Sudrajat - detikNews



Husein bin Ali al-Habsyi, terpidana pemboman Borobudur, 21 Januari 1985. (Ilustrasi: Edy Wahyono)

Jakarta -
Pemerintah sama sekali tidak berniat menjadikan Candi Borobudur sebagai tempat ibadah. Karena itu siapa pun orangnya dan apa pun agamanya boleh mengunjungi Borobudur. "Bagi umat Budha yang ingin beribadat, pemerintah telah menunjuk candi Mendut," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto mengutip penegasan Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Senin, 21 Januari 1985.

Sikap Soeharto itu terkait dengan aksi peledakan bom yang merusak Sembilan stupa di Borobudur beberapa jam sebelumnya. Dia sepertinya benar-benar geram karena selang dua tahun sebelumnya candi tersebut baru selesai dipugar dengan biaya puluhan juta dolar dari badan pendidikan dan kebudayaan dunia, Unesco. Tak heran bila Indonesia seketika jadi sorotan internasional.

"Yang meledakkan itu tidak mempunyai kebanggaan nasional, karena Borobudur adalah monumen nasional, bahkan sudah menjadi monumen dunia," kata Soeharto seperti dikutip Nugroho kepada para wartawan kala itu.

Selain Soeharto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pun menyimpan kegeraman tersendiri. Maklum, dia termasuk orang di balik proyek pemugaran tersebut. (baca: Kisah Cinta Raffles - Daoed Joesoef Kepada Borobudur).

"How come?" tulis Daoed dalam buku Borobudur yang diterbitkan pada 2004. Ledakan yang menghancurkan itu, dia melanjutkan, pasti mencoreng muka Ibu Pertiwi yang beradab karena ternyata masih memiliki putra yang biadab.

Saat proses pemugaran berlangsung, 10 Agustus 1973 hingga diresmikan 23 Februari 1983, Daoed mengaku kerap menerima surat kaleng dan selebaran gelap. Isinya berupa makian, hujatan, dan kutukan. Daoed dituding sebagai orang kafir dan bertanggung jawab atas pembangunan berhala terbesar di tanah air.

Selang empat bulan kemudian, aparat mengadili kakak beradik, Husein bin Ali al-Habsyi dan Abdul Kadir bin Ali al-Habsyi. Keduanya dituduh melakukan aksi pemboman sebagai balas dendam atas peristiwa Tanjung Priok 1984. Mereka menolak tuduhan jaksa, tapi pengadilan tetap memutuskan mereka bersalah. Abdul Kadir dihukum 20 tahun sedangkan Husein seumur hidup. Tapi Husein mendapatkan grasi dari pemerintah Habibie pada 23 Maret 1999.

Anehnya, dalang peledakan Ibrahim alias Mohammad Jawad alias Krisna alias Abu Mahdi ustadz tak pernah bisa dihadirkan di persidangan. Menurut Husein yang tuna netra, Jawad pernah beberapa kali memberikan ceramah di tempat pengajian yang dikelolanya di Malang, Jawa Timur. "Ternyata dia punya rencana-rencana peledakan yang justru baru saya ketahui setelah terjadi. Ia punya proyek-proyek peledakan. Itu dilakukan bersama murid-murid saya yang direkrutnya," ujarnya kepada Tempo beberapa hari setelah mendapatkan grasi dari Presiden Habibie.



Hampir 30 tahun berselang, tepatnya 15 Agustus 2014, muncul ancaman teror terhadap Borobudur di media sosial. Akun Facebook bernama "We Are Islamic State" menyatakan akan meledakkan candi peninggalan dinasti Syailendra sekitar tahun 800-an masehi tersebut. Tak ingin kecolongan seperti 30 tahun lalu, polisi menanggapi ancaman itu dengan serius.

Ketika pekan lalu sejumlah ormas berencana menggelar demonstrasi Aksi Bela Muslim Rohingya dalam bentuk "Gerakan Sejuta Umat Muslim Mengepung Candi Borobudur" Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian yang baru pulang berhaji tegas menolaknya. Selain konflik Rohingya tak murni persoalan agama, Borobudur memang tak sepenuhnya mewakili umat Budha. Seperti dikatakan Soeharto, Borobudur itu monumen dunia, bukan semata milik umat Budha.









https://m.detik.com/news/berita/d-3634491/teror-borobudur-dari-facebook-surat-kaleng-hingga-bom


Sekelumit kisah dibalik pengeboman borobudur 1985, dan sikap presiden saat itu, cukup menarik jg