- Beranda
- The Lounge
KEPENDUDUKAN, Agama Lokal Masih Terpinggirkan
...
TS
dewaagni
KEPENDUDUKAN, Agama Lokal Masih Terpinggirkan
KEPENDUDUKAN, Agama Lokal Masih Terpinggirkan
| Selasa, 23 Juni 2015 - 10:29 WIB | 866 Views

Ilustasi (Repro: icrp-online.org)
tradisi dan kebudayaan lokal bakal kian hilang seiring dengan kurang terpenuhinya hak-hak dasar warga negara penganut agama atau aliran kepercayaan lokal
JAKARTA, Baranews.co - Agama atau aliran kepercayaan lokal di Indonesia terus terpinggirkan dalam beberapa dekade terakhir. Jika kondisi ini dibiarkan, tradisi dan kebudayaan lokal bakal kian hilang seiring dengan kurang terpenuhinya hak-hak dasar warga negara penganut agama atau aliran kepercayaan lokal tersebut.
Demikian diungkapkan cendekiawan Muslim, Budhy Munawar-Rachman, di Jakarta, Minggu (21/6). "Tahun 1960-an, jumlah penganut agama lokal Wetu Telu di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mencapai kisaran 60 persen. Namun, sekarang jumlahnya terus berkurang hingga tinggal 20 persen," ucap Budhy.
Kondisi serupa terjadi di Sumba, NTB. Tahun 1960-an, jumlah penganut agama lokal Marapu di daerah ini mencapai 100 persen. Sekarang, jumlahnya tinggal sekitar 30 persen.
Saat identifikasi agama menguat tahun 1965, banyak kelompok agama/aliran kepercayaan lokal yang terpaksa membubuhkan agama baru dalam kartu tanda penduduk (KTP). Mereka yang bertahan pada keyakinan lokal tidak mendapat layanan dasar, mulai dari KTP, surat nikah, hingga akta kelahiran. Karena tak tercatat di administrasi kependudukan, akses layanan pendidikan dan kesehatan pun tertutup.
Proses peminggiran ini dipengaruhi oleh regulasi negara yang secara sistematis menghancurkan kelompok-kelompok tersebut. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan memang mulai mengakomodasi kelompok agama dan aliran kepercayaan dengan mengosongkan kolom agama di KTP. Namun, kebijakan ini tetap saja memunculkan stigmatisasi pada kelompok tertentu.
Secara terpisah, penekun Sunda Wiwitan, Dewi Kanti, Senin, mengungkapkan, UU Administrasi Kependudukan mewajibkan penganut agama/aliran kepercayaan lokal berorganisasi pada lembaga formal. "Pelembagaan seperti ini sangat rawan dipolitisasi pihak-pihak yang berkepentingan. Ini upaya sistemik negara memasung hak-hak dasar warga. Ini utang peradaban luar biasa dari negara," katanya.
Menurut Dewi, sampai sekarang masih banyak penganut Sunda Wiwitan yang tak tercatat dalam akta kelahiran. "Kami sungguh merasa dibedakan. Negara belum hadir untuk kami. Dalam konteks pelayanan publik, semestinya siapa pun warga negara mendapatkan pelayanan," tambahnya. (ABK)/KOMPAS cetak
http://m.baranews.co/web/read/42694/...n#.Wcemp72yTqD
| Selasa, 23 Juni 2015 - 10:29 WIB | 866 Views

Ilustasi (Repro: icrp-online.org)
tradisi dan kebudayaan lokal bakal kian hilang seiring dengan kurang terpenuhinya hak-hak dasar warga negara penganut agama atau aliran kepercayaan lokal
JAKARTA, Baranews.co - Agama atau aliran kepercayaan lokal di Indonesia terus terpinggirkan dalam beberapa dekade terakhir. Jika kondisi ini dibiarkan, tradisi dan kebudayaan lokal bakal kian hilang seiring dengan kurang terpenuhinya hak-hak dasar warga negara penganut agama atau aliran kepercayaan lokal tersebut.
Demikian diungkapkan cendekiawan Muslim, Budhy Munawar-Rachman, di Jakarta, Minggu (21/6). "Tahun 1960-an, jumlah penganut agama lokal Wetu Telu di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mencapai kisaran 60 persen. Namun, sekarang jumlahnya terus berkurang hingga tinggal 20 persen," ucap Budhy.
Kondisi serupa terjadi di Sumba, NTB. Tahun 1960-an, jumlah penganut agama lokal Marapu di daerah ini mencapai 100 persen. Sekarang, jumlahnya tinggal sekitar 30 persen.
Saat identifikasi agama menguat tahun 1965, banyak kelompok agama/aliran kepercayaan lokal yang terpaksa membubuhkan agama baru dalam kartu tanda penduduk (KTP). Mereka yang bertahan pada keyakinan lokal tidak mendapat layanan dasar, mulai dari KTP, surat nikah, hingga akta kelahiran. Karena tak tercatat di administrasi kependudukan, akses layanan pendidikan dan kesehatan pun tertutup.
Proses peminggiran ini dipengaruhi oleh regulasi negara yang secara sistematis menghancurkan kelompok-kelompok tersebut. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan memang mulai mengakomodasi kelompok agama dan aliran kepercayaan dengan mengosongkan kolom agama di KTP. Namun, kebijakan ini tetap saja memunculkan stigmatisasi pada kelompok tertentu.
Secara terpisah, penekun Sunda Wiwitan, Dewi Kanti, Senin, mengungkapkan, UU Administrasi Kependudukan mewajibkan penganut agama/aliran kepercayaan lokal berorganisasi pada lembaga formal. "Pelembagaan seperti ini sangat rawan dipolitisasi pihak-pihak yang berkepentingan. Ini upaya sistemik negara memasung hak-hak dasar warga. Ini utang peradaban luar biasa dari negara," katanya.
Menurut Dewi, sampai sekarang masih banyak penganut Sunda Wiwitan yang tak tercatat dalam akta kelahiran. "Kami sungguh merasa dibedakan. Negara belum hadir untuk kami. Dalam konteks pelayanan publik, semestinya siapa pun warga negara mendapatkan pelayanan," tambahnya. (ABK)/KOMPAS cetak
http://m.baranews.co/web/read/42694/...n#.Wcemp72yTqD
0
3K
39
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•104.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya