TRIBUNMANADO.CO.ID, KOTAMOBAGU - Tahun 1964, I Dewa Mangku Marutawan masih anak ingusan. Namun, ia harus mengalami perjalanan hampir dua minggu meninggalkan tanah kelahiranya di Bali. Berangkat 11 Maret 1964 dan tiba di Sulawesi Utara pada 26 Maret.

Ini awal perjalanan pertamanya keluar Pulau Bali sekaligus menjadi perjalanan terjauhnya saat itu. Ia bersama warga lainnya kemudian membangun kampung di Bolaang Mongondow. Lima puluh tahun sudah berlalu, warga keturunan Bali menempati Kampung Kembang Mertha, Dumoga, Bolmong. Warga memperingatinya dalam rangkaian acara puncaknya, Ngenteg Linggih Desa, Rabu (8/10/2014).

Ia menceritakan, saat berangkat tak hanya bersama keluarganya. Ada 199 kepala keluarga (KK) lain yang melakukan perjalanan pada saat itu. Mereka terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka setahun setelah meletusnya Gunung Agung. Sebanyak 200 KK ini, merupakan kloter kedua yang meninggalkan Bali.

"Letusanya bukan hanya dahysat, tapi juga sangat berdampak terhadap perekonomian masyarakat. Dan kemudian pemerintah mengambil kebijakan melakukan transmigrasi kepada sebagian warga," kata Dewa saat berbincang dengan Tribun Manado di sela acara Ngenteg Linggih Desa Kembang Mertha.
Pemerintah saat itu memboyong mereka ke sebuah wilayah di Dumoga. Bagi Dewa, daerah yang kemudian bernama Kembang Mertha itu jauh berbeda dengan kampungnya. "Dulu masih hutan belukar. Tentu saja sangat berbeda dengan situasinya dengan kampung kami sebelumnya," kata dia.

Para transmigran itu memulai babakan baru. Perumahan pun mulai dibangun, termasuk Pura Puseh. Sudah 50 tahun kemudian, hutan belukar tersebut kini sudah menjadi empat desa. Etos kerja para transmigran itu membuat daerah yang kini dihuni 650 KK itu menunjukkan kemajuan.

Bukan hanya sektor perekonomian saja, daerah tersebut kini sudah memiliki empat orang bergelar dokotor, belasan lainya sudah menyelesaikan master dan ratusan orang mengeya pendidikan hingga strata satu. Namun demikian, mereka tetap memegang teguh keyakinan leluhur mereka.

Sebagai rasa syukur, mereka pun menggelar serangkaian acara yang puncaknya adalah Ngenteg Linggih Desa, Rabu kemarin. Alunan gamelan Bali tanpa henti mengiringi prosesi ibadah ribuan di Pura Paseh. Ada tiga grup yang bergantian memainkan alat musik gamelan. Masing-masing berada di tiga tempat utama pura yang dibangun sejak 50 tahun lalu.

Hingga pukul 11.30 wita, warga masih berdatangan ke pure itu. Bukan hanya warga dari empat desa yang berada di Kembang Mertha. Mereka berdatangan dari beberapa desa di Dumoga, di antaranya, Mopugad, Mopuya, dan Werdhi Agung. Bahkan, ada juga umat Hindu yang datang dari luar daerah Bolmong.

Para perempan berpakain kebaya. Kebanyak di antaranya membawa sesajen di atas kepala mereka. Sementara para lelaki berpakaian putih dengan sarung. Mereka rata-rata membawa dupa. Memasuki gerbang pura, mereka mendapatkan air suci yang dipercikan di kepala mereka.

Pada acara ini, mereka mendatangkan para pendeta Hindu dari tanah leluhur mereka, Bali. Satu di antara pendeta tersebut adalah Ida Pedanda Gede Giri Dwija Guna, yang menjadi koordinator upacara sakral itu. Dia mengatakan Ngenteg Linggih ini baru pertama kali dilakukan sejak 50 tahun warga keturunan Bali ini bermukim di Desa Kembang Merta.

"Sebenarnya kegiatan ini dilakukan setiap 30 tahun sekali atau satu generasi. Namun ini juga disesuaikan dengan kemampuan dari masyarakat," kata Gede.

Kegiatan ini mengambil tema, dengan karya agung mamungkah, ngusaba desa, ngusaba nini, padudusan agung lan ngenteg linggih ring pura kahyangan Desa Pakraman Kembang Mertha, kita mantapkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran suci Veda dalam rangka memperkokoh persatuan umat dan kesatuan bangsa.

Ketua Parisade Kembang Mertha, I Dewa Gede Rai Sastrawan, mengatakan, rangkaian kegiatan ini merupakan rasa syukur mereka. Rai bahkan tampak terharu saat mengisahkan bagaimana pembangunan-pembangunan tersebut hingga seperti sekarang.

"Pembangunan tempat ibadah ini sudah dilakukan sejak orang tua kami datang di desa ini. Setelah itu pembangunannya tereruskan oleh generasi sebelumnya. Total anggaran yang sudah terpakai Rp 1,8 miliar, dan saat ini masih ada lagi yang kami kerjakan dengan anggaran Rp 500 juta," kata Rai. (edi sukasah)

Sumber: http://manado.tribunnews.com/2014/10...-dewata?page=2