BeritagarID
TS
MOD
BeritagarID
Dokter tolak BPJS karena riba. Apa hukumnya?

Suasana pendaftaran peserta BPJS di Divisi Regional I, di Medan, Sumatera Utara, Selasa (2/5). Per 1 April 2017, tercatat 175,7 juta warga terdaftar sebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah sakit, ditolak pula.

Kondisi ini mungkin bisa menggambarkan pasien yang ditolak dokter di Rumah Sakit Bersalin Permata Sarana Husada Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Gara-garanya mereka periksa dengan layanan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

Kabar ini ramai di linimasa sejak Selasa (23/5). Sebuah cuitan di Twitter menunjukkan pasangan suami istri yang memeriksakan anaknya ditolak karena menggunakan BPJS yang dianggap riba.
Ini dokternya keblinger atau gimana sih? [URL="https://S E N S O R9ZJyAOLjsy"]pic.twitter.com/9ZJyAOLjsy[/URL]
— SISKA (@fransiskancis) May 23, 2017
Kepala Departemen Komunikasi dan Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi, enggan menanggapi apakah BPJS itu riba atau bukan. Sebab itu adalah pendapat pribadi yang menyangkut keyakinan dan agama yang bisa berbeda tiap orang.

"Kami tidak mau masuk dalam ranah itu, kami melaksanakan sesuai UU dan ketentuan yang berlaku. Boleh jadi ada perbedaan pendapat antara A dan B, itu pilihan ya," ujarnya kepada BBC Indonesia, Rabu (24/5).

Irfan menyatakan masalah dokter itu adalah masalah internal rumah sakit yang tidak ada sangkut pautnya dengan BPJS. "Kami sudah komunikasi dengan manajemen rumah sakit, prinsipnya itu tanggung jawab rumah sakit. Tinggal rumah sakit dan dokter itu bagaimana kontraknya," kata Irfan.

Rumah Sakit Permata menjelaskan, memang ada dokter yang sudah tanda tangan mau terima pasien BPJS dan ada yang tidak. Dokter Satyo Satwiko, dari Rumah Sakit Permata menyatakan, dr Masyitha sebelumnya memang sudah tanda tangan dan bersedia menerima pasien BPJS.

"Cuma kemarin ternyata mulai memutuskan tidak bersedia terima pasien BPJS. Kami sendiri belum koordinasi dengan beliaunya langsung," kata dr Satyo, kepada Kumparan.com, Rabu (24/5).

Rumah Sakit Permata akan melakukan pembicaraan secara internal. "Yang jelas kami mengedepankan pelayanan agar pasien dapat ditangani," ujar dr Satyo. Pasien tersebut, tetap diterima dengan dialihkan ke dokter lain.

Bolehkah dokter menolak pasien karena pertimbangan agama?

Butir keenam sumpah dokter disebutkan;

Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian, atau Kedudukan Sosial, dalam menunaikan kewajiban saya terhadap penderita.

Pakar etika kedokteran dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Sintak Gunawan, menuturkan bahwa kasus ini mencerminkan abu-abu dunia kedokteran.

Menurut pendapat Sintak pribadi, dokter berhak saja menolak pasien karena kepercayaannya. "Asal itu sudah diberitahukan sejak awal," katanya seperti dikutip dari Kompas.com.

Tapi penerapan kepercayaan dokter hanya berlaku dalam kondisi tidak gawat. Bila berada dalam situasi yang tak ada pilihan, dokter harus menolong pasien, siapa pun itu.

"Itu karena setiap dokter sudah disumpah untuk menyelamatkan pasien. Setiap dokter wajib merawat pasien paling tidak sampai melewati masa kedaruratannya," kata Sintak.

MUI, hingga kini menganjurkan dokter menolong pasien tanpa pandang bulu. "Sebaiknya dokter tidak perlu memilah milih pasien untuk diperiksa. Siapapun yang perlu ditolong, yang perlu dibantu sebaiknya ya dibantu saja tanpa melihat BPJS yang dianggap riba," kata Ketua Komisi Dakwah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Cholil Nafis, Rabu (24/5) kepada kumparan.com.

Sebelumnya, Komisi Fatwa MUI pada awal Juni 2015 pernah mengeluarkan fatwa jika BPJS Kesehatan belum memenuhi prinsip syariah. Sebab, BPJS Kesehatan masih mengandung unsur ketidakpastian (gharar), judi (maisir), dan riba.

Namun dua bulan kemudian, muncul kesepakatan bersama bahwa BPJS tidak haram.

MUI, BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, serta Otoritas Jasa Keuangan telah mencapai titik terang.

Keputusan dan rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan, tidak haram.

Rekomendasi terakhir adalah perlu penyempurnaan program Jaminan Kesehatan Nasional sesuai dengan nilai-nilai syariah untuk memfasilitasi masyarakat yang memilih program sesuai syariah.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...a-apa-hukumnya

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Sosok terduga teroris Kampung Melayu terungkap

- Polisi kantongi identitas terduga bom bunuh diri Kampung Melayu

- Potongan tubuh dan struk yang tercecer di Kampung Melayu

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
62.5K
490
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.id
icon
13.4KThread724Anggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.