Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bpln.bossAvatar border
TS
bpln.boss
Lelang Perawan dan Kisah-Kisah Tradisi Seksual


Dalam situs nikahsirri.com tertulis bahwa lelang perawan yang disebut memperebutkan "gadis yang masih suci" adalah bagian dari tradisi Nusantara. Berupaya meyakinkan pembaca, dicontohkan tradisi bukak-klambu di Jawa Tengah. Kisah bukak-klambu lantas diterangkan bisa dibaca dari karya salah seorang maestro sastra Indonesia, Ahmad Tohari dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP).

Bukak-klambu dalam novel RDP memang disebut sebagai tradisi menyayembarakan keperawanan calon ronggeng pada siapapun laki-laki yang mampu menyerahkan sejumlah uang yang telah ditentukan oleh dukun ronggeng. Situs itu lantas mengembangkan pemikiran bahwa menyayembarakan keperawanan bisa diulang di masa kini, menjadi jalan bagi warga miskin menjual keperawanan sebagai aset demi meningkatkan derajat perekonomian.

Di titik ini, novel Ahmad Tohari tampaknya telah disalapahami. Kisah bukak-klambu sekadar jatuh sebagai tempelan, mengabaikan isi pokok yang membicarakan nestapa perempuan —Srintil si penari ronggeng— dalam cengkeraman tradisi seksual.

Dendam Perempuan

Dalam trilogi RDP terutama buku kedua Lintang Kemukus Dini Hari, pada Bab 4 diceritakan seorang saudagar dari desa terpencil Alaswangkal berniat mengundang Srintil untuk meronggeng sekaligus menjadi gowok. Dalam novel itu muncul dua anggapan. Di satu sisi gowok dianggap semata perempuan penjaja diri. Di lain sisi, kecantikan dan ketenaran Srintil sebagai ronggeng yang bersedia menjadi gowok ditanggapi sebagai tanda yang mampu menaikkan gengsi.

Srintil sendiri tak mengetahui persis arti "gowokan" sebab telah jadi adat lama yang dilupakan. Ketika gowok dirayakan kembali, adat lama yang berarti pula penyerahan keperjakaan seorang lelaki pada seorang gowok justru menjadi dalih pemakluman bagi Srintil untuk membalas dendam pada malam bukak-klambu.

"…menjalani malam bukak-klambu, sampaean terkena rudapaksa. Kini tiba saat bagi sampean membuat perhitungan terhadap kaum lelaki!" kata Nyai Kartareja mengingatkan kilas riwayat Srintil menjadi ronggeng.

Dendam di sini berarti, Srintil yang terpaksa menjual keperawanannya ingin membalas perbuatan orang lain sebab sakit hati dan terluka, atau singkatnya membayar tindak tercela orang lain yang telah merugikannya. Srintil yang terkena rudapaksa (pemaksaan) di masa silam sesungguhnya tetap berada di bawah tekanan mental yang berat, berulang-ulang, dan bertahan dalam jangka waktu lama. Pada satu titik, arus balik psikologis pun muncul dari ketegangan yang telah terlewati, mempengaruhi Srintil menuntut balas.

Dari contoh penggalan kisah tersebut, tersirat pernyataan bahwa menjual keperawanan bagi seorang gadis tak akan berdampak baik-baik saja. Sebaliknya, keterpaksaan justru menyimpan bahaya laten, yakni pijakan pembenaran atau pengabsah atas tindakan destruktif di masa mendatang. Korban-korban yang melakukan tindakan secara terpaksa bisa melahirkan korban-korban lain agar pihak-pihak di luar dirinya merasakan kesengsaraan pengalaman mengerikan yang pernah ia alami.

Tapi, tampaknya nikahsirri.com tak membayangkan dampak bahaya semacam itu. Sebab, pembuatnya telah dibutakan untuk mengeruk keuntungan bisnis prostitusi terselubung semata.

Tradisi Seksual

Bila ingin berkaca pada sepenggal sejarah masa silam dalam kaitan berlakunya fenomena budaya tubuh untuk mencapai identitas kultural tertentu, tradisi gowok ataupun ronggeng boleh jadi memang contoh menarik. Keduanya mengetengahkan tata laku aktivitas seksual sebagai pengait esensial untuk memenuhi prasyarat mencapai status tertentu.

Tradisi gowok misalnya, menetapkan satu aturan bahwa seorang jejaka yang telah bertunangan atau menjelang nikah mesti terlebih dahulu tinggal dengan seorang gowok dalam waktu tertentu ―umumnya 10 malam. Menyewa gowok ―tentu dengan membayar sejumlah uang yang besarnya ditentukan oleh kecantikan sang gowok— dianggap pula dapat menaikkan gengsi dan memperkuat status keluarga priyayi.

Dalam sastra, kisah gowok pernah ditulis oleh Romano —nama pena penulis keturunan Tionghoa Liem Khing Hoo (1905-1945)— dengan menggambarkan situasi perdebatan yang terjadi pada anggota keluarga priyayi menyangkut pro dan kontra terhadap imbauan adat. Tokoh Soeganda, lulusan sekolah Belanda dan berpikir modern, menganggap gowokan sebagai tradisi hina yang tak sesuai lagi dengan norma kesantunan masyarakat beradab. "Gowok telah korbanken kasoetjiannja goena kaberoentoengannja laen prempoan" (Gowok, hal.10).

Namun, Lurah Wira ―sang ayah― bersikukuh bahwa gowokan musti dipertahankan sebagai penghormatan pada peninggalan leluhur. Singkat cerita, yang tradisional tak berhasil diruntuhkan pendiriannya oleh yang modern. Soeganda pun tak kuasa menolak imbauan tradisi. Ketika pergowokan dilaksanakan, peristiwa tak terduga terjadi: Soeganda dan Soembangsih ―gowok kembangja Banjoemas― justru saling jatuh hati. Cinta yang mekar di antara keduanya adalah problem bagi keluarga priyayi yang dapat berekor panjang berujung aib. Walau Soembangsih adalah gowok nomor satu yang telah menaikkan gengsi keluarga Wira, namun menerima Soembangsih sebagai menantu adalah ketololan. Pasalnya, asal-usul sosial gowok tidak berakar dari kekerabatan, ke-klien-an, garis darah yang sama dengan golongan darah biru kaum priyayi.

Bila sebelumnya Lurah Wira merepresentasikan diri sebagai wali penjaga tradisi gowok, selanjutnya Lurah Wira beralih posisi sebagai pihak berkuasa yang mesti mempertahankan jati diri keluhuran priyayi. Pergulatan sosial antara adat dan kelas penguasa tak dapat dihindari. Demi menghindari aib, Lurah Wira lalu dikisahkan menggunakan otoritas kekuasaannya. Soembangsih diminta enyah dari desa.

Nasib Perempuan

Dari kisah-kisah itu kita tahu, identitas kultural sebagai gowok dan ronggeng di satu sisi memang telah membuat Soembangsih dan Srintil lantas dielu-elukan sebagai bintang yang dapat mengangkat derajat sosial sebuah kelompok (priyayi). Namun, di lain sisi keduanya terbatasi untuk menjalani hidup umumnya perempuan normal. Dalam novel Gowok, karena cinta terlarang, Soembangsih pada akhirnya menjadi orang terusir dari lingkup sosial desanya. Sedang Srintil dalam RDP akhirnya menjadi gila secara mental karena mengidamkan sebuah keluarga yang tak mungkin bisa ia penuhi sempurna karena ketakmampuan menghasilkan keturunan.

Ending yang sama tragis dalam kisah dua novel di atas berpangkal pada satu sebab: tradisi seksual yang pernah terjadi pada masa silam tak mengizinkan gowok ataupun ronggeng untuk merasakan ketentraman cinta dan indahnya hidup rumah tangga selayaknya perempuan pada umumnya. Singkat kata, tradisi seksual seperti akhir novel RDP adalah wawasan berahi primitif yang tak mendatangkan rahmat kehidupan, dan justru membenankan manusia dalam keadaan tanpa martabat kemanusiaan. Menjaga martabat kemanusiaan itulah yang tak dipahami nikahsirri.com. Tanpa martabat, manusia tidak berarti apa-apa. n.
https://news.detik.com/kolom/3663849...radisi-seksual
0
5K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.1KThread41KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.