- Beranda
- The Lounge
“Saya Indonesia, Saya Pancasila” Menggema di Sosmed
...
TS
raisafans
“Saya Indonesia, Saya Pancasila” Menggema di Sosmed
Quote:
Selamat hari lahir Pancasila! Di kesempatan yang baik ini, mari kita mengelilingi dunia pemikiran Pancasila. Ada dua macam pemikiran yang akan menjadi bahan perbandingan. Memaknai Pancasila dari pendekatan rasional dan mistik. Kita tahu bahwa selama ini, Orde Baru mencekoki kita dengan pendekatan mistik mengenai Pancasila. Maka tidak heran jika kita sering mendengar hari ‘kesaktian’ Pancasila, ketimbang hari ‘lahir’ Pancasila. Dua pemikiran ini dilatar belakangi oleh dua raksasa Indonesia, yaitu Soekarno dan Soeharto. Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila, sedangkan tanggal 1 Oktober kita merayakan kesaktiannya. Namun apakah para pembaca Seword sadar bahwa selama masa Orde Baru, hari lahir Pancasila secara sistematis dicoba untuk dihilangkan dari memori bangsa? Dan sepanjang era itu, justru setiap tanggal 1 Oktober dipasang bendera setengah tiang. Mengapa? Karena di era tersebut Kesaktian Pancasila diganti dan disubstitusi dengan hari berkabung nasional, karena terbunuhnya sejumlah perwira TNI. Di era Soeharto kita tahu bahwa militer memiliki posisi yang sangat tinggi pada saat itu. TNI sangat diagung-agungkan, mereka dianggap sebagai pahlawan bangsa yang jauh melebihi siapapun. Maka tidak heran pada era Soeharto, pemutaran film G30S-PKI menjadi sebuah tontonan tahunan. Film tersebut mempertontonkan kekejian PKI dan sekaligus kekuatan TNI yang pada saat itu terzalimi oleh rezim PKI. Namun kita tahu bahwa akhirnya film tersebut dicabut dari peredaran tahunan karena satu dan lain hal, misalnya kekerasan yang dipertontonkan tidak pantas.
Maka tidak heran setelah 30 September 1965, rezim Orde Baru justru mengindoktrinasi warganya dengan mengangkat bendera setengah tiang, untuk mengenang jasa para pahlawan. Setiap negara tentu harus memiliki momen-momen yang dapat dimaknai untuk menumbuhkan kesadaran akan identitas, solidaritas, dan kekuatan bangsa. Per tahun ini, Pak Jokowi menjadikan 1 Juni sebagai hari libur, untuk memperingati hari kelahiran Pancasila. Pancasila dibentuk bukan melalui sebuah situasi yang ‘baik-baik’ saja. Pancasila lahir ketika Soekarno pada saat itu sedang dibuang ke Ende. Lihat saja Ahok nanti setelah ‘dibuang’, apa yang akan ia hasilkan. Hehehe. Bung Karno yang merupakan salah satu founding fathers dari asar negara ini menjelaskan Pancasila dengan penjelasan yang sangat rasional. Pidato pada tanggal 1 Juni 1945 berisi sebuah penjelasan yang sangat jelas, tidak sembarangan, atas Pancasila sebagai dasar Negara. Namun kita tahu bahwa Soeharto mengajak rakyat mengerti dan memaknai Pancasila secara mistis, maka Soeharto lebih suka istilah ‘kesaktian’, bukan ‘kelahiran’. Lahir adalah sesuatu yang bersifat rasional, sedangkan ‘sakti’ adalah sifat supranatural. Inilah perbedaan antara Soekarno dan Soeharto.
Buah pemikiran Soekarno dilahirkan di dalam jeruji besi, ketika ia mengalami pembuangan oleh penjajah yang berkuasa pada saat itu. Pendekatan Soekarno mengenai Pancasila secara rasional, memperlihatkan otentisitas dari pemikiran Soekarno saat itu. Namun sayangnya, setiap tahun pada rezim orde baru, Soeharto membacakan pendekatan Pancasila dengan datar dan dingin, seolah-olah ada hal-hal yang sengaja ingin dilewatkan, yaitu semangat berpikir. Soeharto menyukai hal-hal yang bersifat mistis. Namun untuk kita ketahui bersama, pendekatan Pancasila dengan cara mistis justru bertolak belakang dengan apa yang menjadi tujuan Pancasila itu sendiri, yaitu rasionalitas. Pendekatan mistik dari sebuah negara, justru menghambat kemajuan negara itu sendiri. Jadi, selama rezim orde baru, tidak sedikit memproduksi pemikiran prematur, bahkan cenderung radikal dan garis keras. Mengapa? Karena mereka tidak memaknai Pancasila secara rasional, melainkan secara mistis, seperti yang ditekankan oleh Soeharto pada saat berkuasa di Indonesia.
Presiden RI Joko Widodo akhirnya memberikan sebuah gebrakan di dalam memperingati hari lahirnya Pancasila. 1 Juni ditetapkan sebagai hari libur nasional, tanggal merah. Banyak yang tidak mengerti makna yang dimaksud oleh Pak Dhe Joko Widodo. Maka izinkan saya untuk menjelaskan hal tersebut, Pak Dhe Joko Widodo menjadikan tanggal merah dengan alasan yang jelas. Di dalam situasi dan kondisi yang sudah rentan, Jokowi ingin membawa sebuah pengertian bahwa Pancasila bukan sesuatu yang dapat dipermainkan. Tanggal 1 Juni 1945 tidak bisa dibandingkan dengan 1 Oktober 1965. 1 Juni adalah sebuah fakta lahirnya Pancasila, sedangkan 1 Oktober adalah fakta dari kematian PKI. Mungkin kedua hari tersebut merupakan hari pentingi bangsa Indonesia. Namun jauh lebih bermakna jika kita menikmati hari kelahiran Pancasila, dan menjadikan hari itu sebagai hari di mana seluruh bangsa melihat kekuatan dasar negara Indonesia. Tidak ada yang salah memeringati suasana perkabungan 1 Oktober, namun banyak orang yang justru terbawa suasana ketakutan kepada PKI seperti Alfian Tanjung yang akhirnya harus berkasus dengan polisi karena memfitnah Jokowi dan kader PDI sebagai Neo-PKI. Sifat konstruktif ini harus ditanamkan oleh setiap dari kita.
Maka tidak heran setelah 30 September 1965, rezim Orde Baru justru mengindoktrinasi warganya dengan mengangkat bendera setengah tiang, untuk mengenang jasa para pahlawan. Setiap negara tentu harus memiliki momen-momen yang dapat dimaknai untuk menumbuhkan kesadaran akan identitas, solidaritas, dan kekuatan bangsa. Per tahun ini, Pak Jokowi menjadikan 1 Juni sebagai hari libur, untuk memperingati hari kelahiran Pancasila. Pancasila dibentuk bukan melalui sebuah situasi yang ‘baik-baik’ saja. Pancasila lahir ketika Soekarno pada saat itu sedang dibuang ke Ende. Lihat saja Ahok nanti setelah ‘dibuang’, apa yang akan ia hasilkan. Hehehe. Bung Karno yang merupakan salah satu founding fathers dari asar negara ini menjelaskan Pancasila dengan penjelasan yang sangat rasional. Pidato pada tanggal 1 Juni 1945 berisi sebuah penjelasan yang sangat jelas, tidak sembarangan, atas Pancasila sebagai dasar Negara. Namun kita tahu bahwa Soeharto mengajak rakyat mengerti dan memaknai Pancasila secara mistis, maka Soeharto lebih suka istilah ‘kesaktian’, bukan ‘kelahiran’. Lahir adalah sesuatu yang bersifat rasional, sedangkan ‘sakti’ adalah sifat supranatural. Inilah perbedaan antara Soekarno dan Soeharto.
Buah pemikiran Soekarno dilahirkan di dalam jeruji besi, ketika ia mengalami pembuangan oleh penjajah yang berkuasa pada saat itu. Pendekatan Soekarno mengenai Pancasila secara rasional, memperlihatkan otentisitas dari pemikiran Soekarno saat itu. Namun sayangnya, setiap tahun pada rezim orde baru, Soeharto membacakan pendekatan Pancasila dengan datar dan dingin, seolah-olah ada hal-hal yang sengaja ingin dilewatkan, yaitu semangat berpikir. Soeharto menyukai hal-hal yang bersifat mistis. Namun untuk kita ketahui bersama, pendekatan Pancasila dengan cara mistis justru bertolak belakang dengan apa yang menjadi tujuan Pancasila itu sendiri, yaitu rasionalitas. Pendekatan mistik dari sebuah negara, justru menghambat kemajuan negara itu sendiri. Jadi, selama rezim orde baru, tidak sedikit memproduksi pemikiran prematur, bahkan cenderung radikal dan garis keras. Mengapa? Karena mereka tidak memaknai Pancasila secara rasional, melainkan secara mistis, seperti yang ditekankan oleh Soeharto pada saat berkuasa di Indonesia.
Presiden RI Joko Widodo akhirnya memberikan sebuah gebrakan di dalam memperingati hari lahirnya Pancasila. 1 Juni ditetapkan sebagai hari libur nasional, tanggal merah. Banyak yang tidak mengerti makna yang dimaksud oleh Pak Dhe Joko Widodo. Maka izinkan saya untuk menjelaskan hal tersebut, Pak Dhe Joko Widodo menjadikan tanggal merah dengan alasan yang jelas. Di dalam situasi dan kondisi yang sudah rentan, Jokowi ingin membawa sebuah pengertian bahwa Pancasila bukan sesuatu yang dapat dipermainkan. Tanggal 1 Juni 1945 tidak bisa dibandingkan dengan 1 Oktober 1965. 1 Juni adalah sebuah fakta lahirnya Pancasila, sedangkan 1 Oktober adalah fakta dari kematian PKI. Mungkin kedua hari tersebut merupakan hari pentingi bangsa Indonesia. Namun jauh lebih bermakna jika kita menikmati hari kelahiran Pancasila, dan menjadikan hari itu sebagai hari di mana seluruh bangsa melihat kekuatan dasar negara Indonesia. Tidak ada yang salah memeringati suasana perkabungan 1 Oktober, namun banyak orang yang justru terbawa suasana ketakutan kepada PKI seperti Alfian Tanjung yang akhirnya harus berkasus dengan polisi karena memfitnah Jokowi dan kader PDI sebagai Neo-PKI. Sifat konstruktif ini harus ditanamkan oleh setiap dari kita.
Semoga aje masyarakat Indonesia tetap berpegang teguh pd PANCASILA.,..
Spoiler for :
0
1.9K
Kutip
16
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.1KThread•83.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru