- Beranda
- Berita dan Politik
Gandeng LBH, Pengemudi Uber Protes Masalah Kesejahteraan ke Manajemen
...
TS
wangi2an
Gandeng LBH, Pengemudi Uber Protes Masalah Kesejahteraan ke Manajemen
Quote:
Sejumlah pengendara ojek daring berbasis aplikasi yang tergabung dalam sebuah komunitas melakukan protes terhadap perusahaan. Didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mereka melakukan konferensi pers menuntut agar kesejahteraan pengendara diperhatikan. Mereka meminta kejelasan status mitra dalam perusahaan dan juga transparansi manajemen, Minggu (20/8).
Komunitas Uber Mainstream (KUMAN) adalah sebuah komunitas yang anggotanya terdiri dari sejumlah pengendara ojek daring berbasis aplikasi Uber. Berdiri sejak tanggal 3 Mei 2017, tujuan komunitas ini adalah sebagai perwakilan dari pengendara yang meperjuangkan kesejahteraan pengendara ojek daring.
Abdul (44), salah seorang anggota KUMAN, dalam konferensi pers menyatakan, komunitas ini ingin jika pengendara ditempatkan sebagai mitra, maka idealnya harus saling menguntungkan.
“Hingga kini, pengendara ojek Uber statusnya tidak jelas apakah sebagai mitra atau pengguna aplikasi. Di situsnya kami disebut sebagai mitra, namun dalam perjanjian kontrak kami disebut sebagai pengguna aplikasi,” tuturnya.
Menurut mereka, ketidakjelasan posisi mereka membuat perusahaan sering membuat kebijakan secara sepihak, seperti mengenai tarif ataupun promo.
Saat ini, tarif dasar pengendara ojek Uber Rp 1.250 per kilometer. Tarif ini dirasa terlalu rendah. Perhitungan tenaga dan waktu tempuh perusahaan dianggap tidak sesuai dengan yang ada di lapangan karena lalu lintas Jakarta macet. Mereka ingin agar tarif dinaikkan menjadi Rp 2.500 per kilometer.
Selain itu, promosi dari pihak perusahaan dilakukan tanpa sosialisasi kepada pengemudi sehingga sering mengakibatkan salah paham. Uber mempunyai program promo sebesar 100 persen sehingga penumpang tidak membayar tetapi tidak diketahui pengemudi. Penumpang merasa pengemudi menipu, sedangkan pengemudi merasa keterangan di aplikasi tidak jelas.
Transparansi manajemen perusahaan juga dirasa kurang. Beberapa hal dipermasalahkan, seperti masalah asuransi. “Kami dijanjikan akan mendapatkan asuransi tetapi sampai sekarang belum ada. Ada rekan kami yang meninggal karena kecelakaan saat kerja, tetapi sampai sekarang tidak mendapat ganti rugi,” kata Abdul.
Sebelumnya, KUMAN telah melakukan protes pada Rabu (3/5) dan Rabu (24/5). Pihak dari perusahaan telah bertemu setiap protes dilakukan. Namun, KUMAN merasa perusahaan hanya memberikan respon yang normatif. Akibatnya, mereka akan melakukan aksi lanjutan pada Senin (21/8) di kantor pusat Uber UOB Plaza, pukul 09.00–12.00.
Menurut Abdul, pengendara ojek Uber lainnya juga memiliki komunitas lain, seperti Komunitas Uber Motor Indonesia (KUMI), Solidaritas Uber Motor Indonesia (SUMI), dan Uber on Jakarta. Namun, KUMAN adalah komunitas yang paling vokal. Mereka menjanjikan aksi yang lebih besar jika aksi protes yang akan mereka lakukan pada Senin (21/8) tidak digubris. “Korporat asing harusnya bekerja sama dengan warga lokal,” kata Abdul.
Oky Wiratama, Pengacara Publik LBH Jakarta, yang mendampingi KUMAN, menjelaskan, saat ini tugas LBH mendampingi tuntutan dan aksi protes yang dilakukan KUMAN. “Kami melihat status pengendara sebagai mitra yang setara harus diakomodir. Belum jelas status mereka, apakah sebagai mitra atau pengguna aplikasi,” kata Oky.
“Hingga kini belum ada kejelasan peraturan tentang kemitraan bagi pengendara ojek berbasis aplikasi dalam peraturan pemerintah. Baru ada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan tetapi mengenai Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar,” ujar Oky.
Sementara itu, jika pengendara dianggap sebagai pengguna aplikasi, maka mereka menjadi konsumen dari pengguna aplikasi Uber. Mereka bisa menuntut hak-hak konsumen mereka dengan UU Perlindungan Konsumen karena Pelanggaran pada UU No. 8 tahun 1999 Pasal 4 mengenai hak dan kewajiban konsumen.
Oky menyatakan, karena KUMAN baru menghubungi LBH pada awal Agustus, mereka masih dalam tahap diskusi mengenai pertemuan dengan Uber.
Kepala Bidang Humas Uber Indonesia, Dian Safitri, menyatakan hubungan antara perusahaan dengan pengendara ojek adalah mitra-pengemudi. “Sebagai mitra, mereka bisa menjadi bos bagi diri sendiri karena tidak ada shift, jam minimum kerja dan target setoran. Mereka bisa log in dan log out kapan saja dan dimana saja,” kata Dian.
Sebagai mitra, mereka bisa menjadi bos bagi diri sendiri karena tidak ada shift, jam minimum kerja dan target setoran. Mereka bisa log in dan log out kapan saja dan dimana saja.
Pihak Uber tidak menampik bahwa ada beberapa keluhan yang telah disampaikan dari pengendara kepada pihak manajemen. Mengenai permintaan atas peningkatan tarif dasar, perusahaan menganjurkan agar pengendara menggunakan waktu selama bekerja secara optimal. Namun, mereka tidak menjawab mengenai masalah keputusan sepihak yang dibuat mengenai pengadaan program promo seperti promo 100 persen.
“Kami juga terus berinovasi untuk menghadirkan teknologi yang bisa mengoptimalkan keselamatan dan waktu para mitra-pengemudi saat bekerja, misalnya, fitur Panggilan Berantai. Kami menghargai kesabaran mereka dalam proses ini dan kami akan menginformasikan perkembangannya,” tutur Dian.
Mengenai asuransi, ujar Dian, saat pengendara dan penumpang menggunakan aplikasi Uber, mereka akan mendapat asuransi kecelakaan lalu lintas hingga Rp 100 juta oleh PT Asuransi Allianz Utama Indonesia. Ini akan berlaku saat kecelakaan terjadi setelah pemesanan terkonfirmasi, yaitu saat pengendara mulai menuju lokasi penjemputan hingga perjalanan berakhir.
Dian menyatakan, Uber akan terus melakukan dialog secara berkala untuk memahami hal-hal yang menjadi perhatian para pengemudi.
Belum jelas
Belum ada peraturan mengenai pengendara ojek daring dari pemerintah pusat. Ini karena di UU yang paling tinggi, yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan roda dua belum dianggap sebagai angkutan umum.
Staf Humas Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Dinda Lidya Rachmawaty, menjelaskan, saat ini Kemenhub hanya mengimbau kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatur kendaraan roda dua sebagai angkutan umum secara lokal.
Namun, saat dikonfirmasi oleh Kompas kepada Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Wakil Kepala Dishub DKI Jakarta Sigit Wijatmoko, menyatakan, pemerintah provinsi tidak bisa membuat peraturan mengenai ojek karena tidak ada dasar acuan dari pemerintah pusat.
“Untuk pengendalian ojek daring sendiri, Dishub bekerja sama dengan Ditlantas Polda dalam melakukan penegakkan hukum pada mereka karena mereka menggunakan motor pribadi. Ojek daring muncul karena ada celah,” kata Sigit.
Dishub juga menyatakan sedang mempercepat pembangunan transportasi publik agar penggunaan kendaraan pribadi dan transportasi daring berkurang.
(kompas/tow)
Sumber
0
1.4K
Kutip
3
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
672.2KThread•41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya