Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

n4z1Avatar border
TS
n4z1
Punah di Ujung Bedil Belanda
Punah di Ujung Bedil Belanda

Rampogan sima membuat populasi harimau Jawa berkurang. Tapi datangnya bedil Belanda telah mempercepat kepunahannya.


Foto harimau Jawa hidup, Panthera tigris sondaica, diambil pada 1938 di Ujung Kulon
Foto : Andries Hoogerwerf (29 August 1906 – 5 February 1977)/Wikimedia Commons
Kamis, 21 September 2017

.
Harimau Jawa (Javan Tiger), yang bernama latin Panthera Tigris Sondaica, pernah hidup di sejumlah hutan di Pulau Jawa, mulai ujung Banyuwangi di Jawa Timur sampai Ujung Kulon di Banten. Kini, tak satu pun hewan karnivora besar itu bisa dilihat lagi.

Bahkan, pemerintah melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia hanya memiliki ‘harta karun’ berupa sisa-sisa bagian tubuh (spesimen) hewan buas itu. Pusat Penelitian Biologi LIPI, yang terletak di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menyimpan dua spesimen kulit harimau Jawa, juga dua harimau Bali. Itupun peninggalan Belanda.

Begitu juga dengan sejumlah spesimen kulit harimau Sumatera dan macan tutul atau macan kumbang, yang rata-rata merupakan koleksi sejak tahun 1900-an. “(Spesimen) harimau Sumatera saja yang masih ada. Kita belum ada penambahan koleksi spesimen. Seharusnya ada yang baru. Ini lama sekali,” kata peneliti mamalia di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Profesor Gono Semiadi, kepada detikX, Senin, 18 September 2017.

Gono pun mengajak tim detikX ke Collection Room Block, sebuah ruangan berpenyejuk udara dan kedap suara dengan pintu besi yang besar. Ada sejumlah spesimen fauna atau berbagai jenis hewan yang hidup di seluruh wilayah Indonesia di ruangan itu. Setiap spesies, kelas, dan ordo hewan tersimpan dengan rapi di dalam lemari.

Termasuk dua spesimen harimau Jawa peninggalan Belanda tahun 1910, yang tersimpan dalam lemari khusus dan besar. Kulit harimau itu tergantung bersama dua kulit harimau Bali dan beberapa macan tutul atau macan kumbang. Juga terlihat sejumlah kerangka dan tengkorak kepala harimau.


Sekelompok pria dan anak-anak berpose dengan harimau yang telah dibunuh di Malingping, Banteng, Jawa Barat
Foto : Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures (Wikimedia Commons)


“Inilah ruangan harta karun milik pemerintah Indonesia, yang satu-satunya menyimpan dua spesimen kulit harimau Jawa dan Bali. Ada 30 spesimen kulit harimau Jawa lainnya, tapi ada di luar negeri,” ungkap Gono sambil membuka lemari penyimpanan itu.

Gono mengatakan, kepunahan harimau Jawa terjadi seiring dengan mulai masuknya senjata api ke nusantara pada era kolonialisme Belanda. Memang di nusantara saat itu ada budaya ‘adu bagong’ dan ‘rampogan sima’. Seperti gladiator, harimau Jawa atau macan tutul dilepas di tengah massa yang membawa tombak untuk membunuh binatang itu.

“Tapi, kalau hanya budaya, itu sebenarnya tidak sampai memusnahkan. Tapi dengan adanya bedil (senjata api) masuk yang dibawa Belanda itu lebih signifikan,” jelas Gono.


Selain itu, populasi harimau Jawa cepat menyusut akibat hutan-hutan di Pulau Jawa yang kecil itu dijadikan perkebunan kopi, karet, teh, dan sawit antara tahun 1800 hingga 1900-an. Perluasan perkebunan hingga ke wilayah pegunungan, menyebabkan habitat harimau Jawa kehilangan lahan jelajahnya yang luas. Akibatnya, banyak harimau keluar hutan dan diburu manusia.

Dalam catatan Belanda tahun 1650, disebutkan bahwa untuk berpergian dari Jakarta menuju Bogor saja harus dikawal ketat karena menghadapi serangan harimau Jawa di tengah jalan. Pada tahun 1860-1890, disebutkan ada ratusan harimau Jawa yang dibunuh di kawasan Brebes, Tegal, dan Pemalang (Jawa Tengah).


“Tahun 1930 ada pemburu asal Belanda bernama Ledeboer yang mengaku membantai ratusan harimau Jawa di kawasan Banyuwangi (Jawa Timur),” kata peneliti dari Peduli Karnivora Jawa, Didik Raharyono, kepada detikX.


Pada 1999-2002, saat pergantian penguasa Orde Baru ke Orde Reformasi,banyak hutan yang dibabat dengan dalih pembangunan dan perluasanperkebunan. Saat itulah banyak laporan perjumpaan dan pembunuhan harimau Jawa di luar habitatnya. Termasuk di habitat terakhir keberadaan harimau diTaman Nasional Meru Betiri. “Karena klaim habitat terakhir harimau Jawa di sana,kantong-kantong populasi harimau itu terabaikan, bahkan dinisbikan, terlebih dengan justifikasi punah,” ujar Didik.


Profesor Gono Semiadi menunjukkan spesimen harimau Jawa yang dikoleksi oleh LIPI.
Foto : Syailendra Hafiz Wiratama/detikX


Didik, yang giat melakukan penelitian sejak 1997, pernah menemukan langsung bukti bekas aktivitas harimau Jawa. Temuannya berupa jejak tapak kaki, cakaran pada pohon, sampel feses (kotoran) dan rambut. Bahkan hasil temuannya itu pernah diseminarkan di Universitas Gadjah Mada pada 1998. Saat itu dihasilkan rekomendasi agar dilakukan peninjauan ulang atas penetapan status punah bagi macan loreng itu.

Pemerintah dinilai Didik terkesan kurang peduli terhadap perlindungan hewan karnivora. Misalnya pada 2009, macan tutul Jawa masuk dalam 17 jenis prioritas satwa konservasi karena memiliki status. Tapi pada 2012, macan tutul dikeluarkan dari prioritas konservasi, sehingga tinggal 14 jenis hewan saja yang dilindungi.

Walau pemerintah memiliki sejumlah taman nasional dan balai konservasi sumber daya alam (BKSDA), gereget untuk melindungi spesies sangat jauh dari yang diharapkan. Sementara itu, BKSDA dinilai kurang berminat melindungi macan tutul yang berada di luar kawasan konservasi. “Ini dibuktikan dengan tidak adanya data populasi macan tutul di luar kawasan konservasi, seperti hutan lindung dan cagar alam,” tutur Didik.

Karena opini punah sudah begitu melekat kuat di kalangan pemerintah,masyarakat pun tidak bisa membedakan mana macan loreng dan macan tutul. Apalagi hampir semua masyarakat di Jawa menyebut semua kucing besar dengan sebutan macan. “Mungkin pemerintah bersama masyarakat bisa melakukan kajian bersama di lokasi-lokasi yang dilaporkan terlihat harimau Jawa,”ujar Didik.

Hal serupa diungkapkan oleh Profesor Gono. LIPI sangat menyayangkan sikap lembaga konservasi untuk masalah harimau Jawa ini. Bahkan lembaga konservasi tertua di Surabaya saja tak pernah memasukkan harimau Jawa dalam konservasi mereka.


Sejumlah koleksi tengkorak harimau di Pusat Penelitian Biologi LIPI
Foto : Syailendra Hafiz Wiratama/detikX


Bahkan LIPI tak meyakini ukuran asli dari harimau Jawa karena tidak adanya data spesifik yang menunjukkan ukuran hewan tersebut. Pihak Belanda saat itu belum sempat melakukan pengukuran. Karena itu, bila benar harimau Jawa kembali ditemukan, tentunya upaya Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dalam soal pengamanan harus ditingkatkan.

“Dan ini akan lebih rumit pengelolaannya, karena di sana nanti ada dua spesies yang terancam punah, yakni badak Jawa bercula satu dan harimau Jawa, jika benar itu ditemukan di sana,” ucap Gono.

Secara ilmiah, Gono menambahkan, harimau Jawa memang sudah divonis punah. Hal itu disebabkan lebih dari 50 tahun tidak ada bukti otentik yang menunjukkan pertemuan langsung dengan satwa tersebut. Walau banyak warga di sekitar pegunungan mengklaim bertemu atau melihat harimau Jawa, tidak ada bukti konkretnya. Karena itu, saat ini dunia penelitian, khususnya soal fauna,mulai gencar memakai teknologi camera trap (kamera jebak).

“Sekarang bukti otentik itu dalam gambar foto atau video yang betul-betul nanti bisa kita telaah apakah benar itu harimau atau macan tutul,” katanya.

Sampai hari ini, pihak Balai TNUK bekerja sama dengan WWF Indonesia telah menurunkan dua tim berjumlah delapan orang untuk melakukan ekspedisi guna memastikan keberadaan harimau Jawa dan memasang kamera jebak. Tim ini juga sekaligus melakukan konservasi terhadap famili kucing-kucingan yang berada di hutan TNUK.

Tim tersebut bergerak dalam radius 4 kilometer meter dari lokasi penemuan macan yang diduga harimau Jawa tengah memakan bangkai banteng di Blok Cidaon. Tim ini juga akan memasang beberapa kamera jebak di sekitar penemuan macan tersebut dan di perbukitan.

Pencarian juga akan dilakukan di Gunung Payung dan perbukitan Talanca dikawasan TNUK. Di dua lokasi ini memang terdapat bebatuan dan gua yang bisa dihuni habitat hewan karnivora kucing besar. Sungai di sekitar kawasan ini juga akan menjadi wilayah pelacakan harimau Jawa karena semua hewan pasti minum menuju sungai pada musim kering ini.

“Kamera dipasang di sekitar tempat ditemukan macan diduga harimau Jawa dan sekitar perbukitan. Karena keluarga kucing habitatnya lebih banyak di perbukitan hingga pegunungan,” kata Koordinator Spesies WWF Ujung Kulon Ridwan Setiawan, yang akrab disapa Iwan Podol, kepada detikX.
Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

https://x.detik.com/detail/crimestor...anda/index.php

=====================


Misteri Si Loreng di Alas Ujung Kulon


“Dari sini saja kita bisa lihat ukurannya lebih mendekati ke macan tutul.”


Pemerintah resmi menyatakan harimau Jawa (Javan tiger), yang bernama Latin Panthera tigris sondaica, punah pada 1994. Begitu juga Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) di Florida, Amerika Serikat, yang menyatakan karnivora terbesar di Pulau Jawa itu punah pada 1996.

The Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan harimau Jawa mengalami kepunahan (extinct) pada 1970. Kucing besar loreng ini punah akibat perburuan, kehilangan hutan sebagai habitat, dan kekurangan mangsa. Nasib yang sama dialami harimau Kaspia dan harimau Bali.

Dua puluh tiga tahun kemudian, tiba-tiba publik dihebohkan oleh penampakan seekor macan yang tengah memangsa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Pandeglang, Banten, 25 Agustus 2017. Hewan buas itu terekam kamera petugas Ranger TNUK yang tengah melakukan inventarisasi banteng di padang penggembalaan Cidaon.

Penampakan diduga harimau Jawa itu pun menjadi viral dan ramai diberitakan media massa, baik dalam maupun luar negeri. Tentu ini mengejutkan, sekaligus temuan yang menggembirakan, bahkan terkesan euforia. Namun tak lama kemudian muncul pro dan kontra terkait penemuan terduga hewan yang oleh sebagian masyarakat dijuluki Abah Kolot (Banten dan Sunda) atau Simbah (Jawa) itu.

Balai TNUK menerjunkan dua tim, yang terdiri atas petugas TNUK dan World Wildlife Foundation (WWF) Indonesia, untuk mencari jejak macan itu pada 12 September 2017. Tim ini berada di hutan selama sepuluh hari, termasuk memasang camera trap (kamera jebak) di hutan. “Kita survei untuk membuktikannya. Kita turunkan dua tim untuk melakukan ekspedisi kucing besar itu,” ujar Kepala Balai TNUK Mamat Rahmat.

Salah seorang anggota tim yang masih berada di hutan, yakni Koordinator Spesies WWF Ujung Kulon Ridwan Setiawan, menyatakan belum berani menyimpulkan temuan terbaru itu harimau Jawa. Ia hanya mengatakan timnya masih berada di dalam hutan dan sedang memasang camera trap di sekitar lokasi penemuan terduga harimau Jawa. “Karena keluarga kucing besar itu habitatnya lebih banyak di perbukitan hingga pegunungan,” tutur pria yang akrab disapa Iwan Podol itu kepada detikX.

Adapun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tegas menyatakan 90-95 persen foto predator yang diduga harimau Jawa itu adalah macan tutul Jawa. LIPI mengetahui kemunculan kabar penampakan harimau Jawa itu pada 5 September 2017 saat dilakukan open house di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor.

Penampakan hewan yang diduga harimau Jawa itu direkam menggunakan telepon seluler dengan format video pada jarak yang cukup jauh oleh petugas TNUK. Saat itu LIPI mengatakan agar foto itu tidak buru-buru dipublikasikan dan menunggu konfirmasi gambar serta analisis dari sejumlah pihak.

“Sayangnya, nggak lama muncul berita dengan foto hasil screen cut tayangan video mengenai gambar terduga harimau Jawa ukuran 780 x 439 piksel. Jadi seperti ada miss identification,” kata peneliti senior Pusat Penelitian Biologi LIPI, R. Taufiq Purna Nugraha, kepada detikX di kantornya, Cibinong, Kabupaten Bogor, 18 September 2017.

Taufiq menerangkan pihaknya telah melakukan metode forensik pada foto dengan menggunakan dua pendekatan. Pertama morphometry, yaitu mengukur dimensi tubuh terduga harimau Jawa itu dengan pembanding kontrol seekor burung merak hijau, yang tak jauh dari keberadaan mamalia itu.


Hasil penelitian terduga harimau Jawa pada foto milik TNUK.
Foto : Dok. Pusat Penelitian Biologi LIPI


Dengan metode ini, diketahui ukuran tubuh hewan buas itu 100,9-111 cm dan panjang ekor 75,1-82,7 cm. Hasil temuan itu lalu dibandingkan dengan ukuran macan tutul yang memiliki panjang tubuh 92-190 cm dan panjang ekor 94-99 cm. “Dari sini saja kita bisa lihat ukurannya lebih mendekati ke macan tutul,” ujarnya.

Menurut Taufiq, memang tidak ada referensi mengenai ukuran tubuh harimau Jawa. Namun, bila disandingkan dengan foto penampakan harimau Jawa pada 1938 di TNUK, didapati rasio dengan hewan yang masih misterius itu 0,48:0,74 untuk panjang badan. Sedangkan rasio tinggi badan kedua hewan tersebut adalah 0,49:0,59.

Teknik penelitian kedua menggunakan metode deblurring dan contrast enhancement, yaitu melakukan serangkaian manipulasi foto untuk mempertajam sosok terduga harimau Jawa. Hasilnya, kulit macan yang terekam kamera itu memiliki motif bercak, sedangkan harimau Jawa motif kulitnya bergaris atau loreng.

Ketiga, assessment perilaku makan terduga harimau Jawa dalam rekaman video. Kepada detikX sempat diperlihatkan rekaman utuhnya. Saat kucing besar memakan bangkai banteng, terlihat kibasan ekor macan ke kiri dan ke kanan dengan jelas. “Harimau ketika makan tidak terlalu aktif ekornya, karena relatif pendek dan kecil,” Taufiq menambahkan.

Anton Ario dari Forum Macan Tutul Jawa juga menguatkan pernyataan bahwa foto yang diduga sebagai harimau Jawa di TNUK adalah macan tutul Jawa. Ia, yang berkecimpung dalam penelitian soal macan tutul Jawa di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango selama 20 tahun, hafal betul dengan bentuk, warna, dan corak macan tutul Jawa.


Perbandingan rasio antara terduga harimau Jawa di TNUK, harimau Jawa, dan macan tutul.
Foto : Dok. Pusat Penelitian Biologi LIPI


“Saya tahu betul. Dari cara makan macan yang diduga harimau dalam video itu, terlihat kibasan ekornya itu identik sekali dengan macan tutul, bukan harimau,” kata Program Manager for Gedephala di Conservation International Indonesia ini kepada detikX.

Ia menerangkan banteng yang dimakan macan itu sudah mati, kemungkinan besar dimakan anjing hutan. Macan tutul di kawasan TNUK belum pernah memakan mangsa sebesar banteng, kecuali kijang atau rusa serta primata dan burung.

Erwin Wilianto dari Forum Harimau Kita juga menduga kuat foto penampakan macan yang memakan bangkai banteng itu adalah macan tutul. Di kawasan itu terdapat lebih dari 100 camera trap. Namun selama 10 tahun sejak dipasang, belum pernah terekam keberadaan harimau Jawa, kecuali macan tutul atau macan kumbang. “Jadi sangat kecil kemungkinan kalau harimau Jawa ditemukan di sana (TNUK),” tuturnya.

Erwin juga sangat menyayangkan pemberitaan yang menyebutkan lokasi penemuan macan yang diduga harimau Jawa itu di TNUK. Pasalnya, penyebutan nama lokasi penemuan itu dapat memancing para pemburu kucing besar tersebut.

“Para pemburu juga memantau jurnal ilmiah. Seharusnya nama lokasi tak disebutkan. Kalau keluar nama lokasi, pemburu akan mengejar ke sana. Ini jalan bagi para pemburu. Mereka juga sampai mantau akun komunitas Facebook teman-teman pencinta macan dan harimau,” katanya.

Anton menambahkan, sampai saat ini diprediksi populasi macan tutul Jawa berjumlah 500 ekor. Angka ini saja kian hari kian menyusut bila melihat luasan hutan di Pulau Jawa, belum lagi aksi perburuan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Ia sangat menghargai pihak yang meyakini harimau Jawa masih ada.

“Saya menghargai pihak yang meyakini harimau Jawa masih ada, tapi sangat disayangkan jika energi kita habis untuk memperdebatkan keberadaan harimau Jawa. Lebih baik bagaimana melestarikan macan tutul yang ada di depan mata,” ucapnya.

Didik Raharyono, peneliti dari Peduli Karnivora Jawa, adalah salah satu yang masih percaya harimau Jawa belum punah total. Selama melakukan penelitian lebih dari 20 tahun, ia masih menemukan beberapa aktivitas harimau Jawa di beberapa hutan di Pulau Jawa. Ia menemukan beberapa bekas jejak tapak kaki, kotoran, dan bekas cakaran di pohon.

Begitu juga pengakuan sejumlah penduduk lokal di sekitar pegunungan yang pernah bertemu dan membunuhnya. Namun Didik mengaku belum pernah secara langsung melihat wujud bangkai harimau Jawa yang dibunuh warga itu.

“Sebagian besar mereka yang membunuh harimau baru bercerita setahun atau enam bulan kemudian, karena mereka tahu hewan itu dilindungi. Penuturan itu kadang hanya beredar di kalangan internal mereka saja,” ujar Didik kepada detikX.

Didik mengaku, pada 2016 menemukan tapak kaki dan kulit harimau di kawasan Jawa Timur yang diduga dibunuh pada 2014. Saat itu ia sudah mengirimkan sampel spesimen kulit untuk dites DNA ke LIPI dan IPB. “Sampai sekarang belum ada kabar lanjutannya,” ujarnya.

Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M. Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

==================


Fix ya sekarang, itu bukan Harimau Jawa. Itu adalah Macan Tutul Jawa.
Jadi kalau ada kaskuser yang bilang 'katanya' sering mendengar auman Harimau saat mendaki gunung, bolehlah ditelaah dulu, itu suara auman Harimau atau Macan. Ini seperti membedakan suara domba dengan kambing, kijang dengan rusa, atau 2 species dalam family yang sama.

Ciri khas manusia itu, ada diabaikan, tak ada dicari. Banyak disia-sia, sedikit disayang-sayang.

Aing macan! Saha sia!!!!
0
9.7K
43
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.1KThread41KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.