BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Bahaya laten film G 30 S bagi anak-anak

Poster film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI
Tiap bulan September, film 'Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI' kembali menjadi perbincangan. Pekan lalu, TNI Angkatan Darat (AD) lewat sebuah surat, mengajak masyarakat nonton bareng (nobar) film itu.

Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Wuryanto nobar yang digelar TNI AD merupakan momentum untuk kembali mengingat sejarah.

Menurutnya, pelajaran sejarah dan Pancasila mulai berkurang selama era Reformasi. "Saat ini banyak sekali upaya pemutarbalikkan fakta sejarah peristiwa 30 September 1965," kata Wuryanto dalam keterangannya yang dikutip dari detikcom, Jumat (15/9/2017).

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan tak melarang pemutaran film itu. Menurut Tjahjo, masyarakat dan generasi muda saat ini perlu tahu sejarah tragedi 1965. "Namanya sejarah, agar masyarakat dan generasi muda mengetahui bahwa pernah ada gerakan kudeta," kata Tjahjo seperti dikutip dari Kompas.com, Jumat (15/9/2017).

Tjahjo tak masalah jika film yang disutradarai Arifin C Noer itu diputar di layar-layar kaca televisi nasional. "Putar saja di stasiun televisi. Menurut saya, tidak masalah," kata Tjahjo.

Film yang diproduksi pada 1984 ini menjadi tontonan wajib masyarakat era Orde Baru. Namun sejak September 1998, film ini sudah tak wajib tayang di televisi.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai film itu bahaya untuk ditonton anak-anak. Komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Listyarti menilai ada tiga hal yang membuat film itu tak layak tonton.

Pertama, ada beberapa adegan sadis, penuh kekerasan, dan darah. Kedua, banyak diksi yang juga mengandung kekerasan, salah satu pernyataan "darahmu halal jenderal", dan diksi lain yang kemungkinan besar tidak dipahami anak-anak.

"Adegan kekerasan, baik kekerasan verbal, apalagi kekerasan fisik berupa penyiksaan dan pembunuhan, akan menimbulkan trauma buruk pada anak-anak, hal ini membahayakan kondisi psikologis anak-anak," tuturnya seperti dikutip dari Wartakota, Minggu (17/9/2017).

Ketiga, masih banyak film-film sejarah yang lebih mendidik dan layak disaksikan anak-anak. Menurut Retno, film sejarah sejatinya harus membangkitkan rasa nasionalisme dan memancing cara berpikir kritis pada anak-anak.

"Film-film perjuangan dan biografi para pahlawan Bangsa Indonesia (lainnya) ada banyak dan layak dipelajari serta ditonton oleh anak-anak," kata Retno.

Tontonan kekerasan menjadi bahaya laten buat anak-anak.

Menurut Psikolog Ajeng Raviando, Psi, kepada VIVA.co.id dengan melihat banyak adegan kekerasan, anak bisa diliputi rasa takut. Hal yang lebih berbahaya adalah anak menjadi berpikir bahwa kekerasan itu adalah hal yang biasa.

Sehingga, rasa empati anak bisa menurun saat melihat perilaku kekerasan di sekitarnya. Bahkan, anak juga bisa melakukan aksi kekerasan, karena merasa kekerasan bukan hal yang buruk untuk dilakukan.

"Anak jadi berpikir, kalau kekerasan itu boleh saja dilakukan. Padahal, kan itu tidak boleh. Makanya, tontonan anak harus sesuai usianya," kata Ajeng, Selasa (7/3/2017).
Tentara dan Keluarga Korban Keberatan
Walau ada ajakan menonton dari TNI AD, tak semua tentara sepakat dengan film ini. Hal ini lantaran film ini dinilai tak menggambarkan fakta yang menyeluruh.

Penarikan film ini dari wajib tayang pada 1998 tak lain karena keberatan dari TNI Angkatan Udara. Lengsernya Soeharto kursi presiden, menjadi momentum untuk meluruskan sejarah.

Menurut penelusuran sejarawan Asvi Warman Adam, para purnawirawan TNI AU (PPAU) yang kemudian menyurati Menteri Penerangan Yunus Yosfiah. Para marsekal atau jenderal TNI AU ini tak terima TNI AU seolah-olah terlibat G30S.

Permintaan penghentian tayang juga datang dari Marsekal TNI (Purn.) Saleh Basarah, mantan KSAU (1973-1977).

"Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal Saleh Basarah yang menelepon menteri penerangan dan menteri pendidikan. Itulah akhirnya kenapa film itu tidak ditayangkan lagi per 1 Oktober 1998," kata Asvi kepada merdeka.com.

TNI AU dituding terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Akibatnya, Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara TNI (Purn.) Omar Dhani dipenjara selama 29 tahun karena dituduh terlibat G30S.

Nani Nurrachman Sutojo, putri Mayjen TNI (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo, salah satu dari tujuh perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi korban 1965 kecewa dengan film itu.

"Ternyata film ini jauh dari bayangan saya tentang sebuah tuturan sejarah. Malah berlebihan menonjolkan Pak Harto," tulis Nani, dalam bukunya 'Kenangan Tak Terungkap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965'.

Menurut Nani, film itu tidak menceritakan konteks sosial yang lebih dalam. Sehingga penonton, apalagi generasi muda yang lahir setelah peristiwa itu pasti tak akan paham karena gambarannya tidak utuh.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...bagi-anak-anak

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Polisi bongkar jaringan pornografi anak

- Skytrain pertama resmi beroperasi di Soekarno-Hatta

- Perlukah tas dan sepatu dilaporkan dalam SPT Pajak

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
26.2K
214
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread730Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.