Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

harri8998Avatar border
TS
harri8998
Proyek Puskemas Rp.205 Miliar,PT.PP Precast Coreng Kinerja Ahok
Proyek Puskesmas Rp 205 Miliar: PT. PP Precast Coreng Kinerja Ahok


JAKARTA (IGS BERITA) — Langsung tidak langsung, proyek pembangunan 18 puskesmas senilai Rp 204,75 miliar, yang dikerjakan PT. PP Precast alias PT. PP Pracetak, dianggap telah mencoreng kinerja mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Proyek tersebut merupakan salah satu produk dari kebijakan “lelang konsolidasi” ala Ahok guna menopang program akselerasi atau percepatan pembangunan di DKI Jakarta.

Proyek Puskemas Rp.205 Miliar,PT.PP Precast Coreng Kinerja Ahok

BACA JUGA:

Pembangunan Puskesmas Mulur, Kebijakan Ahok Pun Berantakan


Hingga detik ini, belum ada satu pun dari 18 puskesmas itu yang bisa digunakan untuk melayani masyarakat DKI Jakarta. Padahal, berdasarkan perencanaannya, pembangunan itu seharusnya rampung di akhir tahun 2016, dan mulai dioperasikan pada bulan April 2017. Bahkan, pihak Pemprov DKI Jakarta pun mengaku sudah memberikan perpanjangan waktu pelaksanaan sebanyak dua kali. Tapi tetap saja PT. PP Pracetak gagal melaksanakan kewajibannya sesuai isi dari perjanjian kontrak kerja.

Ujung-ujungnya, sejumlah pihak, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Wilayah DKI Jakarta, melaporkan masalah tersebut ke lembaga-lembaga penegakan hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).



Berdasarkan investigasi IGS Berita ke lokasi pembangunan Puskesmas Kecamatan Matraman, Jakarta Timur, Kamis (6/7), tidak ditemukan seorang pun tenaga kerja di sana. Menurut petugas keamanan, para tukang dari proyek itu masih pada liburan Hari Raya Idul Fitri.

“Tukang-tukangnya belum pada kerja, Bang. Masih pada mudik Lebaran,” katanya.

Dihubungi terpisah, Kepala Bagian Tata Usaha Puskesmas Kecamatan Matraman, Teguh, menyebutkan, di bulan Juli ini, mereka terpaksa harus segera mengisi gedung baru itu, walaupun pembangunannya belum selesai.

“Kita sudah menyewa tempat pelayanan sementara ini selama dua tahun. Jadi, di bulan Juli ini, mau tidak mau kita wajib pindah ke gedung yang baru itu, walaupun belum selesai,” kata Teguh kepada IGS Berita, Kamis (6/7), di tempat pelayanan sementara Puskesmas Kecamatan Matraman, sekitaran Jalan Kayu Manis, Jakarta Timur.

Teguh pun menyampaikan keluhannya terkait kondisi gedung baru yang masih belum sesuai dengan harapan.

“Beberapa item pekerjaan tidak sesuai dengan harapan, dan kita sudah minta untuk diganti atau diperbaiki. Antara lain, pintu jalur evakuasi, yang semula hanya satu pintu, kita minta diubah menjadi dua pintu, agar lebih lebar dan memungkinkan proses evakuasi berjalan lancar,” kata Teguh lagi.



Akui Pemeriksaan Bareskrim

Kepala Sub-Bagian Sarana dan Prasarana Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Nunit Pujiati, yang juga merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari proyek pembangunan 18 puskesmas senilai Rp 204,75 miliar itu, mengakui adanya pemeriksaan dari Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dit. Tipikor) Bareskrim di Mabes Polri.

“Terkait masalah pembangunan 18 puskesmas ini, saya juga sudah dipanggil oleh Dit. Tipikor Bareskrim Polri pada bulan Februari 2017, atas pengaduan BPK. Pemeriksaan ini membuat saya bingung. Salah saya apa? Pihak BPK saja belum melakukan audit. Pembayaran terhadap pihak ketiga pun hanya 45 persen, sesuai dengan perhitungan bobot kerja yang sudah dilaksanakan hingga akhir Tahun Anggaran 2016,” kata Nunit Pujiati kepada IGS Berita, Selasa (4/7), di ruang kerjanya.

Menurut Nunit, pihaknya memang masih bersikap toleran kepada PT. PP Pracetak selaku pelaksana dengan memberikan perpanjangan waktu kerja. Namun, pembayarannya baru diberikan 45 persen, dan sisanya sedang diajukan untuk dialokasikan pada APBD Perubahan (APBD-P) Tahun 2017.

“Dengan berbagai pertimbangan, setelah memberikan perpanjangan 50 hari kerja terhadap pihak ketiga, kami pun menyampaikan surat kepada Gubernur untuk mendapatkan total waktu pelaksanaan sekitar delapan bulan guna menyelesaikan pekerjaan. Kalau hanya diberi perpanjangan waktu 50 hari, maka proyek tidak akan rampung. Hal ini juga kami sampaikan kepada Menteri Keuangan, meminta perpanjangan waktu 90 hari,” kata Nunit.


Demi menyelamatkan proyek pembangunan 18 puskesmas itu, Nunit pun mengaku sudah berkonsultasi dengan pihak Divisi II Bidang Sanggahan Hukum LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah).

“Menurut LKPP, dalam Peraturan Presiden yang baru tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah itu tidak ada batasan perpanjangan waktu 50 hari untuk menyelesaikan pekerjaan. Karena, Perpres yang baru itu (Nomor 4 Tahun 2015 –red) lebih fleksibel. Berapa lama dia terlambat, itulah yang harus disetorkan sebagai jaminan bank. Yang penting, pihak ketiga punya iktikad untuk menyelesaikan pekerjaan, dan jangan sampai ditemukan indikasi KKN,” kata Nunit, menirukan penjelasan LKPP.

Proyek Puskemas Rp.205 Miliar,PT.PP Precast Coreng Kinerja Ahok
Kondisi proyek puskesmas di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, pada tanggal 4 Januari 2017 (Foto: Dok. IGS Berita).*


Berbeda dengan pantauan IGS Berita tadi, Nunit mengaku proyek pembangunan 18 puskesmas itu sudah selesai pada bulan Mei 2017, setelah diberikan dua kali perpanjangan waktu.

“Proses pengajuan pembayarannya ada pada Pergub Nomor 241 Tahun 2016. Namun, aturan itu hanya digunakan untuk penyerapan anggaran tahun 2016. Sisanya masih kita ajukan untuk dialokasikan pada APBD-P 2017. Pak Plt. Gubernur Sumarsono menerbitkan peraturan itu dengan alasan dan pertimbangan demi mengatasi kekisruhan di berbagai proyek pembangunan di DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2016,” kata Nunit.


Gara-gara Kegagalan Lelang

Di mata Nunit, keterlambatan pelaksanaan pembangunan 18 puskesmas bernilai Rp 204,75 miliar itu tak lepas dari beberapa kegagalan pada proses lelang, yang membuat penandatangan kontrak kerja dengan pemenangnya baru bisa dilakukan bulan Agustus 2016.

“Meski waktu pelaksanaannya sudah sangat mepet, tapi pembangunan puskesmas-puskesmas itu sangatlah dibutuhkan, karena kondisi gedung-gedungnya sudah kurang bagus. Kebijakan itu dilakukan semata-mata demi meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat,” kata Nunit.

Ia menyadari, program pembangunan 18 puskesmas itu, dengan sistem konsolidasi yang artinya dikerjakan secara serentak oleh satu perusahaan pelaksana, memang sangatlah memberatkan, apalagi waktunya sudah kian mepet.

“Tapi, karena amanat itu sudah diberikan kepada saya sebagai PPK, ya mau tidak mau harus dijalankan. Bagi saya, pekerjaan ini adalah pengalaman yang cukup besar. Bayangkan, untuk mengurusi satu gedung saja sudah sulit, apalagi ini ngurusin 18 gedung di 18 lokasi yang terpencar, dalam waktu bersamaan,” kata Nunit.

Secara teknis, Nunit menilai, sistem konsolidasi untuk mendorong percepatan pembangunan ini masih kurang didukung oleh faktor kesiapan di berbagai aspek, termasuk di tubuh Pemprov DKI Jakarta sendiri.

“Singkatnya, kita semua masih terkaget-kaget dengan pola baru ini, dan masih dalam tahap pembelajaran untuk melaksanakannya. Tapi, saya percaya, bila tahap pembelajaran ini terlewati, pola baru ini pun akhirnya akan berjalan dengan baik juga,” katanya.

Di mata Nunit, kebijakan konsolidasi ini sebenarnya berpotensi menciptakan efisiensi dalam proses pembangunan, baik secara waktu maupun biaya.

“Ambil contoh, kalau ada 60 gedung yang akan direnovasi, dan harus ditenderkan dalam 60 paket, berapa lama waktu dan beban biayanya? Pada sistem konsolidasi, cukup dengan melelangkan satu paket kita sudah bisa mendapatkan 60 gedung yang diperbaiki. Jauh lebih efisien, meski tanggung jawabnya pun memang menjadi jauh lebih besar,” kata Nunit.


Inspektorat Sudah Mengingatkan

Sementara itu, Kepala Inspektorat DKI Jakarta, Zainal, mengaku, pihaknya sudah mengingatkan segala kemungkinan yang bisa terjadi terkait proses pembangunan 18 puskesmas tersebut.

“Pada saat pihak Dinas Kesehatan DKI Jakarta berkonsultasi dengan Inspektorat, kami sudah mengingatkan, atau tepatnya menyarankan, kalau memang kebijakan perpanjangan waktu 50 hari itu tetap tidak dapat membuat pekerjaan menjadi selesai, lebih baik dilakukan pemutusan kontrak saja, cairkan jaminan pelaksanaannya, dan jatuhkan sanksi blacklist terhadap kontraktornya. Semua itu sesuai aturan, dan menjadi tanggung jawab PPK. Maka, kami menyarakankan agar dilakukan perhitungan yang benar-benar matang, berdasarkan peninjauan lapangan yang teliti,” kata Zainal kepada IGS Berita, Jumat (7/7), di ruang kerjanya.

Ia menjelaskan, seharusnya PPK menghitung, bila bobot kerjanya di bulan Desember 2016 masih sekitar 45 persenan, mungkinkah sisa pekerjaan yang 55 persen itu bisa dirampungkan dalam tempo 50 hari?

Zainal pun membenarkan, masalah proyek 18 puskesmas itu sekarang memang sudah dibahas pada rapat dengan pihak BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah) DKI Jakarta.

Ia juga tidak menyangkal soal adanya kebijakan perpanjangan waktu 50 hari dalam Pergub Nomor 241 Tahun 2016.

“Soal perpanjangan waktu 50 hari tersebut, tentu ada prosedurnya, dan itu merupakan kewenangan PPK,” kata Zainal.



Dilaporkan ke KPK

Masalah pembangunan 18 puskesmas itu kini semakin panas dengan meluncurnya laporan dari Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia ke KPK, Jumat (7/7).

Dalam siaran persnya, Ketua Nasional Rekan Indonesia, Agung Nugroho, mengatakan, proyek yang dilaksanakan PT. PP Pracetak tersebut berjalan amburadul dan sarat indikasi KKN.

“PT. PP Pracetak, yang memenangi lelang konsolidasi pada Agustus 2016, ternyata tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai perjanjian kontrak, akhir Desember 2016. Pemprov DKI Jakarta, sesuai Pergub Nomor 241 Tahun 2016, memberikan perpanjangan waktu selama 50 hari, terhitung sejak 1 Januari hingga 20 Februari 2017. Tapi, lagi-lagi PT. PP Pracetak gagal menyelesaikan pekerjaannya,” kata Agung Nugroho.

Proyek pembangunan puskesmas itu tersebar di 18 lokasi, yakni di Jalan Mangga Dua Dalam Nomor 1 Sawah Besar (Jakarta Pusat), Jalan Pramuka Sari Nomor 1 Cempaka Putih (Jakarta Pusat), Jalan Harapan Mulya Barat Nomor 1 Kemayoran (Jakarta Pusat), Jalan Danau Toba Nomor 1 Tanah Abang (Jakarta Pusat), Jalan Pisangan Baru Timur Nomor 2A Matraman (Jakarta Timur), Jalan Kerja Bhakti RT 002 RW 010 Kramat Jati (Jakarta Timur), Jalan H. Baping RT 007 RW 006 Ciracas (Jakarta Timur), Jalan Raya Kembangan RT 005 RW 002 Kembangan (Jakarta Barat), Jalan Tanjung Pura Nomor 14 Kalideres (Jakarta Barat), Jalan Blustru Nomor 1 Taman Sari (Jakarta Barat), Jalan Alur Laut Nomor 1-A Koja (Jakarta Utara), Jalan Papanggo II-B Nomor 69 Tanjung Priok (Jakarta Utara), Jalan Mahoni Nomor 9 Koja Selatan (Jakarta Utara), Jalan Sungai Landak Nomor 26 Cilincing (Jakarta Utara), Jalan Palem VIII RT 001 RW 008 Pesanggrahan (Jakarta Selatan), Jalan Pasir RT 001 RW 006 Jagakarsa (Jakarta Selatan), Jalan Kemandoran I RT 004 RW 005 Kebayoran Lama (Jakarta Selatan), dan Jalan Dermaga Pulau Harapan Nomor 26 RT 001 RW 001 Kepulauan Seribu.

“Dinas Kesehatan DKI Jakarta berdalih, masa perpanjangan waktu 90 hari diberikan karena sudah bisa masuk ke tahap pemeliharaan. Ini jelas aneh. Karena, tahap pemeliharaan baru bisa dilakukan jika tahap pembangunan gedung sudah benar-benar rampung,” kata Agung.

Alasan-alasan yang tidak masuk akal itulah, menurut Agung, yang mengindikasikan adanya “permainan” berbau KKN dalam proyek tersebut, sejak proses lelang hingga pelaksanaannya.



Kok Malah Dibelain

Dihubungi secara terpisah, praktisi hukum yang juga pengamat masalah sosial kemasyarakatan, Barry Pradana, merasa heran, alih-alih ditindak tegas, kok PT. PP Pracetak malah dibelain oleh pihak Pemprov DKI Jakarta, yang —notabene— merupakan user (pengguna) dari proyek tersebut.

“Seharusnya, pihak Pemprov DKI Jakartalah yang merasa paling dirugikan —bahkan tertipu— oleh ulah PT. PP Pracetak. Ini kok mereka (Pemprov DKI Jakarta) malah seperti jadi advokat-nya. Ada apa sih sebenarnya di antara mereka?” kata Barry Pradana, saat dihubungi IGS Berita melalui sambungan telepon, Senin (10/7) pagi.

Di mata Barry, banyak kesempatan untuk menyelamatkan proyek ini dari masalah, tapi ternyata tidak dilakukan. Antara lain, kalau memang sejak awal sudah diperhitungkan waktu pelaksanaannya terlalu singkat, seharusnya tidak perlu dipaksakan untuk dilaksanakan.

“Jangan-jangan memang sudah ada niat untuk ngakali-nya manakala pekerjaan itu memang tidak dapat diselesaikan sesuai waktu yang direncanakan. Bukankah itu malah membuat sistem konsolidasi menjadi tidak efisien lagi? Ujung-ujungnya, niat melakukan penghematan pun malah berubah menjadi pemborosan, memperbesar kerugian keuangan dan waktu milik negara dan masyarakat,” kata Barry.

Menurut Barry, ketika terjadi berbagai kegagalan dalam proses tender, seharusnya segera dievaluasi apakah pola lelang konsolidasi itu masih sesuai dengan tujuannya atau tidak. Jangan dipaksakan terus, yang akhirnya malah “lari” dari tujuan dan niatnya semula.

“Saya curiga, jangan-jangan sudah terjadi kesalahpahaman dalam penerapan lelang konsolidasi ini, terutama antara keinginan Ahok selaku Gubernur dengan para pejabat pelelangan di jajaran Pemprov DKI Jakarta. Karena, saya yakin, kondisi yang saat ini terjadi pasti bukanlah situasi yang dicita-citakan Ahok,” kata Barry lagi.

Namun, ia menambahkan, sebaiknya semua pihak menahan diri dulu, dan menyerahkan penanganan masalah ini kepada lembaga-lembaga penegak hukum.

“Kalau memang perkaranya sudah mengalir ke lembaga-lembaga penegakan hukum, ya kita percayakan sajalah pada mekanisme yang ada. Kecuali kalau nanti ternyata mekanismenya terindikasi macet,” katanya. (jfm/tom/yhr).*

Lebih Lengkap dan Sumber : Klik Disini
0
4K
24
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.3KThread41.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.