- Beranda
- The Lounge
Dialah "Maha"-nya Mahasiswa
...
TS
mamokgalau
Dialah "Maha"-nya Mahasiswa
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali". ~Tan Malaka
Spoiler for Indonesia:
Quote:
Tulisan ini bermula pada sebuah cerita tentang sosok mahasiswa tahun 60-an yang pantas digelarkan sebagai "maha"nya mahasiswa. Dia bernama Kasim Arifin. Memang terdengar asing, tapi siapa sangka namanya di abadikan sebagai Jalan di salah satu Desa Waimital tepatnya Jalan ke Markas DODIKLATPUR Rindam XVI Pattimura," Jl. Ir M Kasim". Siapa sangka penyair terbaik, Taufik Ismail membuatkan syair tentang kehidupan Kasim Arifin.
Spoiler for Kasim Arifin:
Quote:
Gemetar rasanya kalau nama itu disebut-sebut kembali. Kasim Arifin. Seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Kuliah Kerja Nyata sudah menjadi suatu kewajiban bagi mahasiswa sejak dulu, tapi saat itu namanya agak lain, Pengerahan Tenaga Mahasiswa. Serupa maknanya. Kasim ditempatkan ke sebuah desa bernama Waimital di Pulau Seram, Maluku. Tugasnya waktu itu adalah mensosialisasikan Panca Usaha Tani kepada petani daerah itu. Beberapa bulan saja kewajibannya.
Setengah tahun kemudian, teman-temannya mulai bertanya-tanya tentang keberadaan Kasim. Ke mana Kasim? Seharusnya dia sudah kembali ke Bogor untuk menyelesaikan skripsinya.
Setahun berlalu, Kasim tak kunjung muncul. Orangtuanya di Langsa, Aceh sana semakin cemas dengan hal tersebut. Dua tahun berikutnya Kasim juga tak nampak batang hidungnya. Padahal teman-temannya sudah lulus bahkan sudah bekerja menyebar ke seluruh penjuru negeri. Tapi Kasim tetap tak nampak. Sang Ibu semakin cemas.
Orangtua Kasim sudah berkali-kali memintanya pulang. Begitu pula dengan pihak kampus. Panggilan pertama dari sang Rektor yang bercokol kala itu dihiraukannya. Pun dengan panggilan kedua. Untuk panggilan ketiga, Rektor, waktu itu Andi Hakim Nasution, menyematkan Saleh Widodo, sahabat Karim, untuk ikut serta menyerukan panggilan pulang dari rektor tersebut langsung ke Waimital.
Untungnya Kasim mau kembali, tapi itu setelah lima belas tahun. Ya, lima belas tahun. Cukup waktu untuk membuat kulit tangan dan kaki Kasim pecah-pecah. Sebab, setiap harinya, tak kurang 20 kilometer jarak perjalanan Kasim menuju sawah. Ia betul-betul mengajarkan petani daerah itu agar hasil tanamnya meningkat. Setiap hari dua puluh kilometer selama lima belas tahun. Sanggupkah engkau bayangkan, kawan? Sebelas dua belas dengan Lintang dalam cerita Laskar Pelangi yang bersepeda menempuh 40 kilometer setiap harinya itu.
Tak bosan-bosannya ia ajarkan berbagai metode yang didapatkannya di bangku kuliah untuk bisa diterapkan petani. Supaya petani lebih sejahtera hidupnya. Tentang kesejahteraan dirinya sendiri tak menjadi soal baginya.
Kasim menolong masyarakat agar mandiri. Tidak ada imbalan secuil pun atas jasanya ini. Atas jasanya membangun sawah-sawah baru. Atas jasanya memperkenalkan sekaligus membuat irigasi. Juga atas jasanya membuka jalan-jalan desa. Semua tanpa imbalan. Lima belas tahun, kawan.
Hiruk pikuk gemuruh suara manusia menyambut kembalinya Kasim. Teman-temannya yang sudah bergelimang harta memberikannya sepatu baru yang mengkilap seperti lampu taman, pakaian yang harum, tak lupa makanan yang lezat. Semua terharu akan kejadian tersebut. Semua bangga akan Kasim, teman lamanya yang duduk sama-sama mendengarkan dosen dua puluh tahun yang lalu.
Prosedur tetaplah prosedur bagi IPB. Sedemikian besar jasa Kasim, tetap dia harus menyelesaikan skripsinya untuk mendapatkan gelar. Hal tersebut tentu sulit sekali baginya. Lima belas tahun sudah Kasim tidak ditugasi pekerjaan kampus kali ini disuruh membuat skripsi yang merupakan tugas kampus paling berat bagi mahasiswa.
Teman-temannya tak hilang akal. Maka direkamlah semua cerita Kasim selama lima belas tahun membangun Waimital. Semua ia ceritakan. Butuh 28 jam untuk merekam apa yang Kasim ceritakan. Kemudian ada orang yang mengolahnya menjadi sebuah tulisan cerdas bernama skripsi itu. Prosedur-prosedur berikutnya tetap dilaluinya. Tentu saja dengan kemudahan di sana sini karena Kasim spesial. Pada akhirnya, skripsi selesai kemudian Kasim dinyatakan lulus sebagai Insinyur Pertanian.
Hotel Salak menjadi tempat yang cocok untuk sosok hebat seperti Kasim. Ia dipersilakan beristirahat dengan tenang di tempat yang nyaman itu untuk kemudian bersiap-siap melakukan wisuda istimewa baginya keesokan harinya.
Bukan nyaman yang didapat, tapi justru Kasim tidak bisa tidur. Suara kendaraan yang mondar-mandir di depan hotel menggangu telinganya. Kasim tidak terbiasa dengan hal tersebut. Maka ia mencari meja yang ada di kamarnya. Kemudian dia tidur di atasnya. Lelap. Tertawalah teman-teman Kasim mendengar insiden meja itu.
Wisuda spesial untuk orang spesial. Tidak seperti biasanya, dandanan Kasim pagi itu rapi sekali, setelan jas yang harum lengkap dengan sepatu mengkilap seperti lampu taman yang diberikan temannya membuat Kasim tampak beda. Sangat berbeda. Rambutnya disisir rapi dengan potongan yang cerdas.
Setelah proses wisuda selesai, banyak badan yang menawarinya pekerjaan. Teman-temannya yang sudah menjadi petinggi di sini dan di sana pun ikut menawarinya pekerjaan. Namun, semua ditolaknya dengan tegas. Kasim ingin kembali ke Waimital. Membangun Waimital kembali. Lima belas tahun masih belum cukup baginya. Maka berangkatlah Kasim kembali ke Waimital. Kali ini dengan title Insinyur di depan namanya. Tapi Kasim tak terlalu ambil pusing perihal title.
Beberapa waktu kemudian, Kasim berubah pikiran. Mungkin ia berpikir bahwa lebih baik ia menggodok seribu Kasim lainnya agar perjuangannya dapat ditularkan. Akhirnya ia beralih menjadi dosen di Universitas Syah Kuala, universitas negeri termashur di Aceh.
Walaupun rupa ini tidak pernah bertatap, bahkan tidak pula dalam bentuk kata-kata. Tapi pola pikirnya sanggup membuat semangat ini bangkit lagi untuk berguna bagi orang lain. Terima kasih Muhammad Kasim Arifin.
Spoiler for Waimital, Pulau Seram:
Setengah tahun kemudian, teman-temannya mulai bertanya-tanya tentang keberadaan Kasim. Ke mana Kasim? Seharusnya dia sudah kembali ke Bogor untuk menyelesaikan skripsinya.
Setahun berlalu, Kasim tak kunjung muncul. Orangtuanya di Langsa, Aceh sana semakin cemas dengan hal tersebut. Dua tahun berikutnya Kasim juga tak nampak batang hidungnya. Padahal teman-temannya sudah lulus bahkan sudah bekerja menyebar ke seluruh penjuru negeri. Tapi Kasim tetap tak nampak. Sang Ibu semakin cemas.
Orangtua Kasim sudah berkali-kali memintanya pulang. Begitu pula dengan pihak kampus. Panggilan pertama dari sang Rektor yang bercokol kala itu dihiraukannya. Pun dengan panggilan kedua. Untuk panggilan ketiga, Rektor, waktu itu Andi Hakim Nasution, menyematkan Saleh Widodo, sahabat Karim, untuk ikut serta menyerukan panggilan pulang dari rektor tersebut langsung ke Waimital.
Untungnya Kasim mau kembali, tapi itu setelah lima belas tahun. Ya, lima belas tahun. Cukup waktu untuk membuat kulit tangan dan kaki Kasim pecah-pecah. Sebab, setiap harinya, tak kurang 20 kilometer jarak perjalanan Kasim menuju sawah. Ia betul-betul mengajarkan petani daerah itu agar hasil tanamnya meningkat. Setiap hari dua puluh kilometer selama lima belas tahun. Sanggupkah engkau bayangkan, kawan? Sebelas dua belas dengan Lintang dalam cerita Laskar Pelangi yang bersepeda menempuh 40 kilometer setiap harinya itu.
Tak bosan-bosannya ia ajarkan berbagai metode yang didapatkannya di bangku kuliah untuk bisa diterapkan petani. Supaya petani lebih sejahtera hidupnya. Tentang kesejahteraan dirinya sendiri tak menjadi soal baginya.
Kasim menolong masyarakat agar mandiri. Tidak ada imbalan secuil pun atas jasanya ini. Atas jasanya membangun sawah-sawah baru. Atas jasanya memperkenalkan sekaligus membuat irigasi. Juga atas jasanya membuka jalan-jalan desa. Semua tanpa imbalan. Lima belas tahun, kawan.
Hiruk pikuk gemuruh suara manusia menyambut kembalinya Kasim. Teman-temannya yang sudah bergelimang harta memberikannya sepatu baru yang mengkilap seperti lampu taman, pakaian yang harum, tak lupa makanan yang lezat. Semua terharu akan kejadian tersebut. Semua bangga akan Kasim, teman lamanya yang duduk sama-sama mendengarkan dosen dua puluh tahun yang lalu.
Prosedur tetaplah prosedur bagi IPB. Sedemikian besar jasa Kasim, tetap dia harus menyelesaikan skripsinya untuk mendapatkan gelar. Hal tersebut tentu sulit sekali baginya. Lima belas tahun sudah Kasim tidak ditugasi pekerjaan kampus kali ini disuruh membuat skripsi yang merupakan tugas kampus paling berat bagi mahasiswa.
Teman-temannya tak hilang akal. Maka direkamlah semua cerita Kasim selama lima belas tahun membangun Waimital. Semua ia ceritakan. Butuh 28 jam untuk merekam apa yang Kasim ceritakan. Kemudian ada orang yang mengolahnya menjadi sebuah tulisan cerdas bernama skripsi itu. Prosedur-prosedur berikutnya tetap dilaluinya. Tentu saja dengan kemudahan di sana sini karena Kasim spesial. Pada akhirnya, skripsi selesai kemudian Kasim dinyatakan lulus sebagai Insinyur Pertanian.
Hotel Salak menjadi tempat yang cocok untuk sosok hebat seperti Kasim. Ia dipersilakan beristirahat dengan tenang di tempat yang nyaman itu untuk kemudian bersiap-siap melakukan wisuda istimewa baginya keesokan harinya.
Bukan nyaman yang didapat, tapi justru Kasim tidak bisa tidur. Suara kendaraan yang mondar-mandir di depan hotel menggangu telinganya. Kasim tidak terbiasa dengan hal tersebut. Maka ia mencari meja yang ada di kamarnya. Kemudian dia tidur di atasnya. Lelap. Tertawalah teman-teman Kasim mendengar insiden meja itu.
Wisuda spesial untuk orang spesial. Tidak seperti biasanya, dandanan Kasim pagi itu rapi sekali, setelan jas yang harum lengkap dengan sepatu mengkilap seperti lampu taman yang diberikan temannya membuat Kasim tampak beda. Sangat berbeda. Rambutnya disisir rapi dengan potongan yang cerdas.
Setelah proses wisuda selesai, banyak badan yang menawarinya pekerjaan. Teman-temannya yang sudah menjadi petinggi di sini dan di sana pun ikut menawarinya pekerjaan. Namun, semua ditolaknya dengan tegas. Kasim ingin kembali ke Waimital. Membangun Waimital kembali. Lima belas tahun masih belum cukup baginya. Maka berangkatlah Kasim kembali ke Waimital. Kali ini dengan title Insinyur di depan namanya. Tapi Kasim tak terlalu ambil pusing perihal title.
Beberapa waktu kemudian, Kasim berubah pikiran. Mungkin ia berpikir bahwa lebih baik ia menggodok seribu Kasim lainnya agar perjuangannya dapat ditularkan. Akhirnya ia beralih menjadi dosen di Universitas Syah Kuala, universitas negeri termashur di Aceh.
Walaupun rupa ini tidak pernah bertatap, bahkan tidak pula dalam bentuk kata-kata. Tapi pola pikirnya sanggup membuat semangat ini bangkit lagi untuk berguna bagi orang lain. Terima kasih Muhammad Kasim Arifin.
Spoiler for Taufik Ismail:
Quote:
Quote:
Karya Taufik Ismail
Syair untuk Seorang Petani dari Waimital (Pulau Seram) yang pada Hari Ini Pulang ke Almamaternya
Spoiler for I:
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
Spoiler for II:
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Orang-orang menggali tali air irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Orang-orang menggali tali air irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
Spoiler for III:
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilo sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani mengaji
Ayat-ayat alam
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilo sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani mengaji
Ayat-ayat alam
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
Spoiler for IV:
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dikais-kaisnya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-mayur yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dikais-kaisnya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-mayur yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
Quote:
Catatan:
Bagian IV syair puisi ini dibacakan oleh sahabatnya, yakni Bpk Taufiq Ismail, pada hari wisuda Institut Pertanian Bogor di kampus Darmaga, Sabtu, 22 September 1979, sesudah Antua M. Kasim Arifin (lahir Langsa-Aceh Timur, 18 April 1938) menerima gelar “Insinyur Pertanian Istimewa”.
Sebelumnya, Kasim yang sudah 15 tahun dikabarkan hilang (sejak melaksanakan Kuliah Kerja Nyata thn 1964 untuk memperkenalkan program Panca Usaha Tani) tapi ternyata menanam akar di Waimital – Maluku, sehingga enggan memenuhi panggilan Rektor Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion. Pada kali ketiga kedatangan utusan Rektor, yaitu sahabatnya Saleh Widodo, baru Kasim mau datang ke Bogor. Dia terharu karena penghargaan almamaternya, tapi pada hakekatnya dia tidak memerlukan gelar akademik.
Pada hari wisuda itu Kasim yang berbelas tahun berkaus oblong dan bersandal jepit saja, kegerahan karena mengenakan jas, dasi dan sepatu, hadiah patungan sahabat-sahabatnya. Mahasiswa-mahasiswa IPB mengerubunginya selalu dan mengaguminya sebagai teladan keikhlasan pengamalan ilmu pertanian di pedesaan. Berbagai tawaran pekerjaan disampaikan padanya, tapi dia kembali lagi ke desa Waimital sesudah wisuda. Kemudian sesudah itu dia menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di tanah asalnya (pensiun tahun 1994). Tawaran meninjau pertanian di Amerika Serikat ditolaknya.
Ketika ditanya kenapa kesempatan jalan-jalan ke A.S. itu tak diterimanya, sambil tertawa Kasim berkata bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesianya saja sudah banyak lupa. Kemudian yang penting lagi, katanya, apa manfaatnya meninjau pertanian di sana, yang berbeda sekali dengan pertanian kita di sini. Kesempatan meninjau sambil liburan tamasya ke A.S. itu tak menarik hatinya…
Beliau memang telah lama tiada, tapi kisah inspiratifnya tetap selalu terkenang. Beliaulah Mahasiswa sejati, yang akan selalu dikenang di negeri ini…
Bagian IV syair puisi ini dibacakan oleh sahabatnya, yakni Bpk Taufiq Ismail, pada hari wisuda Institut Pertanian Bogor di kampus Darmaga, Sabtu, 22 September 1979, sesudah Antua M. Kasim Arifin (lahir Langsa-Aceh Timur, 18 April 1938) menerima gelar “Insinyur Pertanian Istimewa”.
Sebelumnya, Kasim yang sudah 15 tahun dikabarkan hilang (sejak melaksanakan Kuliah Kerja Nyata thn 1964 untuk memperkenalkan program Panca Usaha Tani) tapi ternyata menanam akar di Waimital – Maluku, sehingga enggan memenuhi panggilan Rektor Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion. Pada kali ketiga kedatangan utusan Rektor, yaitu sahabatnya Saleh Widodo, baru Kasim mau datang ke Bogor. Dia terharu karena penghargaan almamaternya, tapi pada hakekatnya dia tidak memerlukan gelar akademik.
Pada hari wisuda itu Kasim yang berbelas tahun berkaus oblong dan bersandal jepit saja, kegerahan karena mengenakan jas, dasi dan sepatu, hadiah patungan sahabat-sahabatnya. Mahasiswa-mahasiswa IPB mengerubunginya selalu dan mengaguminya sebagai teladan keikhlasan pengamalan ilmu pertanian di pedesaan. Berbagai tawaran pekerjaan disampaikan padanya, tapi dia kembali lagi ke desa Waimital sesudah wisuda. Kemudian sesudah itu dia menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di tanah asalnya (pensiun tahun 1994). Tawaran meninjau pertanian di Amerika Serikat ditolaknya.
Ketika ditanya kenapa kesempatan jalan-jalan ke A.S. itu tak diterimanya, sambil tertawa Kasim berkata bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesianya saja sudah banyak lupa. Kemudian yang penting lagi, katanya, apa manfaatnya meninjau pertanian di sana, yang berbeda sekali dengan pertanian kita di sini. Kesempatan meninjau sambil liburan tamasya ke A.S. itu tak menarik hatinya…
Beliau memang telah lama tiada, tapi kisah inspiratifnya tetap selalu terkenang. Beliaulah Mahasiswa sejati, yang akan selalu dikenang di negeri ini…
Spoiler for Kasim Arifin:
Quote:
Semoga tulisan ini bermanfaat, selamat berkarya,
ditunggu cendol, rate, dan sharenya kawan.
ditunggu cendol, rate, dan sharenya kawan.
Spoiler for sumber:
Dikutip dari berbagai sumber,
https://sagoeleuser5.wordpress.com/2...eal-mahasiswa/
http://ozip09.student.ipb.ac.id/2012...lama-15-tahun/
http://kairatu.blogspot.co.id/
https://sagoeleuser5.wordpress.com/2...eal-mahasiswa/
http://ozip09.student.ipb.ac.id/2012...lama-15-tahun/
http://kairatu.blogspot.co.id/
Diubah oleh mamokgalau 17-07-2017 04:29
tien212700 memberi reputasi
1
7.9K
Kutip
30
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
922.8KThread•82.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru