- Beranda
- Berita dan Politik
Para Penikmat Kemilau Papua, Sebelum 51% Saham Freeport Beralih ke RI
...
TS
sitorusborus
Para Penikmat Kemilau Papua, Sebelum 51% Saham Freeport Beralih ke RI
Quote:
Tunduknya PT Freeport Indonesia kepada pemerintah Indonesia dengan menjual sahamnya sebesar 51%, itu artinya juga menghapus permainan penguasaan saham yg dilakukan oleh pihak swasta nasional. Permainan yg juga melibatkan pejabat pemerintah dalam mengatur ketentuan kepemilikan saham. Setelah Kontrak Karya (KK) I PT Freeport berakhir pada tahun 1991, Pemerintah langsung memberikan KK II pada bulan Desember 1991. Pada KK II, luas konsesi pertambangan bertambah menjadi 2,6 juta hektare, meliputi seluruh gunung hingga turun ke Lembah Mimika dan sampai ke pantai Laut Arafuru. Wilayah tersebut merupakan wilayah hunian suku Kamoro yang membentang dari pegunungan Weland di sebelah barat, termasuk pegunungan Membramo sampai ke pegunungan Bintang di sebelah timur yang berbatasan dengan Papua New Guinea. Di seluruh wilayah tersebut, terdapat berbagai kandungan mineral logam utama, yaitu tembaga, emas, dan perak. Grastberg sendiri diperkirakan mengandung 51,8% potensi emas Indonesia. Kontrak Karya 1991 ini memberikan hak penguasaan selama 30 tahun pada Freeport dengan masa perpanjangan 2x10 tahun. Pemberian dan perpanjangan Kontrak Karya kepada perusahan asing, juga menjadi ajang para kleptokrasi orde baru, untuk mengambil upeti dari perusahaan tambang tersebut, bagi kelompoknya. Pada masa itu, seorang pejabat bisa saja memerintahkan bawahannya untuk memanipulasi tender dan menandatangani surat-surat kontraknya. Lazim bila seorang pejabat secara ilegal namun “sah”, mendapatkan upeti dari sebuah perusahaan seperti Freeport.
Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, akan diberikan upeti oleh Freeport sebesar 10% dari saham. Akan tetapi, Menteri tersebut mencium bahwa di masa datang, hal ini akan terbuka dan tak pelak lagi akan mencemarkan karier politiknya. Untuk itu, dia menyuruh Dirjen Pertambangan Umum pada saat itu, untuk menandatangi penyerahan saham itu. Selanjutnya, diatur agar upeti dalam bentuk saham itu dikelola melalui PT Indocoper Investama Corporation (IIC). Adapun pemegang saham PT IIC adalah Bakrie 49%, Freeport 49% dan publik sebesar 2%. Kolusi yang terjadi sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari syarat-syarat kontrak karya yang dibuat oleh Dirjen Pertambangan Umum melalui restu Mentamben. Dalam kontrak karya kedua, meskipun diizinkan memiliki 100% kepemilikan saham, secara bertahap setelah empat tahun berproduksi, Freeport harus menyerahkan sebagian saham kepada Pemerintah dan mitra lokal hingga sebesar 51%. PT Freeport menolak permintaan tersebut sebab ada klausul pada perjanjian tersebut bahwa Freeport diberi keleluasaan memilih peraturan yang lebih menguntungkan (butir d ayat 2 pasal 24).
Dengan kenyataan tersebut, akhirnya Pemerintah hanya diberi 9,36% saham dan PT Indocopper Investama juga 9,36% sebagai mitra lokal. Meski disebut mitra lokal, perusahan nasional swasta tersebut tidak diikutsertakan dalam proses produksi pertambangan. Mereka hanya terlibat dalam penyediaan hotel, perumahan, atau pengelolaan lapangan terbang Timika. Hal itu merupakan pekerjaan-pekerjaan pinggiran. Menurut laporan Securities and Exhange Commission yang dikeluarkan Freeport, semua alokasi pekerjaan sudah dipersiapkan oleh Freeport McMoran Gold and Copper Inc. Dalam wawancara dengan majalah Prospek, 13 Juli 1998, Aburizal Bakrie mengatakan, saham tersebut sebenarnya dimiliki oleh Mentamben saat itu. Lebih lanjut, menurut Aburizal Bakrie, setelah mendapat kepastian dari Menkeu saat itu, J.B. Sumarlin, pihaknya mengajukan niat membeli 10% saham tersebut (Suara Pembaruan 10 Januari 1997). Kemudian, Bakrie melakukan negosiasi harga, dan disepakati harga yang berlaku di Bursa New York. Saat itu harga saham Freeport di Bursa New York sebesar 23 dolar AS per lembar saham. Pada tahun 1996, PT Nusamba Mineral Industri (PT NMI) milik Bob Hassan, mengambil alih seluruh saham Bakrie di PT IIC (sebesar 49%). Dengan dijualnya saham Bakrie di PT IIC kepada Bob Hassan, Bakrie praktis tidak lagi memiliki saham Freeport.
Sebenarnya, Bakrie sendiri tidak berniat menjual saham IIC sebesar 49% yang dikuasai PT Freeport Indonesia, dan sisanya 2% lagi dikuasai oleh Bakrie Investindo. Namun, anehnya, berselang dua bulan dari pernyataan Bakrie untuk tidak akan menjual sahamnya, ternyata Bakrie menjual sahamnya kepada Bob Hasan dengan harga 254 juta dolar AS. Untuk membeli saham tersebut, Bob mendapatkan pinjaman dari Chase Manhattan Bank yang dijamin oleh perusahaan induk Freeport, yaitu FMCG. Ini sebenarnya tidak lebih dari pemberian upeti yang bahasa halusnya pemberian saham untuk Soeharto melalui Bob Hasan. Selain saham tersebut, Soeharto sebenarnya juga telah mendapatkan upeti lainnya dari Freeport. Berdasarkan pemberitaan Prospek, 13 Juli 1998, pada 1996 dan 1997, bersamaan dengan diterbitkannya Keppres No.92/1996, Freeport telah menyerahkan uang kepada Yayasan Dana Sejahtera yang didirikan oleh Soeharto sebesar 20,3 juta dolar AS. Soeharto juga menerima upeti setiap tahunnya paling sedikit sekitar 5 juta dolar hingga 7 juta dolar AS. Jumlah tersebut diterima sejak tahun 1980. Ini berarti, hingga tahun 1997, Cendana sudah mengantongi uang sebesar 102 juta dolar AS.
Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, akan diberikan upeti oleh Freeport sebesar 10% dari saham. Akan tetapi, Menteri tersebut mencium bahwa di masa datang, hal ini akan terbuka dan tak pelak lagi akan mencemarkan karier politiknya. Untuk itu, dia menyuruh Dirjen Pertambangan Umum pada saat itu, untuk menandatangi penyerahan saham itu. Selanjutnya, diatur agar upeti dalam bentuk saham itu dikelola melalui PT Indocoper Investama Corporation (IIC). Adapun pemegang saham PT IIC adalah Bakrie 49%, Freeport 49% dan publik sebesar 2%. Kolusi yang terjadi sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari syarat-syarat kontrak karya yang dibuat oleh Dirjen Pertambangan Umum melalui restu Mentamben. Dalam kontrak karya kedua, meskipun diizinkan memiliki 100% kepemilikan saham, secara bertahap setelah empat tahun berproduksi, Freeport harus menyerahkan sebagian saham kepada Pemerintah dan mitra lokal hingga sebesar 51%. PT Freeport menolak permintaan tersebut sebab ada klausul pada perjanjian tersebut bahwa Freeport diberi keleluasaan memilih peraturan yang lebih menguntungkan (butir d ayat 2 pasal 24).
Dengan kenyataan tersebut, akhirnya Pemerintah hanya diberi 9,36% saham dan PT Indocopper Investama juga 9,36% sebagai mitra lokal. Meski disebut mitra lokal, perusahan nasional swasta tersebut tidak diikutsertakan dalam proses produksi pertambangan. Mereka hanya terlibat dalam penyediaan hotel, perumahan, atau pengelolaan lapangan terbang Timika. Hal itu merupakan pekerjaan-pekerjaan pinggiran. Menurut laporan Securities and Exhange Commission yang dikeluarkan Freeport, semua alokasi pekerjaan sudah dipersiapkan oleh Freeport McMoran Gold and Copper Inc. Dalam wawancara dengan majalah Prospek, 13 Juli 1998, Aburizal Bakrie mengatakan, saham tersebut sebenarnya dimiliki oleh Mentamben saat itu. Lebih lanjut, menurut Aburizal Bakrie, setelah mendapat kepastian dari Menkeu saat itu, J.B. Sumarlin, pihaknya mengajukan niat membeli 10% saham tersebut (Suara Pembaruan 10 Januari 1997). Kemudian, Bakrie melakukan negosiasi harga, dan disepakati harga yang berlaku di Bursa New York. Saat itu harga saham Freeport di Bursa New York sebesar 23 dolar AS per lembar saham. Pada tahun 1996, PT Nusamba Mineral Industri (PT NMI) milik Bob Hassan, mengambil alih seluruh saham Bakrie di PT IIC (sebesar 49%). Dengan dijualnya saham Bakrie di PT IIC kepada Bob Hassan, Bakrie praktis tidak lagi memiliki saham Freeport.
Sebenarnya, Bakrie sendiri tidak berniat menjual saham IIC sebesar 49% yang dikuasai PT Freeport Indonesia, dan sisanya 2% lagi dikuasai oleh Bakrie Investindo. Namun, anehnya, berselang dua bulan dari pernyataan Bakrie untuk tidak akan menjual sahamnya, ternyata Bakrie menjual sahamnya kepada Bob Hasan dengan harga 254 juta dolar AS. Untuk membeli saham tersebut, Bob mendapatkan pinjaman dari Chase Manhattan Bank yang dijamin oleh perusahaan induk Freeport, yaitu FMCG. Ini sebenarnya tidak lebih dari pemberian upeti yang bahasa halusnya pemberian saham untuk Soeharto melalui Bob Hasan. Selain saham tersebut, Soeharto sebenarnya juga telah mendapatkan upeti lainnya dari Freeport. Berdasarkan pemberitaan Prospek, 13 Juli 1998, pada 1996 dan 1997, bersamaan dengan diterbitkannya Keppres No.92/1996, Freeport telah menyerahkan uang kepada Yayasan Dana Sejahtera yang didirikan oleh Soeharto sebesar 20,3 juta dolar AS. Soeharto juga menerima upeti setiap tahunnya paling sedikit sekitar 5 juta dolar hingga 7 juta dolar AS. Jumlah tersebut diterima sejak tahun 1980. Ini berarti, hingga tahun 1997, Cendana sudah mengantongi uang sebesar 102 juta dolar AS.
Pokok e 51% udh ke RI.. KALO bisa diambil alih smua
Spoiler for :
0
3.4K
Kutip
15
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
672KThread•41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya