Tidak banyak yang mengetahui tentang lika-liku terbentuknya poros tengah pada Pemilihan umum tahun 1999 silam. Sejenak setelah 1997-1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah kemerdekaan yang memaksa rezim Orde Baru mangkat. 1998 adalah masa transisi dimana kekuasaan Presiden Suharto terpaksa harus diserahkan kepada wakilnya B.J Habibi berkat desakan dari masyarakat. Klimaks dari proses Demokrasi bangsa Indonesia adalah “reformasi total”, yakni dengan lengser keprabonnya Presiden Suharto dari kursi orang no 1 Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 dan dilantiknya Wakil Presiden B.J Habibi.

Nahkoda kepemimpinan Indonesia kemudian dipegang oleh B.J Habibi, sebagai Presiden RI ke-3 dengan tugas utamanya mempersiapkan Penyelenggaraan Pemilu 1999 yang lebih demokratis.

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1999 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 7 Juni 1999 untuk memilih 462 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Situasi pemilu tersebut menyisakan panasnya iklim politik dengan perseteruan dua partai pemenang suara terbanyak pemilu 1999, yaitu Golkar dan PDIP, dengan memperoleh 33,74% suara untuk PDIP, dan menempatkan 153 Wakil dikursi DPR, sedangkan Golkar memperoleh 22,44% suara dengan jumlah 120 kursi DPR. Dari dua kekuatan Poros Kiri dan kanan, PPP muncul sebagai Peserta Pemilu dengan perolehan suara 12,55%, yang berarti memiliki wakilnya berjumlah 58 orang di kursi DPR.

PPP yang saat itu dinahkodai oleh Hamzah Haz. Pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas I) yang berlangsung pada tanggal 31 Maret 1999, yaitu sebelum terselenggaranya pemilu 1999. Menetapkan keputusan bahwa PPP akan menetapkan calon Presiden dari kalangan PPP sendiri, dengan target perolehan suara Nasional 25 juta suara pada pemilu 7 Juni 1999. Seusai pemilu digelarlah Rapimnas II yang berlangsung tanggal 15-16 Juni 1999. Rapimnas tersebut sebagai upaya menindak lanjuti hasil pemilu 1999, berdasarkan hasil pemilu, peserta Rapimnas II sepakat untuk merevisi putusan Rapimnas I, dalam Rapimnas II dibuatlah keputusan bahwa kriteria Calon Presiden mendatang minimal harus memenuhi dua syarat yaitu: Putra terbaik bangsa dan Muslim.

Dari putusan Rapimnas II tersebut PPP selaku Partai penemang pemilu No 3 barada diantara barisan dua Partai besar yaitu PDIP dan Golkar. PDIP yang digawangi oleh Megawati Soekarnoputri, sedangkan Golkar digawangi oleh B.J Habibi dan dibayang-bayangi razim Orde Baru.

Hasil Rapimnas II yang mensyaratkan calon Presiden dari Putra terbaik bangsa dan Muslim. Secara otomatis meniadakan nama Megawati untuk diusung oleh Partai Persatuan Pambangunan sebagai calon RI I. Sedangkan mencalonan B.J Habibi sebagai Calon Presiden menimbulkan asumsi dimasyarakat bahwa PPP mendukung Status Quo, dengan mempertahankan kembali rezim Orde Baru.
Pertimbangan tersebut kemudian membuat PPP menawarkan alternatif baru yaitu poros dengan semangat keislaman. Poros Tengah, dengan target utamanya mengajak partai berbasis keislaman bersatu sepertihalnya PAN yang dimotori oleh Amin Rais, dan PKB yang dibawah kendali KH. Abdurrahman Wahid yang setelah sebelumnya memutuskan untuk mendukung PDIP, berhasil masuk dalam koalisi Poros Tengah. Sampai akhirnya menjadi Poros Tengah plus, dengan masuknya Golkar dalam koalisi.

Seiring berjalannya waktu poros tengah yang digagas PPP, yang semula diragukan kekuatannya ternyata berhasil memainkan peranan penting dalam menentukan SU MPR 1999. (Dze)


Sumber: Hamzah Haz, Konsistensi dan Integritas Perjuangan di bawah Panji-panji Ka’bah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu (PIS), 2002. Hal.45-70).