
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.2KThread41.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.