Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

habibgoogleAvatar border
TS
habibgoogle
Dapatkah Kita Hindarkan Perang Dunia Ke Tiga?




Oleh: Abdurrahman Wahid

Pertanyaan dan sekaligus judul di atas, dapat dijawab dengan berbagai cara. Secara historis, perang dunia kedua berakhir dengan kalahnya Adolf Hitler dan Jenderal Tojo (Jepang) pada tahun 1945. Peperangan yang terjadi setelah itu secara umum dapat dianggap sebagai perang kemerdekaan, setidak-tidaknya dari kaca mata negara-negara yang memerdekakan diri dari penjajahan. Namun anehnya, perang Arab-Israel dalam tahun 1948, hanya oleh orang-orang Israel saja dianggap sebagai perang kemerdekaan, karena orang-orang Israel melihat gerakan-gerakan Hagana, yang dipimpin Menachem Begin sebagai upaya mencapai kemerdekaan, sedangkan sejarah dunia tidak mau mencatatnya demikian.

Setelah terorisme berkembang, baik dalam bentuk “gerakan pembebasan” yang berdasarkan marxisme-leninisme, seperti di Kuba dan beberapa negara Amerika Latin, maupun yang berdasarkan ideologi keagamaan tertentu seperti Pan-Islamisme dari Al-Afghani hingga ke Abu al-A’la Al Maududi di Pakistan, semuanya menunjuk kepada sebuah upaya bersenjata untuk merebut kekuasaan dan memaksakan visi masing-masing atas bangsa yang sebenarnya tidak mengikuti pikiran mereka. Dari sejarah berbagai gerakan Islam berwajah ideologis di Turki, gerakan di bawah pimpinan Nejmetin Erbakan, yang kemudian “terpaksa” mengadopsi pikiran-pikiran sekuler dalam partai politiknya Partai Keadilan dan Pembangunan, baru-baru ini memenangkan 2/3 lebih kursi parlemen negeri itu. Dengan kata lain, ketidakpuasan bangsa Turki atas pendekatan politis anti-agama dan pendekatan teknokratis dalam pembangunan oleh partai–partai politik yang berkuasa, akhirnya membawakan sesuatu yang baru: Islam membawa akhlak agama yang dirindukan, tetapi tidak membawa negara-agama yang penuh dengan segala macam keruwetan.


Hal ini juga secara terselubung merupakan persoalan yang melatarbelakangi tumbuhnya afilitas berbagai agama dunia kepada sejumlah partai politik tertentu. Soka Gakkai, sebagai organisasi Budha terbesar di dunia, berada di belakang partai Komeito, (partai bersih), yang sekarang menjadi partner junior dalam pemerintahan Jepang; begitu juga RSS (Rashtriya Swayamsevak
Sangh), sebagai organisasi Hindu terbesar di India, berada di belakang BJP (Barathiya Janata Party) yang dipimpin Perdana Menteri Atal Behari Vajpayee. Sementara itu, di Iran, Jam’iya al-Taqrib bain al-Madzahib (asosiasi pendekatan antar madzhab) pimpinan Ayatullah Wa’iz Zadeh mendukung tokoh moderat Mohammad Al-Khatami –yang kini menjadì Presiden Iran. Semuanya itu menunjukkan bangkitnya kembali paham keagamaan “non-legal dan non-ideologis” di negara-negara itu.


Dari sudut sosiologis, munculnya elit baru yang sepenuhnya menggunakan “acuan-acuan barat” yang positivistik dan teknokratik, yang didahului oleh sejarah moral yang panjang dari “bangsa-bangsa barat”, telah membawa ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antar kelompok di negara-negara sedang berkembang. Baik di dalam negeri masing-masing, maupun di kalangan anak-anak mereka yang belajar di “negeri-negeri barat”, dengan segera munculah semacam kesadaran harus melakukan sesuatu untuk melaksanakan -dalam beberapa hal tertentu memaksakan- moralitas baru dalam kehidupan masyarakat yang mereka kenal. Kesadaran seperti itu, dikombinasikan dengan sedikitnya pengenalan mereka akan seajarah Islam yang panjang -yang senantiasa bersandar pada proses re-interpretasi ajaran agama-, akhirnya menumbuhkan “kebutuhan” akan tindak kekerasan, yang menjadi pangkal bagi munculnya terorisme dalam kalangan gerakan-gerakan Islam.


Dangkalnya pengetahuan agama para teroris itu, karena tidak mengenal proses penafsiran kembali ajaran Islam, juga diperparah dengan langkanya pengenalan akan kondisi berbagai masyarakat muslim. Tradisi Asia Tenggara yang menganggap LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai partner pemerintah dalam pembangunan, jelas tidak terdapat di Timur Tengah, di mana para rektor dan ketua gerakan palang merah, juga harus ditunjuk oleh Presiden, Raja atau Amir. Mereka yang tidak setuju dengan peranan pemerintah yang demikian besar, dengan sendirinya harus bergerak di bawah tanah untuk tidak melawan pemerintah. Karena itu pula mereka harus meniadakan perlawanan politis kepada pemerintah sendiri, dan melawan “materialisme barat” dengan tindak-tindak kekerasan. Barulah setelah mereka mencapai kecanggihan finansial dan militer tertentu, mereka lalu membantu “orang-orang dangkal” di berbagai bilangan dunia, termasuk di negara-negara Asia Tenggara yang tadinya tidak mengenal terorisme terorganisir seperti itu. Yang dalam abad-abad yang lalu, adalah gerakan spontan yang tidak berumur panjang dalam “pembelaan terhadap Islam” yang bersifat mesianistik.


Hal yang bersifat antropologis, yang menandai munculnya berbagai usaha teroris di kalangan kaum muslimin, adalah hilangnya pembedaan antara institusi dan kultur. Namun gerakan-gerakan Islam tradisional tetap menekankan diri pada upaya-upaya kultural, -seperti pendidikan agama, pengelolaan harta benda-benda kaum muslimin (wakaf), pemunculan berbagai manifestasi kultural, seperti ziarah ke makam-makam suci dan penggunaan simbol-simbol agama seperti shalawat dan kegiatan seremonial kaum sufi dan reformulasi peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat-, dengan tidak memberikan tempat kepada upaya-upaya institusionalisasi yang dibawakan oleh “kaum pembaharu” itu.

****


Dilihat dari berbagai sudut pandangan muslim suni tradisional di atas, jelas pendekatan terhadap berbagai manifestasi tindakan-tindakan kaum muslimin di seluruh dunia tidak dapat dianggap sebagai “berlatar belakang terorisme” belaka. Ada berbagai reaksi berlainan antara bermacam-macam masyarakat Islam, sehingga tidak dapat dicari pola umum tunggal dalam hal ini. Umpamanya saja, pandangan terhadap upaya demokratisasi dengan tumpuan pada kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka Undang-Undang, bagi beberapa kaum muslimin Sunni tradisional dianggap sebagai langkah penting menuju “pem-Barat-an”. Dengan demikian, tidak setiap tindakan menyimpang dari demokrasi liberal harus dianggap sebagai sikap anti-Barat, melainkan pertanda sebuah pencarian antara sesama “gerakan Islam”.


Jelas upaya mereka itu tidak menggunakan kekerasan seperti beberpa partai–partai Islam di Indonesia, PAS di semenanjung Malaysia dan berbagai wilayah kaum muslimin yang lain. Karenanya, kita harus bersikap hati-hati dalam hal ini, dan tidak menganggap setiap upaya non-liberal sebagai musuh dari lingkungan anti-demokrasi.


Tidak semua keinginan berbagai gerakan Islam harus diwujudkan dalam kehidupan, karena sifatnya yang khusus bagi masyarakat Islam saja. Contohnya, adalah penghormatan sangat tinggi kepada para ulama–dalam masyarakat Islam. Mereka adalah penentu pendapat umum masyarakat, sehingga perlu dicari formulasi peranan para birokrat dan pengusaha kaya dalam masyarakat muslim yang semakin lama semakin canggih. Kegagalan menemukan rumusan yang baik dalam hal ini, akan membuat msayarakat muslim di mana-mana menjadi korban kepentingan kelompok-kelompok birokrat maupun pengusaha kaya yang ada di kalangan masyarakat muslim itu. Sementara itu mereka tidak mengenal warisan tradisi yang ada, dalam bentuk penafsiran kembali ajaran–ajaran Islam sesuai dengan tantangan yang dihadapi, dengan sendirinya penafsiran mereka yang bertujuan mencapai kebutuhan jangka pendek mereka sendiri akansangat dominan.


Spoiler for intip:



Apa yang diperbuat mantan presiden Soeharto dari Indonesia antara akhir 1989 hingga pertengahan 1999, dapat digunakan sebagai contoh dalam hal ini . Soeharto, yang tidak memiliki pengetahuan mendalam akan sejarah Islam, menganggap penguatan institusional bagi kaum Muslimin di negaranya, sebagai cara terbaik untuk memperoleh dukungan masyarakat Muslimin di Indonesia bagi pemerintahannya, yang semula didukung oleh ABRI/ birokrasi / Golongaan Karya sebagai “partai pemerintah”. Ia menambahkan unsur keempat untuk menopang pemerintahannya yang semakin melemah dalam bentuk dukungan kongkrit kepada kaum muslim modernis, khususnya kepada Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).


Ia melupakan NU sebagai kelompok Muslim Sunni tradisional yang sibuk dengan manifestasi kultural Islam, dan melupakan kebutuhan institusional golongan itu. Sebagai seorang Muslim dari lingkungan perwira yang dididik secara barat, ia mengabaikan aspek-aspek kultural itu dan memusatkan diri pada penguatan institusional kaum Muslimin modernis itu. Sebagai akibat, ia terasing dari dua kelompok amsyarakat luas yang sangat berpengaruh: kaum Muslim Sunni tradisional (yang diwakili NU) dan mereka yang terdidik oleh “sistem barat” dan tidak mementingkan gerakan-gerakan Islam lagi, seperti kaum profesional, pengusaha, intelektual dan mahasiswa.


Sebagai akibat, Soeharto tidak kuat menghadapai tekanan demokratisasi, apalagi ketika para politisi “mencuri” isu demokratisiasi dan reformasi di Indonesia, maka Soeharto tidak memiliki pilihan selain lengser. Ini menunjukkan, betapa salahnya menganggap Soeharto sebagai wakil golongan Islam. Dia hanyalah seorang pemimpin yang mencoba memanfaatkan sekian banyak institusi keagamaan bagi kepentingan memelihara kekuasaan, namun ia gagal dalam hal ini.


Demikianlah salah satu contoh dari “manipulasi” kekuatan gerakan-gerakan Islam. Sekali manipulasi itu tidak lagi dinilai sebagai satu-satunya kebutuhan menjaga kepentingan golongan -sebagaimana dirasakan para ulama di Indonesia-, maka upaya menegakkan demokrasi dan memperluas otonomi daerah di negeri itu, dianggap sebagai “memenuhi kebutuhan kaum muslimin” di negeri itu. Inilah yang membuat mengapa PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) memiliki prospek sangat cerah sebagai pemenang mayoritas tunggal di Indonesia tahun depan. Ini tampak jelas bagi orang yang mengikuti dan mengamati komunikasi langsung antara PKB dan seluruh masyarakat bangsa Indonesia.


Kalangan Kristen, kelompok-kelompok minoritas etnis (seperti kaum Tionghoa) yang mencapai 15% seluruh bangsa, kaum profesional-intelektual-mahasiswa mendukung partai itu, karena dengan dukungan itu mereka mengharapkan bentuk-bentuk demokratisasi akan terwujud di negeri khatulistiwa ini. Dengan melakukan fungsionalisasi Islam, di samping mempelopori proses demokratisasi, PKB berhasil menetralisir dampak-dampak negatif di dalam negeri dari terorisme kaum Muslimin radikal. Namun ini tidak akan berjalan lama, jika negeri itu menjauhkan diri dari dua hal.


Hal pertama, haruslah dikembangkan pendapat yang mencoba melakukan identifikasi upaya-upaya redefinisi fungsi-fungsi Islam dalam kehidupan masyarakat, dengan berbagai tindakan demokratisasi, dan kedua adalah penegakkan demokrasi di negeri berpenduduk puluhan juta manusia yang menginginkan kehidupan demokratis bagi bangsa tersebut, yang berintikan penegakan kedaulatan hukum.


****



Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, untuk memerangi terorisme yang dilakukaan oleh golongan-golongan muslimin radikal di Indonesia, dengan ujung peledakan bom di Bali, diperlukan langkah-langkah berikut.

Spoiler for intip:


Quote:

Quote:



Quote:



Quote:



Dalam hal ini, Studi kawasan Islam (Islamic Area Studies) sangat diperlukan, karena dengan demikian akan nampak perbedaan cara hidup kaum muslimin dari sebuah kawasan ke kawaasan lain dengan jelas. Penulis pernah mengemukakan kepada Universitas PBB di Tokyo dalam tahun-tahun 80-an, dunia Islam sebaiknya dibagi menjadi enam buah studi kawasan: masyarakat-masyarakat muslim di kawasan Afrika hitam, kawasan Afrika utara dan dunia Arab, kawasan budaya Turki-Persia-Afghan, kawasan Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India dan Srilangka), kawasan Asia Tenggara dan kawasan minoritas muslim di negeri-negeri bertekhnologi maju. Sekarang ini kita cenderung melakukan studi kawasan nasional, padahal yang diperlukan adalah studi kawasan regional. Ini saja, sudah menunjukkan betapa jauhnya jarak antara kerja intelijen dengan kerja dunia akademik. Herankah kita jika lalu para politisi banyak melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan? Ini tentu berimbas pada sikap bersama kita terhadap tindakan-tindakan para teroris?

New York, 6 April 2003

jejak kaki
0
3.4K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.