Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • "Sepenggal Cerita tentang Stadion Marora Serui, Home Base Sederhana Perseru"

aansrialamAvatar border
TS
aansrialam
"Sepenggal Cerita tentang Stadion Marora Serui, Home Base Sederhana Perseru"
Assalamualaikum WR. WB

misi para Suhu-suhu sekalian. baru balik lagi nge kaskus.
emoticon-Nyepi emoticon-Nyepi emoticon-Nyepi

kali ini ane cuma mau bagikan sepenggal cerita tentang salah satu stadion kandang di ujung timur Indonesia, serui.


emoticon-Nyepi emoticon-Nyepi

SELAMAT MEMBACA GAN/SUHU





SETENGAH jam lagi laga akan dihelat. Tapi, loket tiket masih sangat sepi. Tak ada pula keramaian ”pasar” dadakan seperti umumnya stadion sepak bola.
Yang ada di depan Stadion Marora hanya penjual buah pinang dan daun sirih. Yang malah tidak tahu siapa lawan tanding Perseru pada Senin sore pekan lalu itu (17/7). ”Ya, beginilah Serui,” kata Media Officer Perseru Thamrin Sinambela.

Padahal, pada Senin sore lalu itu yang akan dihelat adalah laga Liga 1, kasta teratas sepak bola Indonesia. Perseru menjamu lawan yang datang dari jauh sekali, melewati perjalanan lebih dari 19 jam untuk bisa sampai ke Serui yakni Semen Padang.




Tapi, jangankan berbondong-bondong, tribun barat, selatan, dan utara cuma terisi separo. Tribun VIP? Apalagi! Lebih banyak ditempati panitia pertandingan dan petugas keamanan.

Saking sepinya stadion, beberapa penonton yang datang bisa memarkir sepeda motor ke dalam stadion. Sebagian lagi memilih memanjat pohon yang lebih tinggi daripada tembok pembatas stadion setinggi 2,5 meter.

Di pinggir lapangan, selain Jurnalis hanya ada dua fotografer. Satu dari perwakilan dinas komunikasi & informatika setempat, dan beberapa diantaranya adalah wartawan lepas.

Saat konferensi pers pun, hanya Jawa Pos yang bisa dikatakan resmi meliput dan bakal memberitakan pertandingan tersebut. Yang lain adalah media officer Perseru, match commissioner dari PSSI, dan perwakilan kedua tim yang bertanding. ’’Tipis sekali, sepi. Tidak repot jawab pertanyaan,’’ ucap Pelatih Semen Padang Nilmaizar setelah jumpa pers sehari sebelum pertandingan.

Stadion Marora yang berkapasitas 10 ribu penonton itu bisa dibilang kandang tim Liga 1 paling sederhana dan penuh ”anomali”. Jika stadion lain punya tim media atau tim marketing khusus, Marora memasarkan dirinya dengan hanya mengandalkan mobil lawas. Di atasnya dipasangi speaker aktif, lantas berkeliling Serui memberi tahu tentang pertandingan. Seperti umumnya yang dilakukan banyak bioskop di kota-kota kecil di Jawa pada era 1980-an.

Tak sekali pun pula pertandingan di stadion yang dulu bernama Sam Ratulangi itu bisa ditonton dengan nyaman di layar kaca. Dalam sejarah sepak bola Indonesia, Perseru adalah satu-satunya tim di kasta teratas yang partai kandangnya tidak pernah disiarkan secara langsung di televisi. ”Kami masih mengandalkan radio untuk menyiarkan pertandingan. Itu saja,” ungkap Theo Ambiri, announcer Stadion Marora sejak 1990.

Marora diambil dari nama gunung yang terletak di sebelah barat stadion. Menurut penduduk setempat, ada beberapa makna dari Marora. Di antaranya konde rambut. Tapi, ada pula yang menyebut makna Marora adalah tempat tertinggi dan terhormat.

Serui merupakan ibu kota Kabupaten Kepulauan Yapen. Jumlah penduduknya cuma sekitar 24 ribu. 
Untuk menjangkaunya, lawan-lawan Perseru dari luar Papua harus transit minimal dua kali. Di Makassar dan Biak. Dari Biak ke Serui, ada dua alternatif, lewat udara dan laut. Kebanyakan tim memilih opsi jalur udara. Apalagi setelah rombongan Sriwijaya FC sempat terdampar berjam-jam saat balik dari Serui di Indonesia Soccer Championship 2016.

Dengan ”keterisolasian” seperti itu plus demikian merakyatnya sepak bola di Papua, semestinya pertandingan liga, apalagi di divisi teratas, menjadi hiburan yang ditunggu. Tapi, dalam realitasnya tidak demikian.

Sejak Cenderawasih Jingga –julukan Perseru– promosi ke divisi teratas pada 2014, Marora hanya benar-benar hidup saat tim Papua lainnya, Persipura Jayapura, bertandang.

Theo masih mengingat betul ketika Persipura melawat ke Marora pada Indonesia Soccer Championship 2016. Ada arak-arakan yang meriah sekali saat menyambut dan mengantar tim berjuluk Mutiara Hitam itu. ”Stadion ini penuh sekali. Hampir-hampir tidak ada tempat lagi untuk bergerak,” ujar Theo.

Itu terjadi karena, seperti juga di semua sudut Papua, Persipura dianggap sebagai ”anak kandung” Papua. Tim yang paling merepresentasikan provinsi paling timur Indonesia tersebut. Apalagi, secara prestasi, Persipura juga paling melejit.

Sebagian besar masyarakat di Serui mengidolakan Tim yang dijuluki Mutiara Hitam. Kedatangan Persipura selalu menjadi hal yang dinantikan masyarakat serui. Persipura merupakan satu-satunya tim yang jarak tempuhnya sangat dekat jika hendak bertandang ke std marora.

Karena itu, begitu yang datang bukan Persipura, meranalah Marora. Menjual tiket susah sekali. Padahal, harganya sudah tergolong murah untuk kategori Liga 1. Mulai Rp 75 ribu untuk tribun VIP, Rp 35 ribu untuk tribun barat, hingga Rp 10 ribu untuk selatan dan utara. ”Kadang kalau tidak ada penonton, tiket diturunkan harganya jadi Rp 5 ribu. Kalau sepi sekali, gratis lah,” jelas Thamrin.

Jadi, bisa dibayangkan betapa pusingnya manajemen Perseru. Padahal, biaya yang mereka keluarkan untuk mengongkosi tim, terutama buat lawatan, demikian besar.

Sepanjang satu musim, paling cuma ke Persipura yang tidak menguras kantong. Sisanya mereka harus 16 kali melawat ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Bali. Sekadar ilustrasi, Semen Padang harus mengeluarkan biaya Rp 250 juta dalam lawatan mereka ke Perseru. ”Di sini sepak bola antarkampung malah lebih ramai,” kata Theo.

Namun, di balik kebersahajaan dan segala anomalinya, Marora adalah tempat bibit-bibit alam di Serui disemai. Boas Atururi adalah contohnya. ”Di Stadion Marora, saya memulai mimpi jadi pesepak bola. Berawal dari Anak Matahari Sisa yang sangat mencintai sepak bola,” ujar Boas, mantan pemain Perseru yang kini membela Semen Padang.

Anak Matahari Sisa adalah istilah yang dipakai orang Serui untuk menyebut anak-anak kecil yang bermain sepak bola di Marora. Sebab, mereka bermain tepat setelah skuad Cenderawasih Jingga selesai latihan. Ketika matahari sudah hampir terbenam.

Boas mengatakan, kebanyakan Anak Matahari Sisa berasal dari anak-anak kecil yang tinggal di sekitar Marora. ’’Dulu tidak ada sekolah sepak bola. Kami dapat ilmu dari mendengarkan pelatih Perseru di Marora,’’ kata pemain yang turut mengantarkan Perseru promosi ke Liga 1 itu.

Sesudah melihat dan mendengarkan pemain Perseru berlatih, anak-anak itu lantas mempraktikkannya di tempat yang sama. Sebagian berhasil mewujudkan mimpi menjadi pesepak bola. Tapi, tidak sedikit juga yang akhirnya kembali pada profesi sehari-hari orang tuanya. Menjadi petani atau nelayan.

Bagi mereka yang sukses merealisasikan mimpi seperti Boas, kembali ke Marora selalu menjadi pengalaman istimewa. Kendati stadion itu ”tak ramah” bagi si pemilik kandang, di sanalah dulu mereka didewasakan. Secara teknik, fisik, maupun mental. ’’Orang sini kalau kamu main buruk, mereka pasti dukung tim lawan. Jadi, pemain Perseru mau tidak mau harus bermain bagus untuk menghibur penonton,’’ jelasnya.

Spoiler for mulustrasi suporter:


Spoiler for mulustrasi 2:


kalo berkenan tolong Hamburkan cendol ya gan/hu
emoticon-Blue Guy Cendol (L)emoticon-Blue Guy Cendol (L)

emoticon-Shakehand2 emoticon-Shakehand2

sumur: http://www.jawapos.com/read/2017/07/...ytHHF0.twitter
Diubah oleh aansrialam 30-07-2017 08:46
0
10.4K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.