Ketua Presidium Alumni 212, Slamet Ma'arif meminta pemerintah Indonesia bersikap tegas atas tragedi 'genosida' Rohingya di Myanmar. Presiden Joko Widodo bahkan diminta untuk mengusir Duta Besar Myanmar dari Indonesia.
"Meminta kepada pemerintahan Jokowi untuk mengusir Duta Besar Myanmar dari Indonesia dan menutup kedutaanya," ujar Slamet dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (2/9).
Lihat juga:
Indonesia Diminta Intervensi 'Genosida' Rohingya
Slamet juga menyerukan kepada umat muslim untuk mendukung aksi unjuk rasa dengan tuntutan mengusir Dubes Myanmar. Sebab, menurut dia, Myanmar telah melakukan tindakan keji, yakni genosida terhadap muslim Rohingya.
"Meminta umat Islam untuk mendukung aksi turun ke jalan mengusir duta besar Myanmar dari Indonesia," ujar Slamet.
Lihat juga:
Rohingya: Terjadi Genosida di Rakhine
Lebih dari itu, lanjut Slamet, pihaknya mengutuk keras perlakuan biadab pemerintah Myanmar terhadap etnis muslim Rohingnya. Karenanya guna menghentikan tindakan diskriminatif dan perbuatan keji terhadap muslim Rohingya, Alumni 212 menyerukan kepada ASEAN untuk melakukan tindakan tegas dan memberikan sanksi berat kepada pemerintah Myanmar.
Bahkan, Alumni 212 juga meminta kepada Komisi HAM PBB untuk mengeluarkan resolusi terkait pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintahan Aung San Suu Kyi. Termasuk juga menuntut PBB melakukan embargo kepada rezim Aung San Suu Kyi.
Lihat juga:
PBB Desak Militer Myanmar Menahan Diri
"Kami juga meminta kepada komisi nobel perdamaian PBB untuk mencabut hadiah nobel yang diterima oleh Aung San Suu Kyi pada tahun 2012," ujar Slamet yang juga Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) itu.
Alumni 212 juga menghimbau kepada seluruh komponen masyarakat, khususnya umat Islam untuk melakukan aksi penggalangan dana guna membantu meringankan penderitaan umat Islam Rohingnya.
"Kami juga menolak dengan tegas pernyataan forum Budha Indonesia yang menyatakan bahwa krisis Rohingnya tidak ada kaitanya dengan agama dan etnis tertentu," kata Slamet.
Sumur
Quote:
Aparat keamanan Myanmar diduga mencoba untuk mengusir warga Muslim Rohingya dari negara bagian Rakhine, kata kelompok pemantauan Rohingya, Arakan Project.
Pegiat Arakan Project, Chris Lewa, mengatakan kelompok pengamanan swakarsa di Rakhine 'ikut serta dalam pembakaran desa-desa yang dihuni warga Rohingya'.
"Apa yang kami dengar adalah (orang-orang berteriak) 'bakar, bakar, bakar'. Dan sepertinya (pembakaran) menyebar dari selatan ke utara," kata Lewa, seperti dikutip kantor berita Reuters, hari Jumat (01/09).
Dalam wawancara dengan BBC, Lewa mengatakan pembakaran rumah-rumah warga Rohingya 'berlangsung secara sistematis'.
"Menurut saya sangat sistematis. Dari satu desa ke desa-desa yang lain. Kami juga mendengar orang-orang dibunuh ketika desa mereka diserang," kata Lewa.
Foto-foto yang beredar dalam beberapa hari terakhir memperlihatkan asap hitam membumbung ke angkasa dari desa-desa yang ditinggalkan warga Rohingya.
•Foto-foto 'penyiksaan kaum Rohingya': yang palsu dan yang asli
•Siapa yang bisa membantu Muslim Rohingya di Myanmar?
•Warga Rohingya: 'Menakutkan, desa dibakar, banyak anak dan orang tua terpisah'
Apa yang disampaikan Lewa menguatkan kesaksian Abdullah, salah seorang pengungsi Rohingya, yang saat ini berusaha masuk ke negara tetangga, Bangladesh.
"Sangat menakutkan ... rumah-rumah dibakar, orang-orang berlarian meninggalkan rumah mereka, anak dan orang tua terpisah, beberapa di antaranya hilang, yang lainnya tewas," kata Abdullah kepada wartawan Reuters, hari Rabu (30/08).
Lewa juga menuturkan 'pembunuhan 130 warga Rohingya' di Desa Chut Pyin yang diduga dilakukan aparat keamanan Myanmar dan kelompok pam swakarsa.
"Kami diberi tahu bahwa tentara mengepung desa dan menyerang warga yang mencoba menyelamatkan diri," kata Lewa seperti dikutip koran Inggris, The Guardian, hari Jumat (01/09).
"Informasi yang kami peroleh dari lapangan menyebutkan, setidaknya 130 tewas, sebagian besar akibat luka tembak. Angka ini kami dapatkan dari jumlah korban yang telah dikubur," katanya seraya menambahkan bahwa insiden ini terjadi pada hari Minggu (27/08).
'Operasi pembersihan'
Pemerintah Myanmar tidak membolehkan wartawan masuk ke kawasan Rakhine, sehingga pernyataan di atas belum bisa diverifikasi.
Namun, foto-foto yang didapatkan wartawan memperlihatkan desa-desa yang dibakar dan juga para korban yang mengalami luka tembak.
PBB mengatakan hampir 40.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh dalam sepekan terakhir.
Krisis terbaru dipicu oleh serangan oleh milisi Rohingya terhadap beberapa pos keamanan pekan lalu, yang kemudian dibalas dengan aksi militer oleh pemerintah Myanmar.
•Krisis terbaru Rohingya: Bagaimana seluruh kekerasan bermula?
•Mengapa orang-orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar?
•Anak-anak Muslim Rohingya 'kehilangan' orang tua
Sumber militer Myanmar mengatakan tak kurang dari 400 orang tewas dalam gelombang kekerasan terbaru.
Dubes Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley, mengecam keras serangan milisi Rohingya, tapi juga mendesak militer Myanmar untuk tidak menyerang warga sipil yang tidak berdosa.
Haley mengatakan aparat keamanan Myanmar wajib mematuhi hukum kemanusiaan internasional, dengan tidak menyerang warga sipil atau petugas bantuan kemanusiaan.
Militer Myanmar mengatakan apa yang mereka lakukan adalah 'operasi membersihkan Rakhine dari unsur-unsur teroris'.
Sumur:
http://www.bbc.com/indonesia/dunia-41125784
Quote:
Pemerintah Myanmar mengakui menewaskan 25 orang dan memberondong desa-desa kaum Muslim Rohingya dari helikopter tempur.
Tentara Myanmar atau Burma mengaku mereka menembak mati setidaknya 25 orang di desa-desa Muslim Rohingya di kawasan Rakhine yang bergolak, hari Minggu (13/11).
Disebutkan, mereka yang terbunuh itu bersenjatakan golok batang kayu.
Hari Sabtu, tentara mengerahkan helikopter tempur dan menembaki desa-desa di negara bagian Rakhine. Delapan orang, termasuk dua serdadu, tewas.
Serangan itu merupakan 'operasi pembersihan' yang menyasar kaum militan bersenjata, kata tentara.
Gambar dan video di media sosial menunjukkan, korban tewas itu termasuk juga erempuan dan anak-anak.
Desa-desa hangus
Media pemerintah berdalih, pengerahan helikopter tempur dilakukan setelah dua tentara dan enam penyerang tewas dalam bentrokan dalam penyergapan terhadap tentara.
Beberapa laporan menyebutkan terbakarnya sejumlah desa di kawasan Rakhine.
Foto yang dirilis oleh Human Rights Watch tampaknya menunjukkan desa-desa yang hangus, dan menurut kelompok hak asasi itu setidaknya 430 bangunan terbakar.
Foto-foto satelit itu diambil antara 22 Oktober dan 10 November, menyusul laporan terjadinya pertempuran dan mengungsinya warga sipil bulan lalu.
Para aktivis Rohingya mengatakan pemerintah berusaha secara sistematis untuk mengusir minoritas Muslim dari desa-desa mereka.
Menyerang Rohingya adalah langkah populer untuk militer, lapor wartawan BBC Jonah Fisher dari kota terbesar Myanmar, Yangon.
Itu karena kaum Rohingya tidak disukai oleh banyak orang Burma yang menganggap mereka imigran ilegal dari Bangladesh, katanya pula.
Tertutup bagi media
Maraknya lagi pertempuran dipicu oleh serangan pada tiga pos pemeriksaan polisi sebulan lalu.
Pemerintah Burma tidak mengizinkan wartawan independen untuk masuk ke Rakhine, sehingga tidak mungkin untuk memverifikasi klaim tentang skala pertempuran.
Menurut pernyataan resmi terbaru pada hari Sabtu, tentara disergap dan kemudian terlibat bentrokan beberapa kali dengan orang-orang bersenjata, yang diperkirakan adalah kaum Muslim Rohingya, yang menyandang senapan, golok dan tombak.
Ketika mereka terdesak, dikepung oleh sekitar 500 orang, tentara meminta dukungan udara dan dua helikopter tempur dikerahkan menembaki desa Rohingya.
Namun pengakuan ini tak bisa diverifikasi.
Sementara itu, jumlah korban dilaporkan berbeda-beda, kata wartawan kami.
Brad Adams, direktur Asia Human Rights Watch mengatakan foto-foto terbaru menunjukkan "kerusakan yang luas" yang "lebih besar dari yang diperkirakan semula."
"Otoritas Burma harus segera membentuk tim investigasi bersama PBB sebagai langkah pertama menuju terjaminnya keadilan dan keamanan bagi para korban," katanya.
Pemerintah - yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi - berbicara tentang 'operasi pembersihan' untuk melakukan pencarian para penyerang
Sumur:
http://www.bbc.com/indonesia/dunia-37971217
Quote:
Lebih dari 1.200 rumah diratakan dengan tanah di beberapa kampung tempat tinggal umat Islam Rohingya di Myanmar dalam enam pekan belakangan ini.
Hal tersebut diungkapkan lembaga internasional, Human Rights Watch, yang juga mengeluarkan sejumlah foto satelit yang memperlihatkan sekitar 820 struktur dihancurkan antara 10 hingga 18 November.
Militer Myanmar sedang menggelar operasi di Negara Bagian Rakhine namun pemerintah membantah bahwa militer menghancurkan rumah-rumah warga.
•Dari Aceh, pengungsi Rohingya akan hijrah ke Amerika Serikat
•Tentara Myanmar menembaki desa suku Muslim Rohingya di kawasan Rakhine dan menewaskan 25 orang
•Myanmar diminta buka pintu bantuan untuk Rohingya
Bagaimanapun BBC masih belum bisa mengukuhkan skala penghancuran di kampung-kampung warga Rohingya karena pemerintah melarang wartawan asing meliput ke Rakhine.
Puluhan ribu orang dilaporkan sudah mengungsi dari kawasan itu.
Pemerintah mengatakan bahwa justru orang Rohingya yang sengaja membakar rumah mereka untuk menarik perhatian dunia internasional.
Human Rights Watch sebelumnya mengidentidikasikan 430 bangunan dihancurkan di tiga kampung berdasarkan foto satelit yang diumumkan pada 13 November lalu.
Juru bicara kepresidenan, Zaw Htay, menuduh lembaga pegiat hak asasi melebih-lebihkannya.
Tak memiliki kewarganegaraan
Operasi militer besar-besaran digelar di Rakhine dilancarkan bulan lalu setelah sembilan aparat polisi tewas dalam serangan-serangan yang diatur di pos-pos perbatasan di Maungdaw.
Beberapa pejabat pemerintah berpendapat kelompok militan Rohingya yang melakukan serangan tersebut.
Para pegiat Rohingya mengatakan lebih dari 100 orang tewas dan ratusan lainnya ditangkap dalam operasi militer di Rakhine.
Diperkirakan terdapat sekitar satu juta warga Rohingya di Myanmar, yang dianggap pemerintah sebagai pendatang gelap dari Bangladesh sehingga tidak mendapat kewarganegaraan walau sudah tinggal selama beberapa generasi.
Sebagian besar warga Rohingya mengungsi ke luar dari Myanmar, antara lain terdampar di Indonesia dalam upaya menuju negara penampung pengungsi.
Indonesia tidak termasuk dalam negara-negara yang menandatangani traktat untuk menampung pengungsi.
Sumur:
http://www.bbc.com/indonesia/dunia-38052977
Quote:
Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan militer Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan berkelompok terhadap etnik minoritas Muslim Rohingya.
Dikatakannya kekerasan yang dialami oleh kelompok Rohingya di Myanmar kemungkinan besar sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Apa yang terjadi kemungkinan besar sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pembersihan etnik adalah istilah yang tidak sering digunakan oleh Kantor Hak Asasi Manusia karena itu bukanlah istilah yang mempunyai definisi jelas dalam hukum hak asasi manusia internasional.
"Namun demikian pelanggaran sistematis dan meluas seperti ini yang telah kami dokumentasikan dapat digambarkan sebagai pembersihan etnik," kata juru bicara Kantor HAM PBB, Ravina Shamsadani.
•Myanmar tunda laporan dugaan pelanggaran HAM Rohingya
•Sekolah bantuan Indonesia diharapkan jadi titian perdamaian di Myanmar
°Ko Ni, penasihat hukum Aung San Suu Kyi dimakamkan
Dengan mengutip pernyataan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Ra'ad Al Hussein, Shamsadani menyebut contoh-contoh insiden yang dialami oleh para saksi mata terkait dengan dugaan serangan brutal.
"Seorang ibu menceritakan bagaimana putrinya yang berusia lima tahun berusaha melindunginya dari aksi pemerkosaan, ketika seorang pria mengambil pisau panjang dan membunuhnya, menggorok lehernya.
Dalam kasus lain, seorang bayi delapan bulan dilaporkan dibunuh ketika ibunya dirudapaksa beramai-ramai oleh lima aparat keamanan," ungkapnya.
Menanggapi laporan PBB, pemerintah Myanmar mengatakan akan menanggapi tuduhan-tuduhan itu secara serius. Menurut seorang juru bicara, pemerintah akan mengambil tindakan jika ditemukan bukti-bukti pelanggaran.
Laporan PBB ini disusun setelah badan itu melakukan wawancara dengan lebih dari 200 orang Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar ke negara tetangga, Bangladesh.
Sejauh ini lebih dari 65.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak operasi pemulihan keamanan di Rakhine, tempat tinggal mayoritas kelompok Rohingya di Myanmar.
Operasi itu dilancarkan setelah terjadi serangan terhadap pos-pos perbatasan Oktober lalu. Otoritas Myanmar meyakini kelompok militan Rohingya melakukan serangan itu.
Sumur:
http://www.bbc.com/indonesia/dunia-38853889
Quote:
Lebih dari 150 anak-anak Rohingya asal Myanmar yang mengungsi ke Bangladesh sejauh ini masih belum bertemu dengan orang tua mereka yang terpisah ketika menyelamatkan diri dari desa mereka atau ketika mendarat di wilayah Bangladesh, sejak gelombang kekerasan terbaru terhadap kelompok minoritas Rohingya pecah pada Oktober 2016.
"Saya terus mencari orang tua saya, tapi sampai sekarang tidak ada informasi mengenai mereka. Saya sudah bertanya kepada para tetangga dan orang-orang yang baru tiba di Myanmar jika mereka tahu keberadaan orang tua saya," ungkap Yas (nama disamarkan), seorang remaja Rohingya.
Ketika militer Myanmar melancarkan operasi menumpas pergolakan kecil dari sekelompok militan Rohingya yang menyerang pos-pos perbatasan dan menewaskan sembilan petugas pada Oktober 2016, banyak anggota kelompok minoritas Rohingya yang pada umumnya Muslim mengaku mengalami kekerasan, termasuk pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran rumah.
•Kapal bantuan Rohingya dari Malaysia merapat di Bangladesh
•PBB: 1.000 orang Rohingya tewas selama operasi militer Myanmar
•Para pengungsi Rohinya tinggal berjejalan di kamp Bangladesh
Di tengah kepanikan ketika aparat keamanan dibantu sekelompok milisi Buddha datang, Yas, beserta tiga saudaranya dan kedua orang tua mereka kabur dari rumah di sebuah desa di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
"Ketika orang-orang Buddha datang ke desa kami, semua orang lari dari rumah, setiap orang berusaha bersembunyi di manapun dan pada saat itu saya kehilangan orang tua," ungkap Yas yang ditemui BBC Indonesia di pusat belajar kamp pengungsi Kutupalong, Distrik Cox's Bazar, Bangladesh.
Bertemu sepupu
Remaja putri berusia 16 ini, bersama saudara-saudaranya, bergerak dalam satu kelompok dan setelah melewati kawasan perbukitan maupun rawa-rawa mereka kemudian menumpang perahu bersama warga lain.
Tujuan mereka, Teknaf di Distrik Cox's Bazar, kabupaten di Bangladesh yang letaknya hanya dipisahkan oleh Sungai Naf dari Rakhine, tempat kelompok minoritas Rohingya tinggal di Myanmar.
Dalam perjalanan menyeberang perbatasan negara lain tanpa dokumen atau identitas apapun, Yas merasa beruntung tidak tertangkap oleh penjaga perbatasan.
Dia lantas dibawa ke kamp pengungsi Kutupalong, Distrik Coz's Bazar. Di sanalah dia bertemu dengan Umi, saudara terdekatnya di pengungsian.
"Saya menemukan Yas dalam keadaan menangis di kamp Kutapalong. Saya kenalkan ia dan saudara-saudaranya kepada suami dan suami mencarikan kerja buat mereka. Saya peluk Yas dan saat itu ia sedang sakit. Saya ajak ia ke barak. Kami berdua menangis," tutur Umi.
Hingga kini, Yas masih berada di bawah pantauan Badan Anak-anak PBB (UNICEF), yang bekerja sama dengan pekerja sosial di kamp pengungsian.
Yas tercatat sebagai salah satu dari 169 anak yang terpisah dari orang tua atau datang tanpa wali resmi ke Bangladesh sejak kerusuhan terbaru pecah di Rakhine, Myanmar, Oktober 2016. Kecuali Yas, anak-anak yang terpisah atau kehilangan orang tua pada umumnya berusia di bawah 10 tahun.
Sejauh ini 15 orang di antara mereka sudah dipertemukan dengan orang tua atau keluarga terdekat mereka.
Oleh karena itu, harapan tetap ada meskipun perlu waktu.
"Anak-anak yang datang mengalami trauma. Para pekerja sosial perlu waktu mengorek keterangan dari anak-anak untuk mengingat desa asal mereka dan kemudian mendokumentasikannya. Ini juga melibatkan proses multilembaga," kata Pejabat Perlindungan Anak UNICEF, Shaila Parveen Luna.
"Kami bekerja sama dengan Pencatatan Sipil Bangladesh, badan-badan lain di PBB dan organisasi internasional lain untuk bersama-sama memberikan dukungan kepada anak-anak ini," tambahnya.
Sementara proses pelacakan dilakukan, anak-anak lain yang terpisah dari orang tua atau bahkan kehilangan orang tua, rutin mengikuti kegiatan di pusat belajar kamp Kutupalong.
Pusat belajar terbuat dari didinding bambu dengan atap terpal, yang mengalami bocor di banyak bagian setelah diterjang topan Mora. ***
Laporan ini merupakan bagian dari seri khusus pengungsi Rohingya di Bangladesh. Anda bisa memberikan komentar atas berita ini di Facebook BBC Indonesia.
Sumur:
http://www.bbc.com/indonesia/dunia-40391411
Humanity